Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Berita Tempo Plus

M. Dawam Rahardjo: Saya Pernah Kecewa pada Agama

30 Januari 2006 | 00.00 WIB

M. Dawam Rahardjo: Saya Pernah Kecewa pada Agama
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SIKAP liberal cendekiawan muslim Prof Dawam Rahardjo, 64 tahun, membuat gerah Ketua Muhammadiyah, Din Syamsuddin. Dawam, yang duduk di jajaran pengurus Muhammadiyah saat dipimpin Amien Rais dan Ahmad Syafi’i Ma’arif, kini tidak lagi diakui sebagai warga Muhammadiyah. Menurut Din, Dawam ”dipecat secara tidak langsung”. Ia mundur sebelum pemecatan dilakukan—sesuatu yang dibantah Dawam.

Din mengaku pemecatan Dawam karena desakan para pengurus organisasi. Tapi diakuinya, secara formal rapat pemecatan belum digelar. Din menyebut kesalahan fatal yang dilakukan Dawam antara lain sikapnya membela Ahmadiyah yang memunculkan polemik internal dalam organisasi itu. Selain Ahmadiyah, Dawam juga gigih membela Lia Aminuddin, perempuan yang mengaku sebagai Jibril dan kini ditahan polisi karena dituding menistakan agama. ”Pak Dawam kini tak berhak dan tidak etis menyebut-nyebut dirinya sebagai tokoh Muhammadiyah,” kata Din di Bandara Selaparang, Mataram, Nusa Tenggara Barat, tiga pekan lalu. Dawam tak peduli. ”Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah,” katanya.

Dawam adalah tokoh penting dalam pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Bersama almarhum Ahmad Wahib, pada 1970-an ia aktif berdiskusi tentang perlunya revitalisasi ajaran Islam. Ketika Islam mendapat tempat dalam politik Orde Baru pada dekade 1990—ditandai dengan munculnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia—Dawam ikut serta. ”Tapi saya menjadi oposisi B.J. Habibie,” katanya. Ia mengaku kecewa karena belakangan ICMI tak memproduksi ide dan lebih banyak menjadi kendaraan politik saja. Belakangan, nama Dawam kembali bergema ketika ia aktif membela Ahmadiyah dan Lia Aminuddin.

Jumat pekan lalu, kakek lima cucu penikmat musik klasik ini menerima wartawan Tempo Arif Zulkifli, Agung Rulianto, dan Widiarsi Agustina untuk sebuah wawancara khusus. Berikut petikannya.

Bagaimana cerita pemecatan Anda dari Muhammadiyah?

Saya tak pernah diberi surat. Masa, dia (Din Syamsuddin) bilang saya memecat diri saya sendiri karena membela Ahmadiyah dan Lia Aminuddin. Bagaimana logikanya? Setahu saya, keanggotaan Muhammadiyah seumur hidup. Bapak dan ibu saya guru Muhammadiyah. Saya juga mengikuti semboyan Bung Karno: sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah.

Apakah Anda akan mengubah sikap tidak lagi membela Ahmadiyah dan Lia Aminuddin?

Kalau saya disuruh mengubah pendirian tidak membela Ahmadiyah, tidak membela Lia Aminuddin, tidak membela orang Kristen yang gereja-gerejanya ditutup, saya lebih baik keluar dari Muhammadiyah. Saya akan bertahan pada perjuangan saya untuk menegakkan kebebasan beragama.

Bagaimana Anda melihat Muhammadiyah saat ini?

Dalam Muhammadiyah, ada dua paham yang bertentangan. Pertama kelompok Wahabi, yang menekankan pada akidah, pemurnian Islam yang menolak tradisi seperti budaya slametan dan sebagainya. Itu menimbulkan kecenderungan konservatif. Tetapi di lain pihak ada yang menganut paham modernisme pemikir Islam Mesir, Muhammad Abduh, yang memperjuangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dua kecenderungan ini selalu bertempur di Muhammadiyah. Pada masa Syafi’i Ma’arif, modernisnya yang menonjol. Pada masa Din Syamsudin, Muhammadiyah kembali konservatif.

Dalam muktamar dulu, Anda diberi formulir kesanggupan duduk dalam kepengurusan. Mengapa Anda tak mau?

Saya punya hak dipilih dan hak memilih. Keduanya tidak saya pakai. Saya sudah tahu Din bakal menang. Saya tidak mau duduk bersama-sama dengan dia. Jadi, waktu muktamar, saya pulang.

Bagaimana Din Syamsuddin bisa terpilih?

Dia rajin mengunjungi daerah. Selain itu, sekarang trennya memang radikalisasi. Din memperlihatkan gejala radikalisasi Muhammadiyah dan gerakan radikalisasi di Indonesia.

(Usai terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin mengatakan kepada wartawan: ”Kalau saya disebut fundamentalis karena ikut membela kawan-kawan yang dinilai sebagai kelompok Islam radikal, itu risiko. Tetapi sebenarnya saya seorang yang pluralis dan inklusif.”)

Bagaimana radikalisme ini bisa menonjol?

Radikalisme muncul karena kegagalan (mendialogkan agama). Akidah itu kan sesuatu yang harus dipercaya. Nyatanya, tak mudah membuat orang mempercayai sesuatu. Saya yang muslim akan sulit mempercayai bahwa Yesus mati lalu bangkit kembali. Jadi, untuk meyakinkan orang lain, dipakai berbagai cara. Salah satunya dengan mitos. Setelah itu juga dengan ancaman neraka dan iming-iming surga. Tetapi, jika tetap tidak bisa, lewat kekuasaan.

Islam di Indonesia gagal membendung radikalisasi itu?

Gerakan Islam sekarang ini kehilangan orientasi, kehilangan cita-cita. Salah satunya karena tidak ada satu pemimpin atau pemikir muslim yang leading untuk dianut, atau kelompok muslim yang leading ke arah satu cita-cita. Karena itulah timbul berbagai macam organisasi. Sayangnya, organisasi Islam yang besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga tidak bisa memimpin. Tidak ada ide. Lalu timbul gerakan pembaharuan Nurcholish Madjid yang kemudian diikuti oleh generasi muda. Menurut saya, gerakan Islam harusnya tegas-tegas menerima Pancasila dan berjalan di garis kebangsaan. Dan tentu saja sekuler. Saya menerima sekularisme dan saya memperjuangkan sekularisme.

Artinya?

Artinya, agama itu tidak boleh dilaksanakan melalui tangan kekuasaan. Agama itu keyakinan yang tak bisa dipaksakan. Kalau agama memerintahkan pelaksanaan syariat Islam, itu bertentangan dengan demokrasi dan hak asasi manusia. Hukum agama itu hukum volunter, sukarela berdasarkan kepercayaan. Jadi, kalau ada hukum Islam diterapkan, yang bisa melaksanakan orang Islam saja. Orang Kristen atau umat lainnya tak akan bisa.

Selain itu, umat Islam tidak boleh punya cita-cita untuk mendominasi umat lain. Itu nggak bener. Islam tak boleh di atas, sementara agama-agama lain di bawah. Islam harus bangkit bersama agama-agama yang lain. Ini namanya kebebasan. Saya menganut prinsip liberal, yaitu kebebasan berpikir, beragama, mempergunakan akal pikiran, dan menggunakan pengetahuan. Islam bagi saya bisa terus berlanjut hanya melalui tiga ideologi: sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Ketiga-tiganya diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia.

Menurut Anda, masihkah syariat Islam relevan di Indonesia?

Kita harus melakukan redefinisi terhadap syariat Islam. Syariat Islam adalah way of life yang didasarkan pada tujuan syariat, yakni melindungi kebebasan, melindungi hak hidup, melindungi kehormatan individu, melindungi hak milik, dan menjamin regenerasi manusia. Ini rumusan Al-Ghazali. Kalau syariat itu bertentangan dengan tujuannya, harus dihilangkan. Misalnya perempuan nggak boleh jadi presiden, nggak boleh jadi hakim. Ya nggak bisa, dong. Lalu perempuan dinilai setengah dari laki-laki dalam hukum waris, itu juga nggak bisa.

Di beberapa daerah, syariat Islam dibakukan dalam peraturan daerah….

Coba lihat apa wujudnya: pegawai negeri perempuan wajib pakai jilbab dan yang laki-laki wajib pakai baju koko. Di Aceh, ada hukuman cambuk. Itu kan cuma ornamen-ornamen.

Apa yang membedakan pembaharuan pemikiran Islam era Nurcholish Madjid dengan era Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla?

Menurut saya, Nurcholish hanya meletakkan dasar-dasar pemikiran liberal. Dia tidak pernah bicara soal gender, juga teologi pembebasan. Sekarang sekularisme itu sudah dinilai baik oleh banyak pihak. Meskipun saya generasi tua, seperti Ulil saya menerima sekularisme sepenuh hati. Sekularisme itu baik dalam menjamin kebebasan beragama dan kesetaraan. Nurcholish belum sampai ke situ. Dia masih percaya agama samawi atau agama langit itu lebih unggul dari agama lain. Kalau saya menganggap setara.

Mengapa setara? Banyak yang menganggap agama langit (Islam, Kristen, Yahudi) dari Tuhan, dan agama bumi (Buddha, Konghucu) hasil kreasi manusia?

Agama langit atau samawi itu mensyaratkan percaya (iman). Kita bisa berbuat baik, tapi kalau tidak beriman maka perbuatan baik itu tidak diterima Tuhan. Baik Islam maupun Kristen mensyaratkan iman itu. Saya pakai contoh konsep trinitas dalam agama Kristen. Saya yang muslim tidak bisa mengerti, kok Tuhan ada tiga. Tapi bagi kaum Kristen, itu syarat keselamatan. Islam juga begitu. Karena agama-agama samawi mensyaratkan kepercayaan, dengan sendirinya mereka mengklaim kebenaran. Akibatnya, agama menjadi sumber perpecahan.

Lalu?

Agama Buddha tidak mensyaratkan apa-apa. Tidak ada konsep Tuhan, yang ada konsep ketuhanan—bahwa ada suatu zat yang merupakan asal-usul segala sesuatu dan bersifat suci. Itu ada dalam Buddha dan Konghucu. Dalam Buddha, siapa saja yang mau ikut silakan, tidak usah pakai percaya-percaya.

Itu yang membuat agama bumi unggul?

Ada segi-segi keunggulannya. Saya membaca teologi Paul Tillich, dia bilang agama samawi itu warisan, kado dari Tuhan. Sedangkan agama bumi adalah hasil perjuangan manusia sendiri. Analoginya seperti harta yang dimiliki seseorang. Mana yang lebih baik, harta hasil warisan atau hasil bekerja sendiri? Agama bumi seperti harta yang diperoleh dari hasil kerja manusia sendiri. Saya tak menganut agama bumi, tetapi saya tidak perlu menganggap Buddha atau Konghucu itu lebih rendah.

Lalu, bagaimana dengan mereka yang sudah telanjur menganut agama langit?

Pluralisme. Saya boleh menganggap Islam agama yang benar, tapi tidak boleh menganggap agama orang lain salah. Sekarang ini khotbah salat Jumat kalau mengutip Injil dianggap dosa besar. Mengapa kita mengutip sesuatu yang bagus kok nggak boleh?

Dengan sikap itu, masihkah iman menjadi penting?

Saya penganut kebebasan beragama karena saya menginginkan orang lain bebas dalam beriman. Agama itu adalah iman yang dikuasai individu. Iman itu sifatnya ke dalam, bukan ke luar. Jika Ahmadiyah percaya seseorang menjadi nabi, mengapa kita harus gelisah? Lia Aminuddin mengaku bertemu dengan Jibril. Kalau dia percaya bertemu, ya, biar saja.

Anda pernah diajak bergabung dalam jemaat Lia Aminuddin?

Saya kan mau membela dia, lalu dia meminta saya disucikan dulu. Maksudnya, saya tidak boleh bohong, tidak mencari posisi, cari nama, harus jujur, dan itu harus dinyatakan di muka umum. Saya tidak mau. Sebagai manusia, saya pasti kotor. Tapi saya akan tetap berusaha berbuat baik, jujur. Itu akan saya ikuti.

Anda membela irasionalitas Lia Aminuddin?

Saya tidak membela irasionalitas, yang saya bela hak dia berkeyakinan. Ahmadiyah juga begitu. Kita bisa bertanya Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, itu benar nabi atau bukan. Menurut saya, kalau dia mengaku nabi kemudian ditentang dan dibunuh lalu misinya hilang, berarti dia nabi palsu. Tapi dia diterima dan sekarang umatnya ada 220 juta. Lalu saya mau apa? Jadi secara sosiologis Mirza adalah nabi.

Anda sempat berpikir untuk pindah agama?

Tidak, tapi saya sempat berpikir untuk meninggalkan agama.

Mengapa?

Saya sempat bertanya apakah agama memberi manfaat? Saya kecewa banyak teman saya yang taat beragama malah korupsi. Lalu apa gunanya agama? Saya betul-betul kecewa. Saya anti-poligami, tapi banyak teman saya yang berpikiran modern melakukan poligami.

Anda percaya pada doa?

Dalam pengalaman hidup saya, permohonan saya pada Tuhan ada yang dikabulkan tetapi lebih banyak yang tidak dikabulkan. Karenanya, iman saya sempat terguncang.

Kapan doa Anda dikabulkan?

Dulu saya berdoa waktu ingin kawin dengan seseorang tetapi orang tuanya tidak setuju. Saya berdoa dan akhirnya terkabul.

Kapan doa Anda tidak dikabulkan?

Saya sempat mengalami krisis iman menyangkut penyakit diabetes saya. Setiap hari saya harus meminum obat, tapi efek sampingnya makan jadi tidak enak, dada sesak, dan macam-macam. Saya ditawari pengobatan alternatif dengan syarat harus meninggalkan obat dan percaya pada doa. Saya salat dan puasa mutih tiga hari. Hasilnya, gula darah saya turun tapi beberapa hari kemudian naik lagi. Proses diulang lagi selama tiga bulan, tapi gula darah saya malah naik sampai 670—padahal ambang batasnya 140. Saya jadi bertanya, apa benar doa itu? Iman saya goyang. Akhirnya saya masuk rumah sakit, dirawat delapan hari dan sembuh. Saya menganggap doa saya dikabulkan, hanya saya tak tahu bagaimana cara Tuhan menolong saya.

Mohammad Dawam Rahardjo

Lahir:

  • Solo, Jawa Tengah, 20 April 1942

Pendidikan:

  • Fakultas Ekonomi UGM (1969)

Karier:

  • Ketua Redaksi Majalah Dewan Mahasiswa UGM, Gelora (1968-1969)
  • Staf Departemen Kredit Bank of America, Jakarta (1969-1971)
  • Peneliti LP3ES (1971-1976)
  • Wakil Direktur LP3ES (1976-1978)
  • Direktur LP3ES dan Pemimpin Umum Majalah Prisma (1980-1986)
  • Pembantu Rektor IV Universitas Islam 45 Bekasi (Unisma)
  • Rektor Unisma

Kegiatan Lain:

  • Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI (1990-1995)
  • Ketua ICMI Pusat (1995-2000)
  • President of The Board of Directors, International Forum of Islamic Studies
  • Direktur International Institute of Islamic Thought Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus