Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono meminta pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan peserta didik dan mendukung konsep zonasi sekolah. Hal ini akan menjadi tantangan bagi para guru ke depannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pemda DKI keliatannya lebih perlu perhatian terhadap anak didik kita, kenapa kita harus mendukung konsep zonasi,” kata Heru Budi saat memberi sambutan pada pembukaan Konferensi Kerja Provinsi (Konkerprov) ke III PGRI DKI Jakarta Masa Bakti XXII Tahun 2023, Jumat, 5 April 2023 di Balai Agung, Balai Kota DKI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Heru Budi, konsep zonasi sekolah memiliki plus dan minus, sehingga Dinas Pendidikan bersama Kepala Sekolah dan para guru harus lebih memperhatikan peserta didiknya karena tidak ada lagi sekolah unggulan atau sekolah favorit.
“Ada bagus, ada tidak, anak didik kita akan tercampur dengan status dan kemampuan yang berbeda. Itu tentunya menjadi perhatian bagi guru-guru, sekolah favorit sekarang sudah tidak ada,” ujarnya.
Dilansir dari kominfo.go.id, sistem zonasi merupakan salah satu kebijakan yang ditempuh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menghadirkan pemerataan akses pada layanan pendidikan, serta pemerataan kualitas pendidikan nasional.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy pada saat itu, menyampaikan bahwa zonasi menjadi salah satu strategi pemerintah yang utuh dan terintegrasi. Kebijakan yang mulai diterapkan sejak tahun 2017 yang lalu ini telah melalui pengkajian yang cukup panjang dan memperhatikan rekomendasi dari berbagai lembaga kredibel.
Zonasi dipandang strategis untuk mempercepat pemerataan di sektor pendidikan. “Sistem zonasi ini merupakan puncak dari rangkaian kebijakan di sektor pendidikan yang kita terapkan dua tahun terakhir ini. Tujuannya untuk mengurangi, kalau perlu menghilangkan ketimpangan kualitas pendidikan, terutama di sistem persekolahan,” ujar Muhadjir.
Menurutnya, terjadi adanya ketimpangan antara sekolah yang dipersepsikan sebagai sekolah unggul atau favorit, dengan sekolah yang dipersepsikan tidak favorit. Terdapat sekolah yang diisi oleh peserta didik yang prestasi belajarnya tergolong baik/tinggi dan umumnya berlatar belakang keluarga dengan status ekonomi dan sosial yang baik.
Di sisi lain, terdapat pula di titik ekstrim lainnya, sekolah yang memiliki peserta didik dengan tingkat prestasi belajar yang tergolong kurang baik/rendah, dan umumnya dari keluarga tidak mampu. Selain itu, terdapat pula fenomena peserta didik yang tidak bisa menikmati pendidikan di dekat rumahnya karena faktor capaian akademik.
Hal tersebut dinilai Mendikbud tidak benar dan dirasa tidak tepat mengingat prinsip keadilan. “Sekolah negeri itu memproduksi layanan publik. Layanan publik itu harus memiliki tiga aspek, yang pertama non-rivalry, non-excludability, dan non-discrimination,” katanya.
Jadi, kata dia, sekolah tidak boleh dikompetisikan secara berlebihan, tidak boleh dieksklusifkan untuk orang/kalangan tertentu, dan tidak boleh ada praktik diskriminasi. “Sistem yang dikembangkan selama ini kurang memenuhi tiga persyaratan sebagai layanan publik itu,” ucap Muhadjir.