Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mereka yang Mendahului Edan

26 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAKEK itu telah 15 tahun mendekam di Penjara Kupang. Meski umurnya sudah 70 tahun lebih, semangat hidupnya masih tinggi. Bicaranya berapi-api, dan tak sekuku pun penyesalan tersirat di wajahnya. Dialah Yosep Siuk Pakae, narapidana seumur hidup yang juga pernah menggemparkan negeri ini dengan kisah pembunuhan brutal dan aksi kanibalnya.

Dengarlah pengakuannya kepada TEMPO yang menemuinya di bui. Lima belas tahun lalu, Oktober 1987, di Desa Kiusula, Nusa Tenggara Timur, Efrain Bobo, seorang pemuda berandalan berusia 29 tahun, dipergoki mencuri kuda milik keluarga Pakae. Sebelumnya, keluarga ini telah berkali-kali kehilangan kuda, sapi, dan babi. Tak kurang, sudah 27 ekor kuda peliharaan mereka raib entah ke mana.

Namun Efrain hanya mengaku mencuri seekor kuda. Yang lain, dia kukuh bilang tak tahu. Bolak-balik ditanyai, bukannya ciut, Efrain malah balik membentak. ?Hei, apakah kau ini hakim, jadi bertanya yang macam-macam,? Pakae menirukan.

Disemprot kasar begitu, Pakae naik pitam alang-kepalang. Bersama beberapa temannya, ia menggelandang Efrain ke hutan. Hukuman mati pun dijatuhkan. Parang berkelebat. Dan..., craakk! Sedetik kemudian, kepala Efrain pun menggelundung dari badannya.

?Tapi saya lihat, sepertinya kepala dia mau tersambung lagi. Matanya terus melotot melihat saya,? kata Pakae. Kontan darahnya jadi makin mendidih. Seperti kerasukan setan, Pakae lalu membelah dada Efrain, mengambil hatinya, dan..., ya Tuhan, lalu melahapnya dengan buas. ?Lidahnya, kemaluannya, juga saya potong dan saya makan. Matanya yang masih terus membelalak saya cungkil dan saya makan juga,? katanya kalem, ?Rasanya biasa saja, waktu itu saya makan dalam keadaan emosi. Sudah dua hari dua malam saya tidak makan dan minum.?

Dulu di pengadilan, juga sekarang, Pakae mengaku tak pernah menyesali perbuatan biadabnya itu. ?Saya puas, emosi saya habis sudah,? katanya. Kini ia tengah meminta pengurangan hukuman.

Pakae bukan satu-satunya pendahulu Sumanto. Lima belas tahun sebelumnya, juga pernah ada kanibal-pembunuh lain di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Namanya: Pikkir Sinaga. Yang tragis, korbannya adalah bekas pacarnya sendiri, seorang gadis bernama Senti Butar-butar. Otak di balik aksi keji itu adalah Jainar Ardo, ayah Pikkir, yang tak sudi menyaksikan anaknya terus dirayu-rayu Senti, sementara ia telah jodohkan dengan perempuan lain pilihannya.

Bak dicocok hidung, Pikkir menurut. Maka, pada suatu malam tanggal 3 Mei 1972, ketika bulan sabit baru mengintip di atas langit, Pikkir pun menjemput Senti. Gadis nahas itu diajaknya ke kebun kepala sawit. Dua teman Pikkir membuntuti di belakang dengan sepotong kayu di tangan. Di sebuah tempat yang gelap, nyawa Senti mereka habisi. Tapi itu tak cukup. Sesuai dengan pesan Jainar, tiga sekawan itu lantas mempreteli bagian tubuh Senti: mata, telinga, lidah, buah dada, bahkan otak dan hati gadis itu juga dirogoh. Di rumah, Jainar lantas memasaknya. Supaya arwah Senti tak mengejar, Jainar memimpin upacara kecil, dan seusainya mereka pun melahap organ Senti.

Akibat perbuatan keji tersebut, oleh hakim, Pikkir dkk. lalu divonis mati. Tapi di Mahkamah Agung hukuman itu diperingan menjadi penjara seumur hidup. Kini Pikkir masih meringkuk di Penjara Pematang Siantar.

Pada tahun 1989, keedanan itu menyeberang ke Desa Karanganyar, Bengkulu. Kisah bermula saat bayi kelima pasangan suami-istri Syafei dan Giyem lahir ke dunia, lelaki, sehat, dan montok. Tapi sebulan kemudian, curiga merebak di daerah kebun kopi itu. Tak seperti hari-hari sebelumnya, dari gubuk bambu Syafei tak pernah lagi terdengar tangisan orok.

Tiba-tiba Giyem melapor ke Lurah Karanganyar, Sudarman. Ceritanya aneh, tak masuk di akal. Giyem mengaku bayinya berbulu lebat, bermata besar, dan bertaring bak drakula. Sudarman tentu tak percaya. Apalagi keesokan harinya Giyem datang lagi. Kali ini dia bilang bayinya sudah jadi mayat, dan telah ia buang ke Sungai Musi. Siapa pembunuhnya tak jelas. Sudarman kontan melaporkan keanehan itu ke polisi.

Dalam pemeriksaan, Syafei membantah telah membunuh anaknya sendiri. Ia hanya mengaku membakar ari-ari si orok supaya normal kembali. Tapi pengakuan lain diperoleh polisi dari Poni, anak kedua Syafei. ?Malam ketika adik saya mati, ayah membakar daging dan lantas dimakannya sendiri,? katanya.

KD, Iwan Setiawan, Jeffriyantho Rohi (Kupang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus