Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANYAK catatan positif yang diraih Indonesia sepanjang tahun ini kendati dunia dihantam krisis global. Perekonomian Indonesia tumbuh tercepat ketiga di dunia setelah Cina dan India pada paruh pertama tahun ini ketika hampir semua negara didera pertumbuhan negatif. Hantaman krisis pun tak sedahsyat 1997. Ketika itu, Indonesia sempat terpuruk begitu dalam dengan pertumbuhan negatif 13,7 persen. Gengsi Indonesia juga naik setelah negeri ini masuk kelompok ekonomi G-20—menggantikan kelompok negara ekonomi maju G-8.
Krisis juga tak banyak mampir di perusahaan-perusahaan Indonesia. Jumlah perusahaan yang kolaps tak sebanyak pada krisis moneter 1997-1998. Mereka yang paling terpukul adalah perusahaan yang sangat bergantung pada pasar ekspor, seperti tekstil dan alas kaki. Selain itu, krisis melanda perusahaan yang produknya tergolong kebutuhan tersier, seperti perusahaan otomotif. Perusahaan komoditas juga termasuk yang terimbas krisis karena turunnya permintaan dunia.
Kali ini pun, pemutusan hubungan kerja tak sebanyak yang diramalkan sebelumnya. Padahal, di awal tahun, banyak pihak yang memperkirakan akan banyak buruh yang bakal kehilangan pekerjaan karena diduga banyak perusahaan berguguran diterpa krisis. Ternyata, yang banyak terjadi hanyalah shift kerja dikurangi dan karyawan dirumahkan karena produksi menurun—seperti terjadi pada perusahaan otomotif dan suku cadang, termasuk ban. Malah terjadi anomali di industri elektronik rumah tangga yang penjualannya justru naik.
Yang juga tak terduga adalah kinerja Bursa Efek Indonesia. Pada 2008, indeksnya ambles sampai 52 persen. Banyak investor yang bangkrut pada tahun itu. Tapi fenomena tersebut ternyata tak berlangsung lama karena Bursa Indonesia dengan cepat bangkit kembali (rebound). Sepanjang 2009 kinerja Bursa Efek Indonesia termasuk yang terhebat di dunia. Sampai November, indeks Bursa Indonesia melonjak 112 persen. Perbankan Indonesia pun masih mencatatkan laba pada tahun ini ketika banyak bank di dunia kolaps atau rugi.
Namun tak bisa dimungkiri bahwa kehidupan masyarakat, terutama di level menengah ke bawah, sangat terpukul oleh krisis ini. Daya beli mereka menurun—kendati tak sehebat pada 2005, saat pemerintah menaikkan harga bahan bakar sampai di atas 100 persen. Hal itu tecermin pada tingkat inflasi yang sangat rendah—hanya sekitar 3 persen. Inflasi rendah ini menunjukkan dua hal sekaligus: daya beli dan produksi yang sama-sama menurun. Paket stimulus fiskal bagi pekerja bergaji rendah ternyata tak banyak menolong, baik bagi pekerja maupun perusahaan.
Pendek kata, semua catatan positif itu baru sebatas di atas kertas. Citra bagus di pentas internasional itu tak banyak menetes ke bawah. Perekonomian Indonesia, belakangan ini, makin pelit bagi para pekerja baru. Daya serap tenaga kerja per satu persen pertumbuhan, kata Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Arianto A. Patunru, kini hanya 125 ribu orang—turun jauh dibanding sebelum krisis 1997, yang bisa mencapai 250-300 ribu orang.
Salah satu penyebabnya adalah belum pulihnya sektor industri manufaktur. Sejak krisis 1997-1998, praktis sektor ini masih terseok-seok. Makin ke belakang, sumbangannya pada perekonomian, juga penyerapan tenaga kerja, makin menurun. Pertumbuhannya pun makin rendah. Pada tahun ini, misalnya, sektor ini hanya tumbuh 1,8 persen. Padahal, dua tahun lalu, sektor ini masih tumbuh 4,6 persen. Bandingkan dengan transportasi dan komunikasi, yang tahun ini akan tumbuh 16,2 persen dan dua tahun lalu masih 14,9 persen. Sebelum krisis 1997-1998, sektor ini rata-rata tumbuh 12 persen.
Rendahnya pertumbuhan sektor industri manufaktur ini juga bisa dilihat dari pertumbuhan ekspornya. Pada kurun 1980-1986, pertumbuhan ekspor sektor ini sangat tinggi, yakni 35,5 persen, dan pada era 1996-2006 tinggal 5,9 persen. Ekonom Faisal Basri mencatat hal lain, yakni makin rendahnya kredit yang dikucurkan perbankan ke industri pengolahan ini. Pada 1985, portofolio kredit perbankan ke sektor ini masih 40 persen. Pada 2008, kucuran duit perbankan ke sektor ini tinggal 15 persen. Bisa dibilang, sejak dihantam krisis moneter 12 tahun silam, industri manufaktur belum bisa bangkit lagi. Faisal Basri menyebut penurunan ini sebagai gejala deindustrialisasi dini.
Kondisi ini jelas merisaukan. Industri manufaktur adalah sektor penyerap tenaga kerja informal paling tinggi. Tapi, jika pertumbuhannya makin menurun seperti sekarang, sumbangannya pada perekonomian juga makin rendah. Sangat kontras dengan sektor transportasi dan komunikasi serta perdagangan, hotel, dan restoran yang terus menanjak. Padahal dua sektor ini tergolong sangat sedikit menyerap tenaga kerja. Artinya, sebagaimana dikatakan Arianto, pertumbuhan ekonomi tak lagi seiring sejalan dengan penyerapan tenaga kerja.
Karena itulah, mau tak mau pemerintah harus segera menggenjot pertumbuhan sektor manufaktur yang tak cukup dilakukan dengan cara biasa atau business as usual. Kalimat itu muncul dari Menteri Perindustrian Mohamad Sulaiman Hidayat. Menteri yang juga masih menjadi Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ini tentu sudah sangat paham bagaimana berbisnis di negeri ini, termasuk segala hambatannya. ”Target saya, sektor ini bisa tumbuh minimal 6,8 persen pada 2014,” katanya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Janji itu tak mudah direalisasi. Ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Beberapa di antaranya bahkan sudah seperti penyakit menahun. Sebut saja, misalnya, persoalan minimnya infrastruktur, dari jalan, pelabuhan, sampai listrik. Belakangan ini, listrik bahkan jadi persoalan yang gawat: pasokannya makin terbatas, harganya untuk sektor industri makin mahal. Penggunaan pada beban puncak, misalnya, tarif naik 100 persen. Adapun jika pasang baru, hanya bisa jika menggunakan tarif multiguna yang 100 persen lebih mahal daripada tarif sehari-hari.
Jalan tol sama saja. Kamar Dagang dan Industri mencatat, dari target 1.700 kilometer jalan tol selama 1978-2009, baru terealisasi 690 kilometer. Akibatnya, terjadi kemacetan di mana-mana. Kendalanya nyaris tak berubah dari tahun ke tahun, yakni pembebasan lahan. Tapi ekonom Standard Chartered Bank yakin bahwa kendala infrastruktur ini akan bisa segera diatasi. ”Pasti akan bisa diatasi, tapi jelas butuh waktu,” katanya. Selain itu, pemerintah memang tak mungkin mengatasinya sendiri karena tak punya uang.
Arianto juga menyebut faktor logistik sebagai kendala serius pengembangan sektor industri. Tingginya biaya logistik ini terutama akibat keluar-masuk barang yang mahal di pelabuhan. Indonesia termasuk yang paling tinggi mematok tarif terminal handling cost. Belum lagi persoalan suap-menyuap dalam proses keluar-masuk barang di pelabuhan. Akibatnya, biaya logistik di Indonesia mencapai 14 persen, salah satu yang tertinggi di dunia. Dampak lanjutannya adalah keuntungan perusahaan berkurang dan bahkan akan menurunkan daya saing produk Indonesia.
Birokrasi juga masih jadi hambatan. Proses perizinan di Indonesia kini memang sudah jauh lebih baik. Pada 2009, menurut studi International Finance Corporation, proses perizinan di Indonesia dari nol sudah tinggal 60 hari, jauh menurun dibanding tahun sebelumnya yang masih 154 hari. Tapi tetap saja kalah jauh jika dibanding negara-negara tetangga. Bandingkan dengan Malaysia dan Thailand, yang masing-masing hanya memerlukan 32 dan 33 hari. ”Para birokrat ini seperti punya dunia tersendiri,” kata Wakil Ketua Kadin Hariyadi Sukamdani.
Akibatnya, sulit bagi Indonesia untuk menarik investasi asing ataupun domestik. Dengan prasarana terbatas, birokrasi yang tidak bersahabat, dan biaya logistik yang sangat mahal, Indonesia jelas sulit bersaing dengan Malaysia atau Thailand. Belum lagi jika bicara tentang insentif. Tarif pajak kita, misalnya, masih yang tertinggi di Asia. ”Meskipun sudah turun sampai 25 persen pada 2011,” katanya. Itu pun, kata Hidayat, butuh penjualan selama dua tahun untuk meyakinkan pemerintah agar bersedia menurunkan tarif pajak.
Insentif lain juga dibutuhkan pengusaha yang berani masuk ke daerah terpencil. Hidayat mencontohkan Merauke, Papua. Kini banyak pengusaha lokal yang mau masuk ke sana. Kendala birokrasi praktis tidak ada, masalah infrastruktur jadi kendala utama. Mestinya kita bisa mencontoh Cina. Hidayat menyebut Pudong, di barat Guangzhou. Sepuluh tahun silam, daerah itu hanya padang rumput. Tapi kini di sana ada banyak kota dan pabrik. ”Mereka memberikan insentif pajak dan kemudahan pendanaan,” katanya.
Perbankan juga masih menjadi masalah. Setahun ini, perbankan begitu pelitnya memberikan pinjaman kepada dunia usaha. Ekspansi kredit pada tahun ini hanya 7 persen. Suku bunga juga masih tinggi, meskipun Bank Indonesia sudah menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) sampai 6,5 persen. Kesepakatan 14 bank besar pada awal November lalu untuk mematok suku bunga deposito paling tinggi 7 persen agaknya masih belum banyak berpengaruh pada suku bunga pinjaman.
Tahun depan, kalangan perbankan sudah berjanji akan lebih ekspansif. Penjabat Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution juga sudah memberikan ancar-ancar: pertumbuhan kredit pada 2010 akan bisa di atas 20 persen. Patokan Darmin ini diharapkan tak cuma pepesan kosong. Dengan dukungan dana terbatas saja, dunia usaha Indonesia ternyata masih mampu tumbuh di atas 4,5 persen. Tahun depan, jika perbankan benar-benar merealisasi janjinya untuk gencar menyalurkan kredit, perekonomian Indonesia mestinya bisa tumbuh lebih cepat.
Pemerintah kudu cekatan membereskan berbagai masalah menahun tadi. Hidayat mengatakan salah satu yang akan dipercepat adalah proses pembebasan lahan. Pemerintah, kata dia, akan menyiapkan rancangan undang-undang pembebasan lahan untuk kepentingan umum. Rencananya, proses penyelesaian undang-undang ini akan dipercepat, termasuk pembuatan peraturan pemerintah sebagai pelaksana undang-undang tersebut. ”Kalau bisa, tak sampai setahun sudah bisa diterapkan,” kata Hidayat.
Kongesti (penumpukan) di pelabuhan ataupun di jalan raya, termasuk jalan tol, juga mesti segera diatasi. Hidayat mengatakan, dalam rapat koordinasi bidang ekonomi disepakati, selain akan dibersihkan dari pungutan liar, Pelabuhan Tanjung Priok akan beroperasi 24 jam seperti Singapura. Kalau tidak beroperasi penuh, antrean barang bakal mengular dan menimbulkan biaya tinggi. Rencana itu sudah disetujui dan ada kemungkinan akan berlaku mulai 1 Januari nanti. ”Perbankan juga harus ikut beroperasi 24 jam,” katanya.
Hidayat bertekad akan mengakhiri proses deindustrialisasi yang sedang berlangsung sekarang ini. ”Saya akan melakukan reindustrialisasi,” katanya. Tapi, dengan pekerjaan rumah setumpuk dan sulit itu, jelas ia tak bisa sendirian. Untuk memperlancar arus barang di pelabuhan, misalnya, ia mesti bicara dengan banyak pihak, antara lain Menteri Keuangan, yang mengurus pabean, dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara untuk urusan terminal yang dikelola Pelindo. Departemen Perhubungan yang mengelola pelabuhan juga perlu diajak bicara. Tak lupa kepolisian dan juga pemerintah setempat untuk urusan mengikis preman.
Jika yang dijanjikan Hidayat bisa dilaksanakan, tidak ada alasan bagi kita untuk pesimistis menghadapi 2010. ”Tahun depan akan jauh lebih baik,” kata Fauzi Ichsan, Senior Vice President Standard Chartered Bank. Kalau program single identity number bisa segera diterapkan, banyak urusan birokrasi yang bisa dipangkas. Artinya, perekonomian Indonesia tahun depan bisa jadi akan tumbuh lebih cepat daripada yang diperkirakan banyak pihak sebesar 5-5,5 persen. Dengan begitu, bukan mustahil Indonesia akan kembali menjadi macan ekspor pada tahun-tahun mendatang.
Industri yang berkembang baik akan membuka lapangan kerja jauh lebih banyak. Bagaimanapun, tujuan akhir ekonomi adalah menyejahterakan rakyat dengan memberikan pekerjaan yang layak dan mengentaskan mereka dari kemiskinan. Dua hal ini memang sudah jauh berkurang, tapi angkanya masih saja tetap tinggi. Jumlah penganggur di Indonesia, misalnya, masih sangat besar, yakni 9,26 juta orang (8,14 persen). Adapun 32,5 juta orang (14,15 persen) masih hidup di bawah garis kemiskinan. ”Kalau hanya tumbuh 5,5 persen, kita tidak akan bisa mengurangi penganggur dan orang miskin,” kata Arianto. Dengan begitu, Indonesia harus mampu meraih pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen agar tingkat pengangguran dan kemiskinan bisa diturunkan.
Artinya, pemerintah harus bekerja ekstrakeras agar berbagai problem menahun itu bisa diatasi.
TIM LIPUTAN KHUSUS OUT LOOK 2010:
Penanggung jawab: M. Taufiqurohman
Koordinator: Yandhrie Arvian, Retno Sulistyowati
Editor: M. Taufiqurohman, Arif Zulkifli, Nugroho Dewanto, Budi Setyarso
Penulis: Yandhrie Arvian, M. Taufiqurohman, Retno Sulistyowati, R.R. Ariyani, Muchamad Nafi, Harun Mahbub, Padjar Iswara, Philipus Parera, Yandi M. Rofiyandi, Sapto Pradityo, Anton Aprianto, Fery Firmansyah, Nieke Indrietta
Penyumbang bahan: Indra Mutiara (PDAT), R.R. Ariyani, Nieke Indrietta, Fery Firmansyah, Firman Hidayat (Samarinda)
Periset foto: Aryus P. Soekarno Editor Bahasa: Sapto Nugroho, Uu Suhardi, Dewi Kartika Teguh W.
Desain: Gilang Rahadian (Koordinator), Eko Punto Pambudi, Danendro Adi, Kiagus Auliansyah, Hendy Prakarsa, Ajibon, Agus Darmawan. Triwatno W., Kendra Paramita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo