Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siang itu, 2 September 2004, wajah Pram bercahaya. Keriput sudah lama menyelimuti paras itu, tapi kejadian hari itu membuat Pram tak bisa menyembunyikan rasa bahagia. Di rumah lamanya di Utan Kayu, Jakarta Timur, Pram baru saja menandatangani kontrak dengan PT Elang Perkasa yang akan memfilmkan Bumi Manusia. ”Saya bangga karena ada orang Indonesia yang mau memfilmkan novel saya,” katanya.
Bumi Manusia mempesona banyak orang. Oliver Stone, sutradara film JFK, El Commandante, Platoon, Nixon, Wall Street, dan banyak film bagus lainnya, menurut putri Pram, Astuti Ananta Toer, berani membeli hak memfilmkan Bumi Manusia sekitar US$ 1,5 juta (sekitar Rp 15 miliar).
Bumi Manusia novel berlatar belakang sejarah kebangkitan nasional. Seperti kita tahu, buku itu adalah jilid pertama dari empat roman (tetralogi) yang ditulis Pram semasa ia ditahan di Pulau Buru, Maluku. Novel yang telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa itu memang sarat kisah menggetarkan. Kisah cinta antara Minke dan Annelies, kisah carut-marut perpolitikan saat itu, perlawanan kaum muda progresif revolusioner terhadap kaum tua yang sudah terlalu menikmati hukum feodal dan otoriter, serta perlawanan seorang Nyai terhadap kesewenang-wenangan kolonial.
Pram menolak Oliver Stone dan para sineas asing. Tapi ia menyambut ketika PT Elang Perkasa menunjukkan keinginan yang sama. Hatoek Soebroto, 66 tahun, bos Elang Perkasa, Jakarta, yang sudah tiga tahun ingin memfilmkan Bumi Manusia, mengantongi hak itu. ”Sesuai kontrak dengan Pak Pram, saya memperoleh hak untuk membuat film dan sinetron novel Bumi Manusia selama lima tahun,” katanya.
Hatoek enggan menyebut angka persisnya. Tapi ia mengaku mengeluarkan miliaran rupiah. Dan sejak teken kontrak dengan pihak keluarga Pram, Hatoek telah menghitung: Bumi Manusia akan berbiaya tinggi. Dan karena itu pula ia menggandeng bos Sinemart, Leo Sutanto, dalam penggarapannya. Boleh dibilang, menurut Hatoek, film ini merupakan produksi kerja bareng Elang Perkasa dan Sinemart.
Persiapan memakan waktu sekitar setahun. Kini, awal 2006, proses produksi Bumi Manusia dimulai. Skenario mulai ditulis. ”Kami mempercayakan kepada Jujur Prananto,” katanya. ”Targetnya, akhir tahun ini bisa selesai.” Juni nanti giliran casting. Sedangkan survei lokasi syuting, setahap demi setahap, telah dilakukan sejak akhir tahun lalu. ”Rencananya, awal tahun depan kami sudah bisa syuting,” ujar Hatoek.
Hatoek masih merahasiakan sutradaranya. Tapi, menurut Leo Sutanto, mereka telah melamar Garin Nugroho. Dan menurut Leo lagi, mereka juga telah berembuk untuk meminta aktris muda Mariana Renata—dikenal lewat perannya dalam film Janji Joni—sebagai pemeran tokoh Annelies Mellema. ”Untuk pemeran tokoh lainnya belum ditentukan,” ujarnya. ”Kami menunggu penulisan skenarionya selesai dulu,” kata Leo.
Lantas, seperti apa gambaran film Bumi Manusia itu? Biasanya, menurut Jujur Prananto, penuturan konvensional akan klop untuk cerita seperti novel itu. Gambaran suasana dan kehebatan dramatisasinya akan terletak pada segi artistiknya. ”Karena itu, saya tidak akan bergaya-gaya dengan struktur cerita untuk naskah ini,” kata penulis skenario film Ada Apa dengan Cinta? itu.
Untuk skenario Bumi Manusia, menurut Jujur, ia mempunyai dua gagasan besar yang akan dituangkannya. Pertama, ia akan mengeksplorasi bagian cerita tentang hubungan tokoh Minke dan ayahnya, seorang bupati berhaluan feodal. Kedua, kisah cinta Minke-Annelies dan hubungannya dengan Nyai Ontosoroh, sebagai orang tua Annelies.
Hal yang sangat menantang baginya adalah menggabungkan dua bagian cerita yang sama kuatnya itu ke dalam skenarionya. Kalau, misalnya, ia memberikan porsi yang lebih besar kepada kisah percintaan Minke-Annelies, skenario akan terjerembap ke dalam kisah melankoli. ”Jadi, itu benar-benar pekerjaan yang sangat menantang,” ujarnya.
Pram memang patut berbahagia. Sudah lama sastrawan yang akan memasuki usia 81 tahun itu mendambakan ada yang memfilmkan novel-novelnya. Menurut putrinya, Astuti Ananta Toer, Pram menginginkan orang Indonesia yang menjadi produsernya.
Ada Bumi Manusia, ada pula berbagai buku karya Pram lainnya yang juga akan segera difilmkan. November tahun lalu, Leo Sutanto dari Sinemart, Jakarta, bertandang ke rumah Pram yang baru di Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat. Leo berniat memfilmkan tiga buku karya Pram: Arok Dedes, Mangir, dan Gadis Pantai. ”Sambutan Pak Pram sangat antusias,” katanya tentang pertemuan sekitar tiga bulan lalu itu.
Arok Dedes berkisah tentang kudeta pertama dalam sejarah Nusantara. Ken Arok abdi Tunggul Ametung dari Kerajaan Tumapel. Ken Arok, yang sudah dianggap sebagai anak oleh Tunggul Ametung, tertarik pada istri muda Tunggul Ametung, Ken Dedes. Ken Arok kemudian membunuh Tunggul Ametung dan mengawini Ken Dedes. Lewat ketidaksetiaan dan intrik, kemudian Ken Arok menjadi Raja Singasari yang pertama.
Buku Mangir merupakan naskah drama yang bertutur tentang penyelenggaraan negara yang dipenuhi intrik. Kisah itu tergelar sekitar abad ke-18, semasa pemerintahan Pangeran Senopati sebagai raja pertama Keraton Mataram di Yogyakarta. Sedangkan Gadis Pantai bercerita tentang perempuan belia miskin berparas cantik yang dipaksa kawin dengan pembesar Jawa. Di ujung cerita, perempuan belia itu dicampakkan karena dianggap tak sederajat dengan sang pembesar.
Dua pekan lalu, Leo telah bersepakat dengan keluarga Pram untuk memfilmkan ketiga buku itu. Leo segan menyebut jumlah duit yang dikeluarkannya untuk mendapatkan hak memfilmkan ketiganya. ”Pokoknya miliaran rupiah,” katanya.
Yang jelas, menurut Leo, untuk penulis skenario Arok Dedes dan Mangir, ia akan melamar Seno Gumira Adjidarma. ”Saya pernah bekerja sama dengan Mas Seno ketika menggarap miniseri Pengakuan Pariyem,” ujarnya. ”Dan saya pikir dia cukup bagus dalam menulis skenario.” Sejauh ini, ia memang belum menghubunginya. Ia sedang berkonsentrasi ke Bumi Manusia dulu. Sedangkan untuk Gadis Pantai, ia mungkin akan mempercayakan pembuatan skenarionya kepada Jujur Prananto lagi. ”Ya, lihat saja nanti, deh.”
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo