Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Saat Si Gerandong Menjelma

Besar tanpa dipedulikan orang tuanya, Sumanto tumbuh menjadi seorang lelaki brutal yang tenggelam dalam klenik.

26 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMEN tak pernah bisa mengerti kenapa anaknya bisa menjadi seorang penyantap daging manusia. Saat masih di kandungan, menurut dia, Sumanto tak pernah minta hal yang aneh-aneh. ?Saya hanya mengidam buah kedondong,? kata perempuan lugu yang kini berusia 46 tahun itu. Bahkan di matanya, sewaktu bersekolah di SD Negeri I Kemangkon, Purbalingga, bocahnya berkembang layaknya anak-anak lain: bermain di pinggir sungai, berkelahi, dan mengarit bersama. Tapi masa kecil Sumanto sesungguhnya tak semanis itu. Sumanto, yang lahir pada 3 Maret 1972, nyaris tumbuh tanpa kasih sayang orang tua. Ayahnya, Nurya Dikarta, 56 tahun, mengakui sejak kecil putra keempat dari lima anaknya itu memang tak ada yang mengurusi. ?Saya tak tahu kebiasaan dia. Wong, tak pernah akrab. Yang mendidik dia itu ya orang-orang kampung. Saya sih masa bodoh,? ujarnya acuh tak acuh. Latar belakang itulah, kata Christoffel Wibowo, psikolog dari Kepolisian Daerah Jawa Tengah, yang pertama kali memantik problem kejiwaan dalam diri Sumanto. ?Dia jadi sering melebih-lebihkan sesuatu, untuk mencari perhatian dari orang di sekitarnya,? kata Christoffel. Contohnya ketika pada suatu waktu teman sekelas Sumanto di SD meminjam alat tulis. Ingin jadi pusat perhatian Sumanto kecil lalu naik ke atas meja dan berjalan ke bangku temannya. Gurunya terang marah besar. Tapi, atas kenekatannya itu, seluruh teman sekelas malah bertepuk tangan meriah. ?Dia memupuk kebanggaan dengan cara seperti itu,? ujar Christoffel lagi. Keganjilan diri Sumanto makin menjadi ketika pada 1988 ia merantau ke Lampung. Empat tahun bekerja serabutan, pada 1992 pemuda yang tak lulus SMP ini diterima menjadi buruh lepas di pabrik gula PT Gunung Madu Plantation, Lampung Tengah. Di sini sekali waktu dia mengangkut tebu, kali lain menebang, atau menyemprot hama, dengan upah Rp 12.500 sehari. Ketika itulah, menurut hasil pemeriksaan tim psikologi, arah hidup Sumanto berbalik. ?Dia menjadi psikopat setelah merantau ke Lampung,? kata Christoffel. Oleh rekan-rekan kerjanya, sejak awal, si Gerandong?begitu mereka menjuluki Sumanto karena rambutnya yang gimbal panjang, jarang mandi, bau, dan dekil?memang sudah dianggap tak waras. Bak pendekar, tiap hari dia menggunakan ikat kepala. Sumanto juga lebih sering menyendiri dan selalu saja menghilang entah ke mana. ?Kalau ngomong suka tidak nyambung. Orang cerita lain, dia ngomong lain,? kata Bejo, temannya sesama buruh, ?Dia itu aneh. Kamarnya dipenuhi cincin dan segala bentuk ajimat. Dia pernah menunjukkan sebuah benda, katanya dari daging dan kulit manusia.? Di Lampung pulalah kebiasaannya makan daging mentah bermula. ?Saya biasa berburu menjangan bersama teman-teman dan memakan dagingnya mentah-mentah,? kata Sumanto. Ketika itu, seorang temannya merobek lengannya dengan gunting, kemudian menjejalkan daging menjangan itu ke dalamnya. Sumanto tak mau kalah. Supaya lebih gagah, ia tak menggunakan gunting tajam. Tangannya ia sobek menggunakan test pen. ?Dengan begitu, Suman merasa lebih hebat dari teman-temannya,? Christoffel menjelaskan. Bersamaan dengan itu, kegandrungannya pada klenik dan ilmu hitam makin menjadi. Apalagi setelah ia berguru pada Taslim, temannya sesama buruh di Gunung Madu yang diyakininya menguasai ilmu kebal dan berbagai kesaktian lain. Taslimlah, menurut pengakuan Sumanto, yang mengajarinya ilmu pesugihan (cepat kaya) dan ilmu saipi angin (berjalan cepat). Syaratnya, ia harus menyantap daging orang. Sumanto melakoninya. Di Lampung, ia mengaku untuk pertama kali menikmati tubuh manusia. Asalnya dari dua orang begal yang dia bunuh dengan tangannya sendiri. Setelah itu, sifat Sumanto makin aneh saja. Ia jadi gampang naik darah dan ringan tangan. Karena itu dua perkawinannya lalu berantakan. Pada 1994, ia menikahi Tugiyem, yang dikenalnya saat sama-sama memburuh di Gunung Madu. Tapi pernikahan mereka hanya bertahan setahun. Mengaku kawin bukan karena cinta tapi lantaran takut diguna-guna sampai gila jika menolak, Tugiyem menyatakan tersiksa lahir batin selama menjadi istri Sumanto. Setiap hari, bila sang suami ada di rumah, mukanya tak pernah luput dari bogem. ?Ada saja yang membuatnya marah. Dan kalau marah, dia selalu meninju muka saya,? kata perempuan berperawakan kurus itu. Makin lama Sumanto makin beringas. Saat Tugiyem tengah hamil dua bulan, setelah menghajarnya habis-habisan, Sumanto pernah menggigit hidungnya. Sudah begitu, Sumanto juga tak pernah memberikan nafkah. ?Padahal dulu orangnya ramah dan sopan. Tak ada tanda-tanda dia bakal jadi suami yang kasar, apalagi makan orang,? kata Tugiyem. Bukan cuma Tugiyem yang tak tahan mendampingi Sumanto. Karena alasan yang sama, istri Sumanto sebelumnya, Sutrimah, juga minta cerai. Perempuan warga Desa Reksobinangun, Kecamatan Rumbia, Lampung Tengah, itu bahkan hanya mampu bertahan setengah tahun mendampingi Sumanto. ?Tiap hari kerjanya cuma teriak-teriak seperti orang kesetanan,? kata Ribut, ayah Sutrimah. Kepada TEMPO, Sumanto malah sampai hati menyatakan istrinya telah meninggal dunia, beberapa bulan sebelum ia balik ke Purbalingga. ?Dia mati karena sakit. Tapi saya tidak memakannya,? katanya. Setelah sempat pulang ke Purbalingga, antara November 2001 hingga Juli 2002 Sumanto kembali tinggal di Lampung Tengah dan bekerja di PT Great Giant Pineapple di Terbanggi Besar. Menurut pengakuan Basirudin, orang yang pernah menampungnya di sana, ketika itu Suman lumayan rajin bersembahyang. Tapi perilakunya tetap aneh: jarang mandi, jorok tak ketulungan, dan siang-malam tak henti-hentinya menembang. Salah satunya berbunyi begini, ?Ingat-ingat malam dan siang, badanmu itu seperti wayang. Jangan sampai tinggal sembahyang, badanmu itu bakal hilang?.? Setelah itu, dia pulang kampung dan menetap di Desa Pelumutan, Purbalingga. Di tanah kelahirannya ini, Sumanto bekerja seadanya. Kadang menjadi buruh tani, kadang menjual batu akik. Namun bukannya membaik, perangai Sumanto malah makin ganjil. ?Sepulang dari merantau, dia jadi lebih pendiam dan pemarah,? kata Sano, tetangganya. Ke mana-mana, Sumanto mengumbar cerita pernah makan segala jenis daging hewan. Kalau marah, ia suka mengancam akan memakan orang. Sekali waktu, Sumanto pernah membuat Sano bergidik. ?Paklik (paman), daging anakmu itu sedang gurih-gurihnya, saya makan boleh tidak?? kata Sumanto sambil menunjuk anak Sano yang masih duduk di bangku SD. Kali lain giliran Sano yang diancam bakal disantap. Suatu siang, ia minta bantuan Sumanto mengangkut jagung dari sawah. Melihat Sumanto asal-asalan melemparkan jagung ke atas mobil, Sano menegurnya. Sumanto sontak naik pitam, ?Tak (saya) sembelih baru tahu rasa kamu. Apa mau saya makan?!? Jangankan orang lain, Samen, ibu kandungnya sendiri, juga bergidik terhadapnya. Kata Samen, ?Kalau minta duit tak dituruti, Suman sering mengancam akan memakan saya hidup-hidup.? Toh, sampai sekarang, Samen, juga banyak yang lainnya, masih tak habis mengerti kenapa Sumanto jadi kanibal betulan. Terlebih lagi buat Wahyu Widianti, putrinya yang baru berumur delapan tahun, yang dia tinggalkan di Lampung Tengah. Jumat siang pekan lalu, bocah perempuan itu berlari pulang ke rumahnya di Desa Bumi Nabungan Ilir sambil terisak-isak. Dengan mata sembap, ia mengadu ke Tugiyem, ibunya, ?Mak, tadi teman-teman di sekolah pada mengejekku. Mereka bilang Bapak suka makan orang.? Rommy Fibri, Syaiful Amin (Purbalingga), Fadillasari (Lampung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus