Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hannibal di Alam Nyata

Selain seorang tukang pijat tunanetra, empat remaja bisu dan idiot yang tinggal di dekat kediaman Sumanto ikut lenyap. Korban sang kanibal tak cuma tiga?

26 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malam itu, di Markas Kepolisian Resort Purbalingga, seperti juga malam-malam lainnya. Gelap dan dilingkar jeruji. Sembilan tahanan itu tiba-tiba disentakkan sebuah berita yang membuat mereka bergidik. Seorang pemangsa manusia bernama Sumanto akan diceburkan di dalam sel yang sama. Tanpa pisau, tanpa pistol, sosok ?Sumanto sang Kanibal? yang memenuhi televisi dan harian itu sudah cukup membuat kesembilan penghuni sel ciut. Sorot matanya tajam; gigi-geliginya yang putih bersinar saat dia menyeringai telah cukup membuat teman-temannya satu sel meringkuk ngeri. Bayangkan, bagaimana tubuh kekar para preman dan perampok itu meluruk ke pojok hanya karena Sumanto. Ketika malam turun, Sumanto tak kunjung memicingkan mata. Tiba-tiba saja ia terbangun dan menembang keras-keras. ?Habis, daripada sepi,? katanya memberi alasan. Ada lagi yang membuat penghuni sel makin jeri. Pori-pori tubuh Sumanto tak henti-henti menyemburkan bau menusuk hidung. Busyet! Mau tak mau para preman perampok itu memutuskan untuk melakukan sistem piket: mereka tidur bergantian. Tapi lama-kelamaan mereka pun tak tahan lagi. Ramai-ramai mereka lalu membuat petisi yang disampaikan lisan: minta tahanan baru itu dikerangkeng tersendiri. Maka, bereslah urusan pemisahan sang kanibal dengan teman-teman satu selnya. Sumanto, 30 tahun, tiba-tiba menjadi ?selebriti? baru; seseorang yang tiba-tiba diidentikkan dengan Dr. Hannibal Lecter, seorang psikiater karismatis dalam film The Silence of the Lambs dan Red Dragon (yang tengah beredar di Jakarta) yang gemar mengunyah daging manusia. Sosok yang mengerikan ini adalah warga Desa Pelumutan, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga, yang sudah dua pekan ini menggemparkan seluruh negeri. ?Kami takut dimakan. Wong, kami melihat sendiri dia sering makan cicak mentah-mentah,? kata Slamet, tahanan yang baru ditangkap karena menggarong. Kisah Sumanto memang layak membuat kita takut. Boleh jadi, kisah ini adalah kisah paling absurd dari berbagai aksi kanibalisme lain yang pernah menggegerkan negeri ini (lihat Mereka yang Mendahului Edan). Kebrutalan Sumanto pertama kali terungkap dari sebuah pemandangan ganjil yang membuat jantung Salim, seorang penyadap nira, nyaris copot. Siang itu, Minggu, 12 Januari lalu, Salim tengah memanjat pohon kelapa di dekat kuburan Dusun Srenggeng, Desa Majatengah, Kemangkon. Dari atas ia tersentak melihat kuburan Mbah Rinah, 81 tahun, yang baru sehari rapi ditimbun, sudah acak-acakan tak keruan. Liang lahatnya melompong tanpa jenazah. Yang tersisa hanya tujuh utas tali bekas pengikat kain kafan. Gempar. Seluruh desa di Kecamatan Kemangkon dihantui rasa takut. Dua hari kemudian, Selasa, warga tetangga di Desa Pelumutan tiba-tiba mencium bau bangkai di sekitar kediaman Sumanto. Polisi yang dilapori segera bergerak cepat. Mereka menggerebek gubuk reot yang sempit itu. Polisi lalu mencokok Sumanto yang masih mengenakan duah buah kalung yang berbungkus kain merah. Isinya: dua potong penis dan segumpal daging vagina. Jasad Mbah Rinah ditemukan di tanah pekarangan depan, hanya dikubur sedalam 10 sentimeter. Tapi bentuknya tak lagi utuh. Dua tulang keringnya tercecer di tempat lain. Sedangkan bagian betis teronggok di sebelah rumah. Lalu meluncurlah pengakuan menggemparkan itu. Dengan enteng, Sumanto mengaku telah mencuri dan..., masya Allah, menyantap mentah-mentah mayat Mbah Rinah. ?Tapi, pertama-tama saya menyayat dulu kemaluannya untuk dijadikan jimat,? kata Sumanto, kalem. Lebih gila lagi, Sumanto mengaku bukan hanya sekali memangsa daging orang. Ketika merantau ke Lampung?sejak 1988?ia telah membunuh dua begal yang mencoba merampoknya, dan juga memakan dagingnya. Selain itu, masih ada tambahannya. Kepada TEMPO, Sumanto pun menyatakan pernah menggerogoti sepotong paha korban kecelakaan kereta api yang ditemukannya di Lampung. Perilaku edan itu bukan tanpa sebab. Menurut Sumanto, itu prasyarat untuk mendalami berbagai ilmu hitam seperti yang diajarkan Taslim, gurunya sekaligus rekan sekerjanya di pabrik gula PT Gunung Madu Plantation, Lampung Tengah. Sedikitnya, ia mesti menyantap tujuh mayat untuk menguasai berbagai kesaktian. Sayang, jejak Taslim tak dapat ditemukan. Didatangi TEMPO di Desa Kalikudo, Magelang, Taslim tak lagi tinggal di situ. ?Mungkin sekarang bekerja di Jakarta,? kata seorang warga yang mengenalnya. Dan bukan hanya pengakuan Sumanto yang mengagetkan. Dari gubuknya, polisi juga menemukan banyak sarung, pakaian, dan celana milik orang lain. Karena itulah Kepala Kepolisian Resor Purbalingga, Ajun Komisaris Besar Polisi Agus Sofyan Abadi, curiga Sumanto sudah memangsa lebih banyak. ?Ada kemungkinan jumlah korban yang dia makan bukan hanya tiga,? kata Agus. Salah satu pakaian itu telah dikenali sebagai milik Mistam, tukang pijat tunanetra dan penderes kelapa di Desa Pelumutan. Di suatu malam, sehari sebelum ia hilang 13 bulan lalu?sekitar Desember 2001?menurut Tumini, istrinya, Sumanto datang ke rumah mereka minta dipijat. Sumanto memang biasa bertandang ke situ. Sekitar pukul 21.30, Sumanto mengajak Mistam makan mi ayam. Katanya sebagai upah memijat. Cerita ini dikonfirmasi Raspen, penjual mi yang berdiam tak jauh dari rumah Sumanto. ?Malam-malam mereka berdua makan mi di tempat saya. Setelah itu mereka pergi, tapi tak tahu ke mana,? katanya. Semula, Tumini pasrah. Ia mengira suaminya mati hanyut di sungai. Sampai akhirnya geger Sumanto meledak. Dan benar saja. Di rumah Sumanto, perempuan malang itu menemukan sarung dan celana, persis milik suaminya. Tumini yakin betul Mistam telah dimangsa Sumanto. ?Suami saya hanya punya satu sarung dan celana warna gelap seperti itu. Ritsletingnya sudah rusak dan diikat dengan tali rafia,? katanya sesenggukan. ?Dia (Mistam) tidak bisa ke mana-mana, tongkatnya saja masih ada di rumah. Biasanya kalau pergi dia selalu dituntun anaknya.? Yang mengkhawatirkan, ternyata bukan cuma Mistam seorang yang tak tentu rimbanya. Menurut penelusuran TEMPO di lapangan, sepanjang tahun lalu setidaknya ada empat orang lain yang juga lenyap tak berbekas. Pada 3 November 2002, kakak-beradik Sarinah (18 tahun) dan Sutinem (10 tahun) raib begitu saja dari Desa Karangsalam, Kecamatan Susukan. Desa ini cuma dipisahkan Sungai Serayu dengan Desa Pelumutan, tempat Sumanto tinggal. Kejadian bermula saat pada pukul delapan pagi keduanya keluar rumah. ?Mereka mau beli mi ayam di dekat rumah tetangga,? kata Miswen, ibu korban. Tapi, hingga malam berganti, kedua putri mereka tak kunjung pulang, sampai sekarang. Padahal, kedua anak gadis itu bisu, buta huruf, tak hafal jalan kampung, dan karenanya tak pernah pergi jauh-jauh dari rumah. Karena itulah, Kasmirja, Ketua RT setempat, mencurigai Sumanto. Apalagi, katanya lagi, selama ini Sarinah biasa mencuci pakaian di Sungai Serayu, ?Bukannya menuduh, tapi Sumanto juga suka main ke situ.? Ada lagi cerita lain. Seorang pemuda lemah mental bernama Slamet Suprihatin, penduduk Desa Panggisari, Kecamatan Mandiraja, yang tertetak hanya tujuh kilometer dari Desa Pelumutan, juga raib. Pada suatu pagi tanggal 4 September 2002, remaja berumur 16 tahun yang gemar bermain suling itu pamit pergi ke rumah neneknya yang cuma berjarak 100 meter dari rumahnya. Hingga keesokan harinya, kedua orangtua dan neneknya kelimpungan. Slamet hilang. Padahal selama ini ia tak pernah minggat. Maka, begitu ada kabar soal Sumanto, mereka buru-buru pergi ke rumah sang kanibal. ?Di sana memang ada suling bambu,? kata Chamisah, ibu Slamet, sambil berharap cemas anaknya tak hilang di perut Sumanto. Hanya dua bulan setelah itu, giliran seorang tetangga Slamet yang hilang. Pada 13 November, sekitar pukul 11 siang, Sadikin, 20 tahun, pergi naik sepeda bututnya. Tunggu punya tunggu, ia tak pulang-pulang. Menurut Suwarto, ayah Sadikin, orang-orang mengaku bahwa terakhir anaknya terlihat di Kecamatan Bukateja; inilah tetangga Kecamatan Kemangkon, di mana desa Sumanto masuk wilayahnya. Seperti Slamet, Sadikin pun juga penderita lemah mental. Jejak Sumanto ke arah itu bukan tak ada sama sekali. Surtini, tetangga Sumanto, bersaksi pernah memergokinya membawa pulang seorang perempuan gila, sebelum kemudian diusir oleh warga. Jadi, mereka yang hilang itu memang telah dilahap Sumanto? Masih terlalu dini untuk menyimpulkan. Untuk memastikannya, polisi tengah menggelar penyelidikan. Masih kesulitan mencari bukti, untuk sementara aparat belum mengenakan pasal pembunuhan terhadap Sumanto. Menurut Agus Sofyan, Kapolres Purbalingga, kanibal itu baru akan dijerat dengan tiga pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana?Pasal 108 tentang pencurian di kuburan, Pasal 363 tentang pencurian biasa, dan Pasal 406 tentang perusakan. ?Plus Undang-Undang Darurat, karena dia telah merusak adat-istiadat dan norma yang berlaku di masyarakat,? katanya lagi. Dan bisa saja Sumanto terbebas dari hukuman. Semula, menurut hasil pemeriksaan awal tim psikologi dari Kepolisian Daerah Jawa Tengah, ia disimpulkan merupakan seorang psikopat dengan kondisi kejiwaan yang normal. Tapi, setelah diinapkan di Rumah Sakit Banyumas sejak Kamis silam, dan diperiksa intensif oleh dokter ahli jiwa, Sumanto diduga mengalami gangguan psikis serius. Jawabannya selalu berubah-ubah dan tak konsisten. Kepada polisi semula ia mengaku ?hanya? menyantap tiga orang, lalu berubah jadi empat, dan terakhir kepada psikiater yang mewawancarainya, malah bertambah jadi lima. ?Kami menemukan semacam gangguan jiwa pada dirinya,? kata dr. Basiran, ketua tim pemeriksa. Bentuknya rupa-rupa, dari bentuk pemikiran yang tak realistis, kepercayaan terhadap mistik yang sulit diubah, termasuk gambaran afeksi yang tak bersesuaian?misalnya, kalau bilang takut, mimik Sumanto tampak tenang-tenang saja. Untuk memastikannya, pemeriksaan laboratorium akan digelar selama 14 hari, termasuk tes kebohongan. Jadi, seberapa waras Sumanto untuk bisa diadili masihlah harus ditunggu. Ia memang tak ?seelegan? Dr. Hannibal Lecter, sang tokoh psikopat sekaligus pakar psikiatri forensik yang terkenal itu. Dikisahkan, Lecter mampu mengiris otak hidup-hidup dari tempurung kepala Asisten Deputi Inspektur Jenderal Paul Krendler sembari meletakkannya di pinggan perak, mengaduknya sedikit dengan tepung dan remah roti, menumisnya, membumbui dengan saus serta irisan jamur. Sang kanibal lalu menyempurnakannya dengan hiasan peterseli serta buah-buah beri perdu yang masih disertai gagangnya, sebelum menyantapnya dengan nikmat sambil mengenakan tuksedo. Bagaimana dengan Sumanto? Ia memang ?cuma? menggerogoti daging korbannya, setelah sebelumnya ia mencium mata kanan dan kiri si mayat, memotong kedua jempol kakinya, dan menelannya mentah-mentah. Konon, agar arwahnya tak datang mengganggu. Tapi polisi dan para psikiater jelas perlu lebih dari sekadar serius mengungkap kejahatannya. Sumanto bukanlah tokoh fiksi dalam lembaran-lembaran novel Thomas Harris atau film thriller legendaris The Silence of the Lambs. Sumanto adalah Hannibal yang hidup nyata di sekitar kita.? Karaniya Dharmasaputra, Ahmad Taufik, Rommy Fibri dan Syaiful Amin (Purbalingga)
Aksi Sang Kanibal

Sabtu, 11 Januari 2003

  • Pukul 08.10: Mbah Rinah, 81 tahun, meninggal karena sakit.
  • Pukul 16.30: Mbah Rinah dikuburkan di Dusun Srengseng, Desa Majatengah, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga, Jawa Tengah.
  • Pukul 19.00: Sumanto menggali kuburan Mbah Rinah dengan kedua tangannya.

Minggu, 12 Januari 2003

  • Pukul 02.00: Mayat Mbah Rinah dikeluarkan dari liang lahat. Sumanto menyedot ujung jempol kaki mayat itu, konon supaya arwahnya tak datang menghantui. Setelah dimasukkan ke karung plastik, mayat lalu diangkut Sumanto dengan sepeda ke rumahnya sejauh 1,7 kilometer di Desa Pelumutan.
  • Di pekarangan rumahnya, Sumanto menyayat bagian kemaluan Mbah Rinah dengan sebilah pisau, memasukkannya ke kantong warna merah, lalu mengalungkannya di leher sebagai jimat.
  • Kedua kaki Mbah Rinah mulai dari dengkul dipotong. Sumanto menyayat bagian paha sebanyak dua piring dan memakannya mentah-mentah. Sisanya dipotong, lalu dipanggang dan diberikan kepada ayahnya, Nurya Wikarta. ?Dia bilang ini daging kambing, ya, saya makan,? kata Nurya.
  • Terdengar suara azan subuh. Karena menurut keyakinannya dia tak boleh lagi meneruskan makan mayat, Sumanto menguburkan sisa jasad Mbah Rinah di depan rumahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus