Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hancurnya keharuman dinasti gucci

Guccio gucci, pengusaha dari florence, itali, berhasil membangun kerajaan bisnis. ia identik dengan kecantikan dan selera tinggi. dinastinya hancur akibat anak dan cucunya gontok-gontokan serta menghamburkan uang

29 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tahun 1922, Guccio Gucci mendirikan sebuah toko kecil yang menjual barang kerajinan kulit di Florence, Italia. Ia berhasil mengangkat nama Gucci menjadi identik dengan kecantikan dan selera tinggi. Namun, selama tiga generasi, anak dan cucu Guccio Gucci menghambur-hamburkan uang dan gontok-gontokan. Hasilnya, kerajaan bisnis Gucci hancur lewat ketamakan dan perseteruan keluarga. Kini, tidak ada lagi keluarga Gucci yang masih memiliki saham di perusahaan Gucci. Wartawan The Sunday Times Magazine, Russel Miller, bertemu dengan beberapa orang keturunan Gucci, dan setelah dilengkapi hasil riset ia menulis urusan "dalam negeri" keluarga Gucci itu. seling AWALNYA adalah sebuah toko kulit kecil milik Guccio Gucci di Florence yang kemudian berhasil merambah ke seluruh dunia. Kini, toko-tokonya bisa ditemukan di semua daerah pertokoan terkenal tempat orang-orang kaya berbelanja, seperti Fifth Avenue, Rodeo Drive, Bond Street, Rue de Faubourg Saint-Honore. Langganannya terdiri dari barisan orang terkenal, baik itu Frank Sinatra, Bing Crosby, Ava Gardner, Audrey Hepburn, Sophia Loren, maupun Ronald Reagan. Gucci memang identik dengan sebuah kelompok yang cantik, harum, dan terpelajar. Tragisnya, anggota keluarga Gucci justru seperti tak mencerminkan citra produk Gucci. Mereka tak lebih dari orang- orang yang lemah sehingga dengan cepat terjerumus menjadi cerita seperti dalam buku-buku fiksi tentang drama keluarga. Rupanya, tak ada kasih sayang yang cukup di kalangan keluarga Gucci sehingga kemunafikan, manipulasi, serta kecemburuan membuat Gucci terlempar dari perusahaan Gucci. Bayangkan, seorang Gucci masuk penjara karena dituntut anak kandung sendiri. Lalu seorang anggota keluarga Gucci lainnya jadi buron karena ulah paman dan sepupunya. Para anggota keluarga Gucci memang selalu bertengkar dan cakar-cakaran seperti kucing. Setiap sesama anggota keluarga Gucci bertemu, salah seorang akan segera mengajukan tuntutan, yang nilainya bisa mencapai jutaan dolar. Kemudian yang dituntut tidak bakal tinggal diam dan mengirim tuntutan balasan ke kantor pengadilan. "Keluarga Gucci adalah keluarga yang aneh," kata Patrizia Gucci, istri Maurizio Gucci. Maurizio adalah orang terakhir Gucci yang punya saham di Gucci dan menjabat presiden direktur Gucci sebelum diberhentikan oleh manajemen baru. Adapun Patrizia sudah memutuskan untuk menjauhkan diri dari keluarga Gucci, mungkin karena berita perseteruan keluarga yang aneh itu mulai terdengar ke luar. "Mereka tukang berkelahi. Satu sama lain berkelahi, ayah lawan anaknya, sepupu lawan sepupu, keponakan lawan paman. Mereka semuanya gila. Terima kasih Tuhan bahwa saya tidak pernah mengenal keluarga seperti ini sebelumnya, dan saya harap tidak akan menghadapi pengalaman seperti itu lagi," kata Patrizia. Sebenarnya, berita tentang borok keluarga Gucci mulai tercium ke luar ketika terjadi sebuah pertemuan direksi yang berlangsung tahun 1982. Dalam pertemuan itu terjadi perkelahian fisik antardireksi. Sejak saat itu, kabarnya, teriakan, pukulan tangan, serta kemarahan sudah jadi agenda tetap dalam setiap pertemuan di kantor Gucci di toko Via Tornubuoni, Florence. Sumbernya mungkin bisa disebut Paolo Gucci walau jelas ia bukan kambing hitam satu-satunya. Waktu itu Paolo, yang yakin bahwa semua anggota keluarga Gucci bersekutu melawan dia, memutuskan untuk membalas dendam pada musuh-musuhnya. Ia ngotot mempertanyakan dana yang tidak jelas raibnya di Hong Kong. Pertanyaan Paolo itu membuat beberapa orang khawatir, khususnya Aldo Gucci, ayah kandung Paolo sendiri. Rupanya, Aldo selama bertahun-tahun menghidupi banyak selir dengan mentransfer sejumlah uang ke wilayah Timur Jauh untuk menghindari pajak. Jika penggelapan pajak didengar pemerintah, jelas tak hanya Aldo yang terancam. Maka, saudara-saudara Paolo yang lain ikut panik dan berteriak-teriak menyuruhnya diam. Paolo jelas menolak diam dan ia memperhatikan bahwa pertanyaannya tidak dicatat oleh sekretaris yang hanya duduk bengong, sehingga Paolo minta agar pertanyaannya dicatat. Si sekretaris memandangi semua peserta rapat untuk menduga-duga apa kemauan mayoritas dan memutuskan untuk tidak mencatatnya. Lalu, Paolo mengambil tape. Ia memencet tombol perekam dan mulai menyebutkan jam, tanggal, hari, serta tempat pertemuan. Tapi ia tidak sempat sampai pada detail-detail yang ia persoalkan karena kakaknya, Giorgio, segera melompat dan lari mengelilingi meja untuk mengambil tape milik Paolo. Pada saat yang bersamaan Paolo berhasil mengamankan tapenya, sehingga kedua orang itu tarik-menarik untuk merebut tape perekam sambil berteriak-teriak. Sekadar tahu saja, saat itu Paolo berusia 53 tahun dan Giorgio 55 tahun. Aldo kemudian bergerak untuk melerai, tapi kenyataannya ia bukan memisahkan kedua anaknya. Ia malah berdiri di belakang Paolo, memitingnya, dan mencoba menarik Paolo ke belakang agar tape bisa terlepas. Mendapat serangan dari belakang, Paolo memberi perlawanan yang lebih keras sampai kacamatanya terlepas. Apa yang terjadi berikutnya adalah pipi Paolo terluka dan mengeluarkan darah, entah karena tergores kacamatanya yang lepas, atau karena jam tangan Rolex milik Aldo, atau hanya kuku jari. Belakangan Paolo menyatakan bahwa luka di pipinya itu baru seminggu lebih kemudian sembuh, sedangkan Giorgio mengatakan luka Paolo tidak lebih dari goresan kecil. Luka Paolo sebenarnya tidak terlalu serius, dan jelas tidak sampai membuat dia tidak bisa berbicara dengan para wartawan. Namun, hari berikutnya, koran-koran dipenuhi berita tentang pertengkaran itu dan tuntutan Paolo sebesar US$ 13 juta sudah dimasukkan ke pengadilan di New York. Isi tuduhan: "Aldo Gucci dan Rodolfo Gucci dengan sengaja dan dengan penuh dendam memukul penggugat dengan menggunakan tangan, genggaman, dan objek-objek lainnya." Itu jelas berbeda dari kejadian sebenarnya. "Aku harus menuntut mereka karena aku sangat marah. Aku berdarah seperti kambing. Itu sudah cukup membunuh harga diri dan ego seseorang," kata Paolo menjelaskan. Para pelanggan Gucci yang datang dari kelas atas sangat heran mendengar perkelahian di perusahaan yang namanya manis sekali. Jackie Onassis, pelanggan toko Gucci di Fifth Avenue, New York, menelepon teman lamanya Aldo dan hanya mengajukan satu pertanyaan: "Mengapa?" Pangeran Rainier, mendiang istrinya Grace Kelly yang ketika pesta pernikahan memilih selendang Gucci untuk dipakai pendampingnya, menelepon Aldo untuk menyatakan perhatiannya. Pada saat itu, tidak ada yang menyadari bahwa insiden itu merupakan titik balik dalam keluarga Gucci. Buktinya, setelah tahun 1982 keluarga Gucci terpecah-belah karena kebencian maupun nafsu berapi-api untuk membalas dendam sehingga mereka tidak mampu lagi mengawasi perusahaan yang sudah tumbuh jadi perusahaan internasional. Satu per satu Gucci meninggalkan atau terlempar -- biasanya oleh orang Gucci lainnya -- sampai pada pertengahan tahun 1980-an hanya tinggal Maurizio yang masih bertahan memiliki saham di Gucci. Namun, Maurizio -- yang kabarnya paranoid, ambisius, dan suka minta nasihat dari ahli peramal lewat kartu -- akhirnya membuktikan juga bahwa dia sama sekali tidak kompeten untuk jabatan presiden direktur. Bulan September 1993, ia diminta menjual saham miliknya dan menyerahkan kekaisaran Gucci kepada Investcorp, sebuah bank yang didukung oleh pengusaha Arab. Maka, untuk pertama kalinya dalam sejarah, tidak ada lagi Gucci di Gucci. *** Paolo Gucci kini tinggal di sebuah rumah kuno abad XVII di daerah pinggiran Rusper, Sussex, Inggris. Di bagian dalam rumah yang besar itu, terlihat desain Florentina yang menonjol, jadi bukan rumah gaya Inggris seperti bentuk luarnya. Karpet putih yang tipis dan kristal yang berkilauan memenuhi ruangan. Ruang duduk dilapisi tenunan berwarna ungu yang mengkilat. Paolo duduk, hampir tenggelam, di sebuah sofa besar berwarna hitam dengan tempelan warna merah, kuning, hijau, dan biru. Ia tidak punya rasa menyesal tentang apa yang terjadi, juga tidak menyesal dengan tindakannya yang membuat ayahnya, Aldo, masuk penjara. Dia semata-mata hanya menyalahkan sepupunya, Maurizio, atas kehancuran Gucci. Maurizio memang pernah mengatakan keinginannya membalas dendam pada keluarga Paolo. "Ketika Maurizio mengambil alih, ia membereskan semua keluarga kami. Dimulai dengan ayah saya, kemudian saya dan dua saudara saya, kemudian anak saudara saya, kemudian dua anak perempuannya. Semuanya ada sepuluh. Itu adalah tindakan yang paling bodoh yang pernah ia lakukan. Dia hanya ingin ada satu Gucci di sana, dia sendiri," kata Paolo. Ketika Paolo membawa wanita yang menggendong bayi ke dalam ruangan, ia berkata dengan bangga, "Ini putriku." Orang akan segera minta maaf jika sempat memikirkan bahwa Paolo Gucci, pada usia 64 tahun, sudah terlalu tua untuk menjadi ayah dari wanita maupun bayi itu. Kenyataannya, wanita berusia 23 tahun itu adalah istrinya dan bayi yang digendong adalah putrinya, Alicia. Penny Amstrong -- ibu sang bayi, gadis bermata gelap dengan wajah merah dan kulit pucat -- bertemu dengan Gucci ketika bekerja sebagai pengawas kuda di peternakan Paolo. Koran-koran segera menurunkan headline tentang "gadis istal" itu ketika hubungan mereka berdua tercium wartawan. "Semua Gucci sangat ganteng-ganteng, dan jago merayu," kata Jenny Gucci, istri Paolo, yang kini memilih mengasingkan diri. "Ia adalah suami yang menyenangkan selama sepuluh tahun, tetapi kemudian ia mulai tidur berkeliling dan tidak melakukannya dengan halus. Aku tidak kecewa kalau ia pergi dengan wanita yang lebih muda, banyak laki-laki melakukan itu, tetapi aku sangat kecewa ketika ia membawa wanita ke rumahku hanya beberapa minggu setelah aku keluar. Aku minta dia supaya membawa wanita itu ke apartemen, atau ke cottage, atau ke kampung, asal jangan bawa ke rumahku, tetapi ia tetap melakukannya. Kemudian ia membuang semua baju ke luar dan membiarkan basah diguyur hujan. Kakakku yang harus mengumpulkan baju itu." Jenny, putri seorang penerbit buku di London, kini tinggal di apartemen mewah yang setengah selesai di New York. Dengan adanya apartemen itu Paolo mencoba melepaskan diri dari Jenny, sementara Jenny bisa hidup terpisah sebagai bagian dari percerian yang ia inginkan. Tahun 1990 mereka berdua membelinya seharga US$ 3 juta tiga buah apartemen di tingkat 64 Metropolitan Tower di tengah-tengah Manhattan. Ketika Jenny menemukan suaminya punya affair dengan Penny Amstrong, ia memutuskan untuk memulai hidup baru bersama putrinya, Gemma, di New York. Sialnya, pekerjaan konstruksi belum selesai seluruhnya ketika Jenny menandatangani surat perceraian. Paolo segera menolak membayar semua tagihan dan kontraktor tak mau melanjutkan pekerjaan yang tersisa. Hasilnya, Jenni Gucci, 44 tahun, tinggal di sebuah apartemen dengan pemandangan ke arah Manhattan dan Central Park, tetapi dengan interior sebuah pekerjaan bangunan yang belum selesai. Jadi, bukan sebuah rumah tempat tinggal. Banyak pekerjaan kayu yang belum dihaluskan dan hampir semua kabel serta pipa belum ditutup. Jenny terpaksa meminjam layar berwarna emas dari temannya yang bekerja di sebuah tempat pertunjukan untuk menutup dinding dan langit-langit yang masih terbuka. Suaminya tidak membayar satu sen pun untuk pemeliharaan selama berbulan- bulan. Perhitungan Jenny, Paolo berutang padanya sebesar US$ 520.000 atau sekitar Rp 1 miliar. "Yang perlu dipahami tentang keluarga Gucci," katanya bersemangat "adalah bahwa mereka benar-benar sinting, penipu, dan sangat tidak jelas. Mereka harus diawasi, tetapi begitu mendapatkan yang mereka inginkan, mereka segera menghabiskannya. Yang paling sederhana adalah mereka itu perusak." "Aku selalu duduk di luar kalau mereka sedang mengadakan rapat direksi, mendengarkan mereka menjerit, meneriaki satu sama lain, dan aku berpikir 'Ya, Tuhan, siapa yang aku kawini?' Maksudku, manusia yang normal tidak akan melempar asbak di dalam ruangan, bukankah begitu? Mereka seperti sekumpulan anak- anak kecil," kata Jenny. *** Selama bertahun-tahun, biografi yang ditulis oleh perusahaan hubungan masyarakat yang dibayar Gucci menyatakan bahwa Gucci adalah keluarga bangsawan dengan rantai aristokrasi ratusan tahun di belakang. Aldo Gucci sangat suka membual tentang sejarah keluarga yang menurut dia bisa ditelesuri sampai 500 tahun lalu, dan bahwa nenek moyang mereka dulunya membuat sepatu bot kulit dan tali kekang kuda untuk keluarga raja. Itu semua hanya omong kosong. Ayah Aldo, Guccio Gucci, yang lahir di Florence tahun 1881, adalah anak pembuat topi jerami yang sedang menghadapi kebangkrutan. Guccio memutuskan untuk berlayar pada usia 14 tahun sampai akhirnya mendarat di London tahun 1897. Di London ia bekerja sebagai pencuci piring di Hotel Savoy. Dalam versi keluarga Gucci -- yang jelas sudah dipoles -- mengenai sejarah perusahaan Gucci, disebutkan bahwa Gucci dipromosikan menjadi maitre d'hotel atau semacam asisten manajer sehingga "mendapat kesempatan untuk mengamati dan memahami selera dari unsur-unsur kehidupan kelas tinggi". Karena posisinya yang cukup tinggi itulah, ia tidak pulang ke Italia sampai tahun 1920. Hotel Savoy tidak punya catatan tentang para pekerjanya dulu. Tetapi sepanjang yang menyangkut Guccio yang dipromosikan dari tukang cuci piring sampai menjadi maitre d' hotel dalam jangka waktu lima tahun, tampaknya cerita itu tidak benar. Guccio jelas kembali ke Florence tahun 1902 karena ia harus bertanggung jawab atas kehamilan seorang tukang jahit bernama Aida Calvelli, yang tak lama kemudian dinikahinya. Anak pertama mereka adalah perempuan, Grimelda, yang lahir bulan Januari 1903, yang diikuti kelahiran empat anak laki-laki lain -- satu di antaranya meninggal sewaktu bayi. Awal toko kulit Gucci bermula ketika Guccio menemukan pekerjaan pada seorang pembuat produk kulit kelas tinggi, dan pada saat yang bersamaan bekerja sebagai sopir tentara dalam Perang Dunia Pertama. Baru pada tahun 1922 ia membuka toko kulitnya sendiri di Florence. Grimelda bekerja sebagai kasir sampai ketiga saudaranya -- yaitu Aldo, Rodolfo, dan Vasco -- ikut terjun ke bisnis keluarga. Aldo, yang paling ganteng dan sangat populer di kalangan wanita, berhasil membuktikan diri sebagai seorang penjual yang istimewa dan berhasil membujuk ayahnya untuk memperluas usaha dari produk tas semata sampai menghasilkan sabuk, dompet, dan produk-produk kecil lain. Semua produk mereka diberi inisial Gc. Tahun 1927, Aldo, yang waktu itu berusia 22 tahun, kawin dengan Olwen Price, seorang gadis dari Welsh yang bekerja sebagai pembantu di Florence. Seperti yang dilakukan ayahnya sebelumnya, waktu itu tunangan Aldo hamil. Olwen memberi Aldo tiga orang anak, yaitu Giorgio, Paolo, dan Roberto. Tahun 1939, Gucci meluaskan sayap ke Roma, ke sebuah toko di Via Condotti yang dikelola oleh Aldo. Toko itu tetap buka selama perang dan Olwen bekerja secara diam-diam dengan jaringan yang kuat untuk menyembunyikan tahanan-tahanan Sekutu dan pilot-pilot yang pesawatnya ditembak jatuh di kamar belakang toko. Keberanian itu kemudian diakui dengan sebuah tanda penghargaan resmi untuk Olwen. Adik Aldo yang paling bungsu, Rodolfo, mengeksploitasi wajahnya yang tampan dengan main film bisu di Hollywood. Ia sempat jadi bintang film yang cukup sukses tetapi pada akhir musim perang menghadapi masa-masa sulit, sehingga ayahnya mengajak dia membantu bisnis keluarga. Tugasnya mengawasi toko ketiga mereka di Milan. Belakangan Rodolfo sering menyatakan bahwa ia telah mengorbankan kariernya yang gemilang di layar emas demi bisnis keluarga. Itu, menurut Rodolfo, adalah wujud kesetiaan seorang anak laki-laki. Guccio Gucci meninggal tahun 1953, pada usia 72 tahun. Pada tahun itu, bisnisnya -- atas dorongan Aldo -- sudah berkembang ke Amerika Serikat. Waktu itu mereka membuka toko di kawasan Fifth Avenue yang terkenal di New York. Perluasan usaha ke New York juga merupakan kesempatan bagi Aldo untuk menyembunyikan simpanannya, Bruna Palumbo, yang sebelumnya bekerja di toko Gucci di Roma. Di New York, Bruna Palumbo tinggal di sebuah apartemen yang dibayar perusahaan. Sebelum Gucci meninggal, ia sempat membagi usaha keluarga kepada ketiga anak laki-lakinya. Putrinya, Grimelda, protes karena merasa perannya terhadap bisnis keluarga tidak dihargai dan mendekati saudara-saudaranya agar diberi saham. Namun, ketiga saudaranya menolak permintaan itu. Usaha Grimelda menuntut secara hukum juga gagal. Sementara itu, kecemburuan antara Aldo dan Rodolfo mulai muncul. Aldo menganggap Rodolfo sebagai pencinta seni semata, yang tidak mengetahui apa pun tentang bisnis, sehingga pendapat Rodolfo tak perlu didengar. Rodolfo menganggap rendah pekerjaan penjaga toko dan kembali dengan cerita lama: "penyesalan meninggalkan karier di layar perak". Jadinya, kedua saudara itu terus berkelahi -- termasuk dalam soal wanita -- dan tidak jarang sampai tampar-tamparan. Anak Guccio Gucci yang lain, Vasco, tak peduli pada pertengkaran antara dua saudaranya dan juga tidak mau tahu dengan kemajuan bisnis. Ia lebih suka menghabiskan waktu dengan berburu dan memancing. Perkawinan resmi Vasco tidak menghasilkan anak, tetapi ia punya anak juga dari seorang wanita dan membayar ibu si anak untuk diam supaya anak itu tidak akan menuntut apa pun dari keluarga Gucci. Keadaan makin buruk dengan masuknya tiga anak laki-laki Aldo ke dalam bisnis walau ketiganya sadar bahwa mereka sulit bekerja sama dengan ayah mereka yang otoriter. Lagi pula, ketiganya ternyata tak mudah menghadapi kenyataan bahwa ayahnya punya istri di Roma -- yaitu ibu mereka -- tapi juga ada simpanan di New York dan punya pacar yang setiap minggu berganti-ganti. Walau punya banyak pacar, Aldo ingin agar anak-anaknya melakukan apa yang dia perintahkan, bukan melakukan apa yang sudah ia lakukan. Jadi, ketika ia dengar anaknya Roberto yang sudah kawin punya hubungan gelap dengan seorang gadis penjaga toko, gadis itu segera dipecat dari tokonya. Ketika Roberto membantu gadis itu membuka toko sendiri, Aldo memecat Roberto. "Aldo adalah karakter yang sulit ditebak, tetapi pada dasarnya ia adalah orang yang baik," kata Jenny Gucci. "Hanya saja ia sangat ingin mengontrol orang dan sangat kasar. Aku kira semua anaknya takut padanya. Aku tahu dia pernah bersikap kasar pada ibunya, di hadapan ketiga anaknya," kata Jenny. "Aku ingat ketika datang terlambat lima belas menit untuk sarapan pagi di rumah Aldo di Palm Beach dan ia marah dengan berteriak-teriak padaku di hadapan tamu. 'Kamu kira kamu siapa, datang terlambat ke meja makanku.' Suatu kali di New York ia mengatakan padaku 'Mari, aku akan traktir kamu makan siang,' dan kami pergi ke Burger King di Times Square. Menurutku, itu aneh sekali. Seorang multijutawan mengajak iparnya makan siang di Burger King." Sementara Aldo tumbuh jadi semakin kasar dan blakblakan, adiknya, Rodolfo, jadi semakin tertutup, dan mencurahkan perhatian berlebihan pada anak satu-satunya, Maurizio. Ia juga menghabiskan waktu dan uangnya untuk membuat film otobiografi -- proyek yang jadi obsesi pribadinya. Rodolfo ingin sekali jika peran terakhirnya sebagai aktor adalah menjadi bintang dalam film yang menceritakan kehidupannya sendiri, yang ingin memperlihatkan prestasi yang telah dicapai keluarga Gucci secara umum dan keberhasilan pribadinya. Maurizio adalah ahli waris pertama Gucci yang bersekolah di universitas. Begitu selesai, dia segera dikirim ke New York untuk belajar bisnis pada pamannya, Aldo. Ketika kembali ke Italia dan memberitahukan rencana pernikahannya, ayahnya, Rodolfo, menentang. Rodolfo menuduh pacar anaknya hanya ingin mengeruk emas keluarga Gucci -- padahal wanita itu berasal dari keluarga kaya. Maurizio dan Patrizia akhirnya tetap kawin, yang menyebabkan hubungan ayah-anak retak dan baru pulih beberapa tahun kemudian. Pada awal tahun 1970-an, Gucci telah tumbuh jadi perusahaan multijutaan dolar, dengan lebih dari 1.000 orang pegawai di seluruh dunia. Reputasinya dalam produk-produk mewah tidak tertandingi. Dalam daftar pelanggannya tercatat Ratu Inggris dan kerabat kerajaan, para bintang Hollywood, maupun Imelda Marcos. Ketika Vasco meninggal tahun 1975, Aldo dan Rodolfo dengan mudah mengumpulkan uang US$ 2 juta untuk membeli saham dari janda Vasco. Aldo lalu membagi 50% saham yang dimilikinya kepada ketiga anaknya. Aldo rupanya tak menyadari bahwa hal itu berbahaya karena akan mengganggu keseimbangan kekuasaan. Soalnya, bila salah seorang anaknya berpihak pada Rodolfo, maka Rodolfo akan memiliki suara mayoritas. Namun, perseteruan pertama sebenarnya disulut oleh Paolo, anak ketiga Aldo yang selalu mengkritik bahwa perusahaan dikelola dengan manajemen brengsek dan gagal merebut peluang. Paolo ingin menjual lisensi nama Gucci dan menghasilkan produk-produk yang lebih murah karena yakin akan pasar yang besar untuk produk seperti itu. Ayahnya, Aldo, dan pamannya, Rodolfo, menolak gagasan itu. Namun, Paolo jalan terus, membuat rencana menjual produk atas namanya sendiri -- Paolo Gucci. Begitu ayah dan pamannya tahu, tepatnya pada tahun 1980, Paolo segera dipecat. Paolo tak mau terima. Ia yakin ayah dan pamannya dapat ditahan jika ia membuka rahasia yang ia ketahui. Paolo, misalnya, tahu bahwa jutaan dolar dari penghasilan Gucci mengalir ke rekening perusahaan fiktif di luar negeri, yang dari tanda pengirimannya tercatat untuk ongkos sebuah perusahaan desain di Hong Kong. Tak seorang pun pernah melihat perusahaan itu. Ayah dan pamannya juga mendirikan perusahan di Panama untuk menyembunyikan uang guna menghindari pajak. Maka, Paolo mengajukan bukti-bukti yang memberatkan ke pengadilan, tetapi paman dan ayahnya tenang-tenang saja. Paolo memperingatkan ayahnya, bahwa pengaduannya berbahaya, tetapi ayahnya mengabaikannya seperti angin lalu. Ketika Paolo menawarkan untuk menarik gugatan asal diberi izin menjual barang dengan logo namanya sendiri, sang ayah spontan menolak. Berbulan-bulan percekcokan antara mereka berlangsung di pengadilan sebelum akhirnya bisa berdamai. Sepertinya perdamaian itu mustahil, tetapi memang begitulah kenyatannya. "Mereka mendapatkan aku kembali dengan janji bahwa aku akan bertanggung jawab untuk merancang dan mempromosikan model baru dari produk-produk lisensi. Untuk itu aku akan mendapat 15% dari keuntungan kotor," kata Paolo. "Bagiku, itu seolah impian yang jadi kenyataan tapi rupanya hanya tipuan, sebuah tipuan total. Aku betul-betul dijebak." "Aku mulai kaget ketika aku tak mempunyai kantor atau seorang sekretaris pun. Hanya ada sebuah meja. Kemudian ketika aku minta buku transaksi keuangan, semuanya menolak. Mereka bilang, mereka sudah dilarang memperlihatkan apa pun padaku," tambah Paolo. "Pada pertemuan ketika aku pertama kali menjelaskan proposal lisensi itu, mereka langsung membantainya. Tidak, tidak, tidak, kata semua orang. Rasanya, aku mau pergi ke neraka saja. Semua janji mereka palsu. Mereka hanya ingin aku kembali bergabung, karena mereka memerlukan semua pemegang saham untuk mengubah struktur perusahaan demi persiapan masuk bursa." Namun, ada syarat utama bagi Paolo agar bisa kembali ke perusahaan, yaitu menarik gugatan atas Gucci. Tetapi, ia sudah terlambat ketika ingin menarik semua dokumen dari pengadilan. Inland Revenue Service, lembaga pemerintah yang mengurus pajak, sudah membuat catatan penting terhadap kasus itu dan siap memulai penyelidikan atas kasus penggelapan pajak yang dilakukan ayahnya -- yang ditaksir senilai US$ 15 juta. Pendapatan yang "bebas pajak" itu berasal dari usaha Gucci di Amerika. Bulan Mei 1983, Rodolfo wafat. Ahli warisnya, Maurizio segera menyadari --sekaligus terkejut -- besarnya peninggalan ayahnya. Pada umur 25 tahun, Maurizio menguasai 50% saham Gucci, serta serangkaian gedung di St. Moritz, Milan, Meksiko, dan New York, dan juga sebuah film panjang tentang kisah hidup ayahnya. Namun, peninggalan itu tidak cukup. Maurizio tidak puas hanya dengan separuh harta perusahaan, tetapi dia ingin menguasai perusahaan. Dengan cepat ia mengonsolidasikan kekuatan, dan mengajak sepupunya Paolo -- yang ia sebut sebagai sumber segala bencana -- untuk bekerja sama. Maurizio menawarkan untuk membeli semua saham Paolo dan mengajak Paolo mendirikan perusahaan patungan yang memproduksi produk berlisensi Gucci, termasuk produk-produk yang sudah dikembangkan Paolo dengan merek namanya sendiri. Dalam kesepakatan itu termasuk juga penunjukan Paolo sebagai presiden perusahaan baru dengan gaji US$ 500.000 setahun dan pembagian 6% dari keuntungan. Paolo setuju karena ia akan ditunjuk menjadi presiden perusahaan. Maurizio segera melakukan pertemuan dan menyatakan bahwa dia memiliki wewenang mayoritas dengan memegang mandat atas saham Paolo sehingga menguasai suara mayoritas. Dalam pertemuan itu ia sekaligus mengumumkan pemberhentian semua direksi, termasuk pamannya Aldo, yang segera harus mundur dari jabatan presiden Gucci. "Ketika ayahku tiba di kantor esok paginya," cerita Paolo, "dia melihat kantornya sudah dibersihkan, kunci pintu sudah diganti, dan semua barang miliknya ditumpuk di depan pintu. Ayahku mencoba berpura-pura seolah dia masih presiden, pergi ke toko di New York seperti biasanya, dan memerintahkan barang barang di toko diubah, tapi tidak seorang pun mengacuhkan. Itu kenyataan yang pedih sekali." Ketika Maurizio mengumumkan komposisi dewan direksi baru -- dengan dirinya sendiri sebagai presiden direktur -- nama Paolo tidak ada dalam daftar. Tapi saudara Paolo, Giorgio, ditunjuk sebagai wakil presiden. Paolo amat berang. Ketika penjualan sahamnya diselesaikan di kantor Bank Swiss, dia menemukan bahwa kontrak ternyata tak lagi menetapkan dia sebagai presiden perusahaan baru. Yakin bahwa itu merupakan akal bulus Maurizio yang ingin menggencetnya, Paolo menolak menandatangani kontrak. Paolo juga menolak mengembalikan uang US$ 2 juta yang sudah ia terima dari Maurizio dalam bentuk deposito. Akhirnya, sebagaimana Gucci-Gucci yang lain, kedua sepupu ini saling menuntut. Begitulah, ada banyak pertengkaran antara Gucci-Gucci di pengadilan yang berlangsung saat itu. Paolo terus saja menuntut hak dari perusahaan agar bisa menjual barang dengan namanya sendiri. Sebaliknya, perusahaan terus saja menggugat balik setiap Paolo menggugat. Sedangkan Roberto, saudara Paolo, digugat karena mengambil alih hak milik iparnya dalam menjual produk-produk Gucci di toko bebas bea yang berada di bandara- bandara. Paolo dan saudara kandungnya Roberto saling tuntut untuk merebut hak pemasaran minuman alkohol bermerek Gucci. Sementara itu, Maurizio juga menggugat Roberto karena menjual wiski yang berlogo "dipilih oleh Roberto Gucci" tanpa izin Gucci. Aldo menuntut istrinya, Olwen, bercerai -- sementara anak-anaknya, Roberto dan Paolo -- bersatu membela ibunya untuk mencegah perceraian. Masih ada lagi gugatan atas Maurizio karena menunda kontrak distribusi parfum Gucci di Amerika Serikat. Kasus lain: Gucci Shop Inc. menuntut Aldo dan Roberto untuk mengembalikan pemberian-pemberian dana sosial yang tidak pada tempatnya. Riwayat peradilan keluarga Gucci bertambah setelah Aldo memberikan pukulan balasan untuk kemenakannya Maurizio. Pada awal 1985, Aldo dan Roberto memberikan informasi kepada hakim Italia bahwa Maurizio memperoleh saham dari ayahnya sebelum meninggal. Tuduhan mereka, ada seseorang yang memalsu tanda tangan Rodolfo di dokumen pemindahan hak perusahaan kepada anaknya Maurizio. Jika tudingan itu benar, bahwa saham Maurizio semuanya diperoleh dari harta ayahnya, maka -- berdasarkan peraturan di Italia -- Maurizio harus membayar denda atas pajak kematian yang nilainya sudah mencapai US$ 200 juta. Satu- satunya cara bagi Maurizio untuk mendapat uang sebanyak itu adalah menjual sebagian besar kepemilikannya di Gucci. Penyelidikan penuh dilancarkan atas kasus Maurizio ini, dan tak lama kemudian muncul lagi dakwaan bahwa Maurizio juga melanggar peraturan valuta asing. Ketika sedang berada di Australia, mengawasi lomba layar yang disponsori Gucci yang merupakan saingan dari lomba bergengsi America Cup, apartemennya di Galleria Passarella, Milan, digeledah. Bulan September 1986, tindakan Paolo melawan ayahnya, Aldo, mencapai titik tragis yang tak dapat dihindarkan lagi. Pengadilan kriminal di New York menyatakan Aldo Gucci, 82 tahun, bersalah melakukan penggelapan pajak. Aldo dihukum satu tahun penjara, dan mesti mengembalikan uang pajak sebesar US$ 7 juta beserta dendanya. Lelaki tua itu, dengan air mata menetes di pipi meratap sedih. "Beberapa anakku telah menjalankan kewajiban mereka. Tetapi, beberapa yang lain mencari pembalasan, dan hanya Tuhan yang akan mengadili mereka. Aku memaafkan siapa pun yang menginginkan aku berada di sini." Paolo tak merasa bersalah. "Ayah menyalahkan aku. Oh, ya, dia menyalahkan aku. Tetapi aku telah mengingatkan akan risikonya, dan dia sebenarnya punya banyak sekali cara untuk menghindar. Aku hanya dapat mengatakan, 'baik, Anda menanggung risiko dan Anda akan terbakar'." Istri Paolo, Jenny, punya ingatan yang berbeda. "Ketika kami mendapat telepon tentang apa yang terjadi, Paolo semaput. Dia merasa dipermalukan. Dia tak sengaja menjerumuskan ayahnya, suatu kejadian yang mengerikan. Aldo mestinya bersikap lunak menyelesaikan persoalan ini, tetapi mereka berdua itu memang terlalu kepala batu." Aldo menjalani hukuman lima bulan di penjara federal di Florida, dan separuhnya lagi dia jalani sebagai tahanan rumah -- yang terletak tidak jauh dari mansionnya di Palm Beach yang dahulu biasa ia kunjungi setiap akhir pekan. Dia memang bisa menjalani hukuman dengan tenang, tetapi semangat hidup dan energinya mulai mengendur. Beberapa tahun sebelumnya, Jenny dan Paolo mengunjungi Aldo di Palm Beach dan terkejut ketika mendapati sang ayah sedang berjemur di pinggir kolam renang ditemani seorang wanita tanpa BH. Playboy tua itu sudah meninggal pada bulan Mei 1990, dan meninggalkan kekayaan senilai US$ 30 juta kepada Bruna dan seorang anak perempuan mereka. Namun, segera saja ada gugatan atas harta yang ditinggalkan Aldo itu dari Olwen, istri pertama Aldo. Dengan dukungan Paolo, ia mengklaim bahwa harta warisan itu "diperoleh dengan kecurangan, di bawah paksaan, dan tanpa hak". Ketika Aldo masih di penjara, Maurizio -- yang yakin dia diperangkap oleh anggota keluarga lain -- khawatir bisa mengikuti jejak Aldo. Saking takutnya ditangkap, Maurizio terbang ke Swiss pada musim panas 1987. Di sana, selama lebih dari setahun, Maurizio hidup seperti buronan. Selama dalam persembunyian, Maurizio menunjuk direktur baru sampai ada putusan atas tuduhan yang diajukan padanya. Di saat itulah, pamannya, Aldo, dan anak-anaknya setuju untuk menjual 50% saham mereka kepada Investcorp, sebuah bank yang bermarkas di Bahrain. Agaknya, Aldo ingin mencoba mengakhiri permusuhan keluarga dengan menjual saham mereka. Harga penjualannya dilaporkan sebesar US$ 170 juta. Sementara itu, pada bulan Juli 1988, pengacara Maurizio mencapai kesepakatan dengan jaksa penuntut, dan Maurizio bisa kembali ke Italia. Hukumannya, setahun penjara dengan penangguhan, dan selebihnya bebas untuk mengajukan banding. Ia kembali duduk sebagai presiden Gucci, dan menyatakan keinginannya bersama-sama dengan Investcorp meningkatkan Gucci dan memperbaiki noda yang memudarkan citra Gucci. Waktu itu sekitar 2.000 jenis produk Gucci tak lebih dari barang suvenir kelas murahan. Salah satu tindakannya adalah mengangkat Dawn Mello, bekas wakil presiden dan direktur kreatif asal Amerika, dengan gaji US$ 1 juta setahun. Nama Mello cukup dihormati di bisnis busana setelah ia berhasil membawa keberuntungan bagi sebuah jaringan department store yang hampir bangkrut di New York. Penunjukannya mendapat sambutan hangat. Mello memberi sentuhan baru pada penampilan klasik santai Gucci. Model itu belakangan juga ditiru oleh banyak jaringan toko kelas atas. Meskipun keuntungan Gucci tinggi -- sebesar US$ 43 juta dalam tahun 1989 -- Maurizio yakin bahwa terlalu banyak penjual eceran Gucci yang membuat keistimewaan produk Gucci jadi berkurang. Ia lalu membeli kembali semua waralaba Gucci di Amerika Serikat, mengurangi sejumlah toko Gucci, dan memangkas jenis produk yang dianggapnya tak cocok untuk pasar kelas atas --tanpa mempertimbangkan bahwa produk itu sebenarnya laris. Hasilnya, kemerosotan penjualan. Dari US$ 200 juta menjadi kurang dari US$ 180 juta. Pada tahun 1991 penjualan Gucci turun lagi sampai sebesar US$ 20 juta. Maurizio tidak ambil pusing atas kerugian itu karena yakin bahwa tahun-tahun sulit seperti itu selalu terjadi bila perusahaan sedang melakukan restrukturisasi. Dia juga menegaskan hubungannya dengan Investcorp masih berlangsung baik, sementara gosip berkembang bahwa pihak bank prihatin dengan sikap boros Maurizio serta adanya pinjaman-pinjaman besar yang mengancam investasi Investcorp. Meskipun pemasukan berkurang, Maurizio justru menghabiskan dana yang cukup besar untuk memewahkan toko Gucci di seluruh dunia. Ia juga memindahkan kantor pusat Gucci ke Piazza San Fedele di pusat kota Milan yang elegan, dan menghabiskan US$ 6 juta untuk perbaikan interiornya saja. Sementara itu, uang sewa kantor baru mencapai US$ 6 juta setahun, yang diambil dari simpanan perusahaan. Sebuah pesawat jet dibeli Maurizio untuk terbang pulang-pergi dari pabrik di Florence ke kantornya di Milan meskipun perjalanan dengan mobil atau kereta api sama cepat dan nyamannya. Ia juga membeli vila Bellosguardo, sebuah bangunan abad XVIII di dekat Florence. Bangunan tua itu diperbaiki dengan biaya US$ 10 juta supaya layak jadi tempat pertunjukan seni sekaligus sebagai pusat tempat pelatihan para manajer Gucci. Lalu perusahaan masih harus membayar sekitar US$ 100.000 setahun untuk sewa apartemen pribadi Maurizio di Via Corso, Milan. Apartemen itu dilengkapi dengan lintasan boling, ruang bola, serta senam pribadi. Untuk bepergian, Maurizio menggunakan dua Ferrari Testarossas, yang satu berwarna merah dan satu lagi hitam. Masih ada lagi Creole, sebuah kapal pesiar sepanjang 68 meter milik Stavros Niarchos yang disebut-sebut sebagai salah satu kapal terindah di dunia. Kekhawatiran para eksekutif Investcorp atas sifat boros Maurizio sebenarnya makin kuat setelah mereka kenal istrinya, Patrizia. Wanita glamor itu sangat senang permata dan pakaian bulu binatang, serta berdandan model pendek-ketat, Bersama dua anak perempuan mereka yang berangkat remaja, ia tinggal di apartemen mewah di pusat kota Milan, dekat toko Gucci di Via Montenapoleone --tempat Patrizia berbelanja secara teratur. Meski ditinggalkan suaminya, Patrizia tak pernah sedikit pun memberi gambaran buruk tentang suaminya. "Aku memang tergila- gila mencintainya. Dia lelaki yang menyenangkan, ayah dan suami yang baik. Tapi, dia berubah seluruhnya setelah kematian ayahnya, dari seorang yang lembut menjadi sangat congkak dan sombong. Ayah tiriku pernah mengatakan bahwa suatu hari aku akan menangis karena dia, tetapi aku terlalu mencintainya sehingga menerima dia apa adanya," kata Patrizia. Menurut Patrizia, suaminya jarang mengambil keputusan tanpa berkonsultasi dengan pembaca kartu ramalan, yaitu seorang wanita yang dilukiskan Patrizia seperti ahli sihir. Maurizio juga paranoid terhadap keamanannya. Ia selalu yakin dirinya sedang diincar sekelompok orang mistik sehingga mengumpulkan banyak tukang pukul. Maurizio juga terbiasa melemparkan surat ke dinding sebelum membukanya, untuk memastikan surat itu tidak berisi bahan peledak. Kemalangan akhirnya menimpa Maurizio. Pada April 1993, dilaporkan bahwa saham miliknya di Gucci disita oleh sebuah bank di Swiss karena ia tak sanggup membayar kembali pinjaman yang diambilnya atas jaminan Gucci. Kabarnya, Maurizio punya utang pribadi senilai US$ 40 juta, dan bank mengancam akan melelang sahamnya dalam tempo cepat kecuali utang itu bisa dilunasi. Belakangan, semua orang tahu bahwa Investcorp akhirnya kecewa dan meragukan kemampuan Maurizio dalam menjalankan perusahaan. Hubungan Maurizio dengan manajernya Dawn Mello juga memburuk, sehingga keduanya tak saling omong meski berpapasan di lorong kantor pusat Piazza San Fedele. Bulan Juli, Investcorp mulai melancarkan tindakan hukum untuk memaksa Maurizio hengkang dengan alasan tidak mampu mengurus manajemen perusahan. Bank menuduh mitranya ceroboh, dan tak punya naluri bisnis, dan secara terus-menerus gagal untuk "mengeluarkan suatu anggaran yang masuk akal atau yang dapat diterima dewan komisaris". Akhirnya, juru bicara Investcorp menegaskan perusahaan Gucci makin buruk dan genting. "Kita tak dapat membiarkan potensi Gucci yang begitu besar dihambur-hamburkan. Jalan keluarnya hanya dengan memasukkan pemodal baru berikut tim manajemen baru yang mampu, termasuk presiden direktur yang baru." Krisis keuangan pun makin berlarut, sampai gaji sebagian pegawai tak terbayar, tagihan dari pemasok tertunggak, dan akhirnya pada 1993-1994 pemasangan iklan mulai tertunda. "Menurut mereka, Gucci sudah tak punya uang untuk membayar reklame dan iklan," kata Fotografer Fabrizio Ferri. Sementara itu, serikat pekerja di pabrik dan pegawai di toko melancarkan pemogokan. Para pegawai mencegah agar tak ada yang bekerja selama pemogokan berlangsung, baik di pabrik maupun di toko Gucci, di Florence maupun di Roma dan Bologna. Tak lama kemudian, muncul selebaran di kantor pusat yang berisi pernyataan bahwa sewaktu buruh tak dibayar, Maurizio Gucci sedang asyik melanjutkan gaya hidup jutawan dengan biaya kantor. Sepuluh hari kemudian, Investcorp mengumumkan telah menguasai Gucci dengan membeli 50% saham Maurizio senilai US$ 170 juta. Sejauh itu, Maurizio berulang-ulang menyatakan bahwa sebenarnya hanya dia sendiri -- bukan Investcorp -- yang dapat membesarkan Gucci. Tapi tak ada lagi yang mendengar Maurizio. Para analis yakin tak akan ada sebuah perusahaan pun yang mau kerja sama dengan Investcorp selama Maurizio masih berada di situ. Artinya, tak ada pilihan selain Maurizio harus keluar. Untuk menyelamatkan muka keluarga Gucci, Maurizio masih diberi posisi sebagai konsultan khusus pada divisi barang mewah. Tetapi dia tidak pernah muncul melaksanakan tugasnya. Menurut Patrizia, suaminya mungkin sedang berlayar dengan kapal pesiar menuju Hawaii. Paolo Gucci masih tetap berharap bisa meluncurkan produknya sendiri, tetapi dia pesimistis mengenai masa depan Gucci. "Ini bisnis yang amat khusus karena produk Gucci adalah istimewa. Bisnis ini seperti restoran, bila juru masaknya pergi, restoran itu tak sama lagi. Apa yang diketahui oleh suatu perusahaan besar mengenai citra Gucci? Saya dengar, mereka berencana membangun pabrik di Amerika Selatan. Itu mustahil. Dapatkah Anda bayangkan Gucci dibuat di Argentina? Seperti wiski dibuat di Abu Dhabi? Tak akan berhasil." Roberto Gucci baru saja membuka toko barang-barang mewah di Florence, namanya House of Florence. Abangnya, Giorgio Gucci, menetap di Argentina, tempat ia memiliki sejumlah properti. Ketika keluarga Gucci tak punya saham lagi di Gucci, Patrizia berkomentar, "Gucci dapat bertahan selama beberapa generasi, tetapi Maurizio telah mendapat US$ 170 juta dan menenggelamkan sebuah dinasti. Jika Rodolfo, lelaki yang penuh integritas, dapat hidup lagi, tentu dia akan membunuh anaknya itu."Liston P. Siregar dan Indrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum