Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FREDERICA Widyasari Dewi menyentuh layar telepon seluler pintarnya. Sebentar kemudian, Direktur Utama PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (SEI) itu membagikan data grafik analisis Deutsche Bank yang menyimpulkan amnesti pajak Indonesia sebagai tersukses di dunia. Dari tahap I program pengampunan pajak, aset amnesti mencapai Rp 3.625 triliun atau 35 persen produk domestik bruto Indonesia.
Adapun dana repatriasi dan deklarasi masing-masing Rp 136,5 triliun dan Rp 3.603,6 triliun. Namun, hingga pekan pertama Oktober, PT KSEI belum mencatat ada pergerakan signifikan aliran dana amnesti pajak ke pasar modal. Dana repatriasi ke instrumen pasar modal, khususnya reksa dana penyertaan terbatas, belum mencapai Rp 100 miliar. "Sepertinya masih nyangkut di bank gateway (persepsi)," kata Kiki—panggilan Frederica—kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Tito Sulistio, Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia, mengatakan, setelah masuk bank, peserta amnesti akan menentukan apakah dananya tetap berada di bank atau dipindahkan ke instrumen investasi lain. Tapi hal itu baru bisa ketahuan paling cepat pada pertengahan atau akhir Oktober.
Nah, menurut Tito, ada potensi Rp 1.095 triliun dana amnesti kas dan setara kas dari Rp 3.625 triliun aset amnesti yang butuh kantong penampung. Dana-dana itu harus segera diinvestasikan minimal dalam tiga tahun. Sayangnya, produk investasinya masih kurang. Di pasar modal saja, kata Tito, butuh Rp 75-80 triliun alokasi penerbitan saham untuk menyerap dana pensiun, asuransi, dan reksa dana.
Timbunan dana itu butuh instrumen investasi baru yang memberikan imbal hasil lebih menarik. Bagi hasil dana asuransi berada di level 12-13 persen. Sementara itu, tingkat suku bunga terus menurun ke level 5-6 persen. "Sekarang ada tambahan lagi dari repatriasi," kata Tito, Kamis pekan lalu.
Ia berharap pemerintah menambah penerbitan saham lewat rights issue ataupun privatisasi badan usaha milik negara. Menurut Tito, ada komitmen 14 anak usaha pelat merah melantai di bursa tahun depan. "Ini kesempatan go public," ujarnya. Proyek-proyek infrastruktur pemerintah sebenarnya juga membutuhkan banyak modal. Sayangnya, kata dia, sampai sekarang belum jelas struktur investasinya seperti apa; apakah saham baru, obligasi, atau penyertaan bersama.
Selama belum ada kantong investasi yang menarik, dana-dana itu hanya mengendap di deposito perbankan. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengingatkan, dana tersebut akan menjadi beban bila tak mengalir ke sektor riil produktif. "Kalau terlalu banyak rupiah mandek di bank akan membuat tekanan inflasi," katanya.
Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan, pemerintah menyiapkan sejumlah alternatif penempatan dana. Salah satunya obligasi negara, Sukuk, ataupun ORI. Bulan ini pemerintah berencana menerbitkan ORI 13.
BUMN sebenarnya sudah menyiapkan 56 proyek infrastruktur untuk menampung dana amnesti pajak. Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan sudah ada beberapa peserta amnesti ingin berinvestasi langsung di sektor infrastruktur. Salah satunya jalan tol serta minyak dan gas bumi. "Sudah ada yang kami bicarakan," kata Rini. "Tidak hanya uang repatriasi, mereka mau bawa partner lain."
Grup Sinarmas salah satu yang menggunakan dana repatriasi untuk proyek listrik. Sinarmas tengah menggarap proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Kendari 3 berkapasitas 2 x 50 megawatt senilai US$ 200 juta di Tanjung Tiram, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.
Tak semua peserta amnesti menunggu instrumen investasi pemerintah. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani, sebagian besar konglomerat memilih menempatkan dana repatriasi ke perusahaan sendiri. Salah satunya Grup Indofood. "Akan kami alokasikan langsung ke sektor riil," kata Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Franciscus Welirang.
Agus Supriyanto, Akbar Tri Kurniawan, Ghoida Rahmah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo