Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lepas dari Bayang-bayang Bumi

Pasar diprediksi mengalami koreksi sebelum naik. Berusaha lepas dari dominasi saham Bakrie.

30 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERKALI-kali bangkrut di pasar modal tidak membuat Dudi kapok. Pria yang sudah sebelas tahun malang-melintang di lantai bursa saham itu yakin pasar modal merangkak naik tahun depan. Sejumlah agenda investasi sudah disiapkan. Yang akan ia bidik tak jauh-jauh dari saham pertambangan dan emiten Grup Bakrie—terutama Bumi Resources. ”Karena seperti sudah ada konsensus di pasar, bila saham Bumi naik, yang lain ikut naik,” katanya, Selasa pekan lalu.

Keyakinan tadi membuat Dudi tetap melakukan transaksi jual-beli rata-rata Rp 3-4 miliar per hari. Pria yang sehari-hari nongkrong di depan layar komputer memantau pergerakan bursa itu pernah melakukan transaksi hingga Rp 20 miliar per hari. Padahal, ketika dia pertama kali terjun ke pasar saham, modalnya cuma Rp 100 juta. Kini nilai asetnya sudah lebih dari 20 kali lipat.

Seluruh asetnya amblas ketika bursa saham remuk pada Oktober tahun lalu. Kala itu indeks terjerembap ke level 1.113, dan baru merangkak naik April lalu. Sejak itu, indeks saham kembali bergairah. Nilai portofolio Dudi pun balik dalam tempo tiga bulan. Perlahan-lahan indeks terus bergerak naik. Pada Senin pekan lalu, indeks ditutup di level 2.481.

Itu sebabnya Dudi yakin nilai indeks akan tumbuh seiring dengan membaiknya perekonomian domestik. Kebijakan suku bunga rendah di luar negeri dan di Sertifikat Bank Indonesia, kata dia, bisa mendorong aliran dana asing masuk ke pasar saham. Ia yakin indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia mencapai 3.000. ”Syaratnya asal tidak terjadi hal luar biasa menimpa saham Bumi,” kata pria 43 tahun ini.

Tapi biasanya kenaikan itu didahului koreksi yang lumayan tajam. ”Revaluasi nilai indeks diperlukan untuk memberikan landasan yang kuat sebelum naik,” kata Johannes Sutikno dari Dewan Pakar Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia. Untuk memberikan landasan yang kokoh itu, menurut itung-itungan dia, dibutuhkan koreksi indeks 10-15 persen.

Koreksi itu ada kemungkinan terjadi dalam waktu dekat mengingat kenaikan indeks saham sudah cukup tinggi. Imbal hasil keuntungan yang didapat investor asing juga berlimpah. ”Itu sebabnya mereka terlebih dulu akan cuci barang,” ujar Johannes. Aksi ambil untung itu membuat dana asing mengalir ke luar. Ujung-ujungnya, indeks tertekan. Namun, di akhir kuartal pertama 2010, indeks diprediksi kembali naik. Ini terjadi karena aliran dana asing kembali masuk ke Bursa Efek Indonesia.

Hot money, kata Adrian Rusmana, sulit dibendung. Yang bisa dilakukan pemerintah, kata Direktur Sucorinvest Central Gani itu, menciptakan iklim kompetitif yang bisa menjamin investasi riil jangka panjang. Bursa Indonesia memang salah satu pencetak laba terbesar 2009. Keuntungannya, kata Presiden Direktur Manulife Aset Manajemen Indonesia Denny R. Thaher, menembus 82 persen. Yang paling besar bersumber dari kapitalisasi sektor komoditas, mencapai 40 persen. Disusul sektor keuangan dan perbankan, 25 persen, dan telekomunikasi, 13 persen. Adapun sumber daya alam dan konsumsi diperkirakan menjadi penggerak utama pasar di masa depan.

Direktur Head of Equity PT Fortis Investment Alvin Pattisahusiwa mengatakan, dengan kinerja seperti itu, bukan tidak mungkin indeks mencapai 3.000, asalkan laba rata-rata emiten tumbuh 20 persen dan price to earning ratio bursa domestik 13,5 kali. Kondisi itu bisa diraih mengingat Indonesia memiliki pertumbuhan paling cepat setelah Cina dan India. Ia menaksir pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan bisa 5,5 persen. ”Bila ekonomi tumbuh, laba perusahaan berpotensi tumbuh,” katanya dalam seminar bertajuk ”Can IHSG Reach 3.000 in 2010” pada Rabu dua pekan lalu.

Pendapat sedikit berbeda dikemukakan Adrian Rusmana. Ia mengatakan, sulit indeks menembus angka 3.000. Sebab, uang investor asing yang bertebaran di emerging market tahun depan akan berkurang dan kembali ke negara asal. Mereka mengalihkan dana karena keuntungan yang bakal didapat pada 2010 sudah tidak sepadan dengan risiko yang harus ditanggung.

Situasi tadi kontras dengan saat dana itu masuk ke Indonesia pasca-Oktober 2008. Ketika itu, para investor global melihat, pengalihan dana ke emerging market—termasuk Indonesia—berpotensi memberikan keuntungan bejibun, meskipun risikonya besar. ”Sampai 2009, investor tidak peduli dengan risiko,” kata Adrian. Yang penting bisa memperoleh untung untuk menutup rugi pada 2008.

Masuknya dana asing itu mengerek emerging market. Indeks saham di Brasil, misalnya, sejauh ini memberikan keuntungan hingga 138 persen, sedangkan di Peru 124 persen. Bursa Indonesia memberikan keuntungan 112 persen (bila nilai saham dikonversi ke dolar Amerika Serikat). Kalaupun masih bisa naik, lajunya tidak akan seperti 2009.

Ini bisa dibaca dari tren pasar modal Indonesia sepanjang Januari hingga Juni, yang naik hingga 60,4 persen. Tapi, pada Juli-November, kenaikannya cuma 32,1 persen. Fenomena ini terjadi pula di Cina. Pada Januari-Juni, indeks saham di negara itu melejit 62,4 persen, tapi pada Juli-November laju kenaikannya tersendat, hanya 12,8 persen. Begitu pula di emerging market lainnya.

Itu sebabnya, Adrian melihat, kenaikan indeks saham di emerging market melambat, bahkan bisa terkoreksi. Investor asing akan ambil untung dulu. ”Ada indikasi dana-dana asing itu mulai beralih ke negara maju,” ujarnya. Investor asing, kata dia, mulai melirik aset-aset bagus dengan rating triple A yang memiliki risiko rendah. Apalagi pertumbuhan ekonomi di negara-negara itu sudah menunjukkan sinyal perbaikan.

Tapi penurunan indeks akan bertahap, tidak sekaligus, dan dimulai pada kuartal pertama tahun depan. Valuasi wajar indeks pada 2010 di titik 1.900-2.000. Setelah hot money keluar, volume perdagangan didominasi investor lokal. Indeks akan stabil selama enam bulan. Setelah itu, naik ke level 2.500.

Adrian melihat, investor akan memburu saham-saham yang kondisi perusahaannya bagus. Investor jera memburu saham Bumi, yang banyak menjual aksi korporasi, tapi tidak ada isi. ”Investor mulai jeli,” ujarnya. Yang selama ini mendulang untung cuma bandar, bukan investor retail. Dominasi saham Bumi, kata dia, bisa berkurang. Saat ini, dari rata-rata transaksi harian bursa Rp 4 triliun, hampir 30 persen didominasi saham Bumi. Dan lebih dari 50 persen dikuasai tujuh emiten Bakrie.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus