SEMBILAN penata tari muda Jakarta tampil di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki, Jumat dan Sabtu malam pekan lalu. Dian Nurulita, Hartati, Atin Kisam, dan Michael N.R. tampil pada malam pertama dengan empat karya: Kendali, Cabiak, Jingga, dan Siklus. Pada malam kedua, lima penata tari (Santi Ardati, Supriyadi Arsad, Zyckra Ayoub & Bambang Isti, dan Benny Krisnawardi) menyuguhkan empat karya juga: Cerita, Lari dalam Bayang-Bayang, Galuak Piriang, dan Di Atas Kursi Busa. Pada malam pembukaan, keempat penata tari menggarap nomor pendek (15 menit) dengan 25 penari. Kendali, karya Dian Nurulita, menampilkan tiga penari wanita berblus putih tanpa lengan, bercelana panjang abu-abu dari bahan tipis, dengan rambut dikepang dua. Karya ini menggambarkan hidup orang-orang di kota besar yang sering lepas kendali. Koreografi Kendali sederhana dan rapi. Sayang, hampir tanpa klimaks. Geraknya yang lembut, diselingi loncatan-loncatan kecil yang riang, berorientasi ke depan. Banyak gerak dilakukan kaku mirip gerak boneka. Sesekali mereka bergerak serempak dalam satu kelompok: di tempat atau mengelilingi pentas. Pada akhir tarian, penari yang di depan terbelit kain hitam yang menjulur dari atas. Musik pengiring oleh Anusirwan dan kawan- kawan cukup mendukung. Cabiak, sebuah duet yang ditarikan penatanya sendiri (Hartati) bersama Michael N.R., lebih mantap teknik geraknya tapi tak imbang pembagiannya. Penari wanita lebih aktif bergerak mengelilingi penari pria yang hanya berdiri pasif, mematung. "Patung" ini bertugas mengangkat penari wanita (setelah ia mengambil posisi dan kemudian berpose bak patung) dan memindahkannya, sehingga menimbulkan kesan dua patung yang bergerak. Inilah karya yang menggambarkan hati yang tercabik. Musik pengiring karya ini juga digarap oleh Anusirwan dengan memanfaatkan vokal Minang Gusnisam yang menimbulkan suasana liris. Kadang musik terlampau dominan. Dalam dua tarian itu, melalui musik pengiring, unsur-unsur tradisi (Minang) dimanfaatkan: bunyi pupuik yang panjang, gesekan rabab, vokal wanita dan pria yang bersahutan. Tapi itu tak sampai menjadi beban. Tak demikian dalam tari berikutnya. Jingga karya Atin Kisam terasa memikul beban tradisi yang berat. Dengan dukungan 8 pemusik Betawi yang memainkan rebab dan rebana, karya ini tampil dengan bergelora. Kelima penari pria mengenakan celana dan baju komprang warna jingga, berkain dan berikat kepala. Tiap penari membawa topeng Minakjingga yang berwajah merah menyala dengan mata melotot dan gigi terbuka. Barangkali dari sinilah diambil judul karya. Kelima penari Jingga bergerak memakai dasar pencak silat Betawi. Hampir sepanjang tarian mereka bergerak serempak, walau posisi dan level berubah-ubah: berdiri, jongkok, duduk, telentang, meloncat, bergulung, menyerang, dan berkelit. Terkadang mereka bergerak memakai topeng, acap tidak. Tak jelas efek apa yang hendak dicapai. Barangkali sekadar variasi. Dari sudut koreografi, komposisi geraknya elementer dan lebih menonjolkan aspek fisik. Pertarungan dengan jurus-jurus silat, misalnya, tanpa stilasi. Nomor penutup, Siklus, karya Michael N.R., ditarikan oleh lima penari wanita. Dari sudut ide, garapan ini paling menarik: andaikan sebuah roda, kehidupan itu berputar terus, kadang di atas kadang di bawah, dan baru akan berhenti bersamaan dengan berhentinya hidup itu sendiri. Michael menjelajahi berbagai kemungkinan gerak berputar: melingkar, spiral, dengan kedua tangan, kedua kaki, meniti jejak lingkaran. Dan semua itu dilakukan dalam berbagai kemungkinan: seorang berputar di tempat di tengah pentas, empat penari lainnya di keempat sudut berputar seakan meneruskan putaran-putaran penari di tengah, dan seterusnya. Sekalipun putaran gerak telah dibuat dalam berbagai arah, level, dan bagian tubuh, monotoni gerak masih terasa. Untung, variasi musik Doni Irawan berhasil memecahkan monotoni ini. Doni membangun ragam warna dan frekuensi bunyi pada degup irama yang ajek. Kelemahan Siklus terletak pada teknik gerak para penari yang pas-pasan (mediocre). Ini kelemahan umum banyak penari muda Indonesia yang biasanya keburu laris sebelum matang. Pementasan ini bisa mematangkan prestasi dan sekaligus untuk mengevaluasi hasil kegiatan kreatif seperti lomba koreografi yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dan Pusat Kesenian Jakarta. Aspek penciptaan tari yang telah lama ditumbuhkembangkan oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Institut Kesenian Jakarta mulai mendapat tempat di hati masyarakat, bukan hanya di Jakarta. Tengok, pada akhir tahun 1993, STSI Denpasar bekerja sama dengan Yayasan Walter Spies menyelenggarakan Pekan Seni Masa Kini dan mengundang Sulistyo S. Tirtokusumo untuk mementaskan garapan terbarunya, Panji Sepuh. Tahun 1995, pemerintah Indonesia merencanakan menyelenggarakan sebuah festival tari dan musik kontemporer tingkat dunia. Pantas dicatat, di Indonesia karya tari sering dihargai bukan karena nilai artistiknya, tapi, dan terutama, karena banyak "memanfaatkan unsur tradisi". Padahal, baik-buruknya sebuah koreografi tidak ditentukan oleh banyak sedikitnya materi tradisi, melainkan oleh kemampuannya menyapa perasaan dan batin penikmatnya.Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini