Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Yang Masih Terserak

30 Januari 2006 | 00.00 WIB

Yang Masih Terserak
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

”Bung pernah menulis memakai nama samaran enggak?”

Suatu kali Mujib Hermani, dari Penerbit Lentera, bertanya kepada Pramoedya Ananta Toer. Ia telah mengudal-udal perpustakaan pribadi Pram, ia banyak menemukan naskah ”aneh”. Naskah itu memakai nama-nama tidak dikenal, tapi gaya bahasanya seperti Pram.

”Tapi sayangnya Pram sudah tak ingat,” kata Mujib. Mujib diberi keleluasaan oleh Pram dan putrinya untuk memilah-milah naskah Pram yang tersisa—dan lalu menerbitkannya. Tak lama lagi, misalnya, Lentera akan mengeluarkan kumpulan tulisan, catatan harian, dan pidato Pram berjudul Tanpa Gending, Tanpa Suling.

Mujib menemukan banyak naskah dengan tulisan tangan Pram dan mesin ketik, juga kliping-kliping tulisan yang dimuat di berbagai harian. Menggelinding I, misalnya, adalah kumpulan cerpen, esai yang terserak di Lentera, Star Weekly. Direncanakan kumpulan tercecer itu akan dibukukan sampai empat seri.

Suatu kali Mujib menemukan puisi-puisi atas nama Pram. ”Dia mulanya gak ngaku buat puisi,” kata Mujib. Tapi kemudian Pram akhirnya bercerita, pada awalnya juga menulis puisi. Tapi kemudian ditinggalkannya, karena menurutnya puisi terlalu kecil buat menyuarakan persoalan sosial.

Banyak naskah Pram yang hilang dan dibakar saat Orde Baru. Pada 1965, saat Pram diciduk aparat, misalnya, koleksi bukunya lenyap—termasuk delapan naskah miliknya yang belum diterbitkan. Tapi, sekeluar dari Pulau Buru, Pram membangun perpustakaan lagi. Mujib menemukan Mata Pusaran, sebuah novel yang juga ditulis Pram di Pulau Buru. ”Tapi cuma tinggal bagian tengahnya, mulai halaman 100-an”. Sebaliknya ia menemukan sebuah novel Pram yang masih lengkap, yaitu tentang Multatuli dan sebuah drama radio yang ditulis Pram saat di negeri Belanda.

Pram juga banyak melakukan surat-menyurat. Ada korespondensi Pram dengan para sastrawan, misalnya dengan Gunter Grass—sastrawan Jerman. Tapi yang paling menarik adalah dengan H.B. Jassin. Menurut Mujib, surat-menyurat antara keduanya dapat dibagi menjadi beberapa periode.

Ada periode ketika Pram menganggap H.B. Jassin sebagai guru, lalu periode Pram menganggap Jassin sebagai teman, dan periode ketika Pram berseberangan dengan Jassin karena persoalan humanisme universal. Yang agak lucu, menurut Mujib, ada surat-menyurat keduanya yang menyangkut bisnis. ”Pram dan Jassin ternyata pernah mau berbisnis timah. Jassin membawa sampel timah ke Pram, Pram yang mencari pembelinya,” kata Mujib. Pihak Lentera berniat menerbitkan tersendiri surat-menyurat Pram dan Jassin ini.

Naskah berserakan lain adalah kumpulan pidato dan ceramah Pram. Tiap tanggal 17 Agustus, Pram selalu membuat renungan. Ketika berumur 78 tahun, misalnya, ia membuat refleksi berjudul Aku dan Indonesia: Sebuah Pengakuan.

Dari semua naskah yang tersisa ini tampaknya yang diharapkan Pram sendiri bisa terbit adalah karyanya Ensiklopedia Negara Kepulauan Indonesia. Tampaknya menerbitkan ensiklopedia adalah obsesi Pram. Ia berambisi menyusun sebuah ensiklopedia nusantara. Sejak dahulu, tiap membaca koran, ia akan menandai bagian-bagian yang penting dan anak-anaknya akan menggunting. Dari situ ia menyusun deskripsi.

Sekarang bahan dan hasilnya sudah kira-kira setebal 6 meter, didokumentasi seturut abjad dan pembagian-pembagian tematik. Proses pengklipingan itu sendiri terhenti karena anak-anaknya tidak banyak yang ikut tinggal di Bojong. Tapi kini tiap Sabtu ada mahasiswa-mahasiswi perpustakaan Universitas Indonesia yang membantu mendata perpustakaannya dan mengerjakan kliping.

Mujib sendiri secara kontinu giat mewawancarai Pram—tatkala Pram masih bisa mengobrol dengan lancar. Hasilnya sampai puluhan kaset. Perbincangan mereka sampai hal-hal yang personal. Misalnya tentang pacar-pacar Pram. Juga soal kematian. Suatu kali, misalnya, Pram bercanda kepada Mujib.

”Kalau saya mati, kuburan saya akan mengeluarkan asap.”

”Lho kenapa, Bung?”

”Itu karena saya selalu makan bawang. Bawang mengandung fosfor dan kalau menyatu dengan tanah akan mengeluarkan asap….”

”Nanti dikira makam keramat, dong….”

”Iya, ha-ha-ha.…”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus