Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jarum jam belum juga menunjukkan pukul 05.15. Pelabuhan Bastiong di Ternate, Maluku Utara, sudah riuh. Di seberang, dari kejauhan, Maitara dan Tidore seolah-olah masih nyenyak. Dengan menumpang speedboat selama 10 menit, kami akan menyeberangi selat menuju Pelabuhan Rum, yang dulu menjadi pusat Kesultanan Tidore.
Kedatangan kami—juru foto Dhemas Revianto dan saya—ke Tidore pada awal bulan lalu adalah untuk menghadiri ratib, pengajian dengan memuji para rasul dan nabi, juga wali. Ratib kali ini digelar dalam rangka selamatan atas terpilihnya Husain Alting, 50 tahun, sebagai Sultan Tidore. Setelah dinobatkan pada 22 Oktober lalu, dia mendapat gelar Sultan Husain Syah. "Saya meminta seluruh bobato (dewan) melaksanakan ratib untuk meminta kepada Allah, mudah-mudahan negeri Tidore dan negeri yang pernah menjadi wilayah Kesultanan Tidore selalu diberkahi," kata Sultan.
Tidore adalah satu dari sekian kerajaan yang ada di Maluku. Kerajaan atau kesultanan lain adalah Ternate, Bacan, Jailolo, Obi, dan Loloda. Banyaknya kerajaan di sana membuat pedagang Arab menyebut kepulauan ini sebagai "Jazirah Al-Mamluk" atau "Pulau Raja-raja". Dari kata mamluk inilah konon nama Maluku berasal.
Para pedagang Arab adalah salah satu rombongan pertama yang datang ke Maluku. Dalam buku Ternate Mozaik Kota Pusaka oleh M. Sofyan Daud disebutkan, sejak masa pemerintahan Kolano (Raja) Sida Arif Malamo (1322-1331), pedagang dari Jawa, Malaka, Makassar, Gujarat, Arab, dan Cina berdatangan memburu cengkeh dan pala.
Di sini, para saudagar Timur Tengah berbelanja cengkeh, pala, kenari, dan berbagai rempah lain. Mereka lalu mampir ke Barus, Sumatera Utara, untuk mengambil kapur barus, sebelum pulang dan menjadi kaya. Para saudagar Arab mendapat keuntungan berlipat dengan menjual barang-barang itu ke Eropa. Di sana, rempah-rempah itu tidak hanya menjadi penyedap makanan, tapi juga sebagai obat dan bahan pembuat minyak wangi.
Selama berabad-abad saudagar Arab dan Cina merahasiakan Maluku dari Eropa. Spanyol, yang penasaran, mengirim penjelajah mereka—Christopher Columbus—untuk menemukan Maluku, tapi malah kesasar ke Amerika. Baru pada abad ke-16, Eropa datang.
Portugislah yang pertama mendarat di Ternate, pada 1512. Sembilan tahun kemudian, muncul dua kapal Spanyol, Victoria dan Trinidad, yang mendarat di Tidore, di bawah pimpinan Sebastian de Elcano. Inggris baru sampai pada 1579, dan Belanda pada Mei 1599 di bawah Kapten Van Warwijck.
Di selat yang sedang kami seberangi inilah kapal-kapal besar mereka pernah melintas dan membuang sauh. Pedagang dari seluruh penjuru dunia datang dan mengemis kepada para sultan dan raja agar dibolehkan memasukkan rempah ke lambung kapal mereka yang kosong rempah. Pedagang Eropa yang serakah kemudian berebut menguasai kepulauan itu. Belanda rela menukar New Amsterdam, kini New York, dengan Pulau Run—pulau terkecil di Banda—yang saat itu dikuasai Inggris.
Pantai Bastiong Talangame adalah bandar perdagangan antarbangsa yang sangat ramai. Tapi kini Pelabuhan Bastiong bukan lagi bandar perdagangan rempah internasional. Pelabuhan ini hanya ramai oleh kapal-kapal bertonase kecil dan sibuk membawa penumpang yang akan menuju Tidore dan pulau-pulau sekitar.
Sekitar setengah jam dari Pelabuhan Rum, terdapat Pasar Goto. Di sana, kami menemani Ramla—kerabat Sultan Tidore—berbelanja bahan makanan untuk acara ratib di Kedaton Kie (Keraton Tidore). Ia membeli puluhan ayam, beberapa kilogram terung ungu, sayur bulu (rebung yang diserut), sayur lilin (seperti tanaman bambu air), labu siam, hingga cabai yang bentuknya seperti paprika kecil. Belanjaannya sampai harus dibawa dua bentor atau becak bermotor.
Tapi Ramla tidak membeli rempah atau bumbu. "Beli bumbunya besok. Hari ini belanja semua ini karena hari pasaran," kata Ramla, Jumat pagi itu.
Ahad malam, selepas sembahyang isya, puluhan tamu berdatangan ke Kedaton Tidore, yang sudah berbangunan modern—baru kelar dibangun pada 2010. Seusai acara ratib, para tamu menuju meja makan panjang yang berisi belasan jenis makanan.
"Kami menyajikan dengan cara ngam fato," kata Hafsa Syaifuddin, yang juga kerabat Sultan yang membantu memasak. Ngam fato adalah penataan makanan per paket. Satu paket sajian untuk empat orang. "Supaya tertib, dan mudah dijangkau," ujarnya.
Untuk karbohidrat, kita bisa memilih nasi kuning, nasi putih, ketupat, atau pali (ketupat dengan bungkus daun pandan). Untuk sayuran, ada foki sinanga (terung goreng), sayur lilin goreng, dan acar. Buat lauknya, bisa memilih ikan yang digoreng, cakalang goreng saus rica, atau rica isi. Yang terakhir ini adalah cabai besar yang diisi daging cakalang yang dilumatkan. Kalau mau protein darat, ada telur rebus digoreng bumbu manis, ayam paniki, dan sup ayam.
Seusai acara, menjelang pukul 11 malam, kembali saya ingin menegaskan jawaban atas rasa penasaran: masakan apa yang menggunakan rempah? "Sup ayam," kata Ramla. Ya, dari sekian masakan itu, hanya sup yang memakai rempah. Itu pun pasti tak banyak, karena kuah sup memang tak pekat.
Sebagian besar makanan Maluku memang mengandalkan kesegaran ikan dan bahan-bahan lain. Tentu saja, makanan itu nikmat dan segar. Hanya, agak mengejutkan bagi saya mengetahui minimnya penggunaan rempah di kawasan yang oleh Portugis disebut ilhas de crafo (kepulauan rempah-rempah) ini. Sungguh berbeda, misalnya, dengan Aceh, yang di masa lalu hanya menghasilkan lada tapi satu masakannya bisa terdiri atas 27 jenis bumbu. Sebagian besar adalah rempah dari Maluku.
Menurut sejarawan dari Universitas Khairun, Ternate, Syahril Muhammad, minimnya penggunaan rempah dalam masakan Maluku mungkin karena rempah seperti cengkeh dan pala adalah tumbuhan asli kawasan itu. "Dulu tumbuh liar," kata penulis buku Kepulauan Rempah-rempah, M. Adnan Amal. Awalnya, mereka tak menanamnya dengan sengaja atau tak membudidayakannya karena memang tak memakainya di dapur. Kalaupun digunakan, kata Syahril, cengkeh dan pala dibuat untuk minyak oles dan obat. Juga untuk hal-hal spiritual.
Hal ini dikuatkan oleh temuan Alfred Russel Wallace—pengembara Inggris yang namanya digunakan menjadi istilah Garis Wallace, garis persebaran fauna Indonesia. Dalam buku The Malay Archipelago, Wallace menulis, "Pala dan cengkeh bukan merupakan kebutuhan pokok. Kedua komoditas tersebut bahkan tidak digunakan sebagai rempah-rempah oleh orang Maluku."
Wallace sampai pada kesimpulan itu setelah berkeliling ke pulau-pulau di Maluku, seperti Ternate, Tidore, Batchian (Bacan), Kaioa (Kayoa), Banda, Amboyna (Ambon), dan Gilolo (Halmahera), selama sekitar empat tahun mulai 1857.
Setelah kedatangan para pedagang dari luar, mereka memang mulai membudidayakan tanaman rempah untuk dijual. Meski demikian, mereka tetap tak terlalu banyak memakai keduanya di dapur sendiri.
Banyaknya orang menanam cengkeh dan pala membuat harga keduanya jatuh di pasar dunia pada 1652. Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pun memerintahkan penghancuran pohon cengkeh dan pala di Maluku, terutama di Ternate, Tidore, Bacan, Moti, dan Makian. Yang tidak kena penghancuran hanya Ambon dan Kepulauan Seram.
Di Ternate, tidak semua pohon cengkeh dapat ditumpas oleh VOC. Ada pohon cengkeh afo (tua) di Kampung Air Tege-tege, sekitar 5,5 kilometer dari pusat Kota Ternate. Hari baru menjejak siang ketika kami memarkir motor di pangkalan ojek yang kosong di kampung itu. Perlahan kami mendaki Gamalama, yang cukup gelap, dan penuh pohon besar. Sebagian besar cengkeh dan pala. Tapi ada pula pohon mangga, pinang, dan kenari.
Kami tak mengacuhkan pohon-pohon cengkeh "muda" di sepanjang jalan. Tujuan kami adalah pohon cengkeh yang selamat dari program penghancuran VOC pada abad ke-17. Selama 4,5 abad, pohon itu terus berproduksi hingga kematiannya pada 1989. Meski demikian, kami berharap bisa melihat sisa-sisanya.
Terengah kami meniti jalan yang terus menanjak, hingga dikejutkan oleh seorang pria muda bertampang dingin yang tangannya memainkan pisau. Untuk menghilangkan kegugupan karena curiga, saya mencoba menyapanya, "Afo 1 masih jauh?" Dia menjawab, "Ya, setengah jam lagi. Tapi sudah tidak ada pohonnya. Bahkan tidak ada sisanya lagi. Tinggal tanah saja."
Pria yang sempat saya takuti ini ternyata sangat ramah. Ia menjelaskan panjang-lebar soal pohon-pohon cengkeh, pala, dan kenari di sini. "Keturunan Afo 1 ada di bawah situ," ujar laki-laki bernama Irfan tersebut.
Kami pun turun dan menuju cengkeh Afo 2, yang sebenarnya sudah saya lewati. "Ini juga sudah ratusan tahun," katanya. Menurut buku Ternate Mozaik Kota Pusaka, Afo 2 sudah berusia lebih dari 200 tahun. Sebagian besar pohonnya sudah kering. Tinggal satu dahan besar yang masih berdaun dan berbuah. "Jadi begini setelah pohon ini dipagari," ujar Irfan, yang setiap hari melewatinya.
Sebagai ganti cengkeh dan pala yang dilarang, warga Makian pun menanam kenari secara besar-besaran. Hingga kini, Makian masih dikenal sebagai pulau penghasil kenari. Sedangkan di pulau-pulau lain, seperti Ternate dan Tidore, tidak ada kebun khusus kenari. "Tapi ada satu-dua pohon di hampir setiap kebun," kata Sultan Husain Syah.
Menurut Syahril, kenari lebih banyak digunakan untuk makanan dan minuman dibanding cengkeh dan pala. Selain untuk camilan seperti bagea kenari, atau ditaburkan di kue-kue basah, kenari sering menjadi bumbu masakan.
Bila kita makan popeda (dari tepung sagu atau singkong), yang biasanya disandingkan dengan ikan kuah, kita akan menemukan remahan kenari di kuah ikan tersebut. Bahkan, bila memasuki tempat makan yang menyediakan makanan khas Maluku Utara, kita bisa menemukan ulak-ulak yang menggunakan kenari agak banyak. Ulak-ulak ini seperti keredok. Mentimun, taoge, dan kacang panjang disiram bumbu kenari. Kini, karena kenari mahal, Rp 95 ribu per kilogram, mereka mencampurnya dengan kacang tanah.
Setelah cengkeraman VOC mengendur, orang Maluku menanam lagi kedua tanaman tersebut. Bahkan kini hampir semua orang punya pohon cengkeh atau pala, meski hanya empat pokok, seperti milik Irfan. Bila keluar sedikit dari dempetan rumah-rumah di Kota Ternate, mata kita akan biasa melihat pohon cengkeh dan pala di pinggir jalan. Kata Syahril, ada adagium di masyarakat sana: "Bukan orang Maluku bila tidak memiliki pohon cengkeh atau pala."
Pohon kedua tanaman ini juga yang mengelilingi Villa Ma'rasai, tempat kami menginap di Ternate. Rimbunan pohon ketapang, cengkeh, pala, dan lain-lain membantu mengurangi hawa panas di penginapan milik pasangan Hasrun Rasai, 47 tahun, dan Irawati, 35 tahun, itu.
Pada malam pertama kami menginap di sana, Hasrun memberikan penawaran yang tak kami sangka: "Apakah kalian mau makanan tradisional yang berbumbu rempah?" Ya, meskipun sebagian besar makanan Maluku minim rempah dan memanfaatkan kesegaran ikan, mereka tetap memiliki makanan berempah. Menurut Janoe Arijanto dari bagian Research and Culinary Culture komunitas Aku Cinta Masakan Indonesia, interaksi dengan pedagang-pedagang yang ke Ternate dan sekitarnya memperkaya masakan di sana, terutama Halmahera.
Makanan kaya rempah ini memang bukan menu sehari-hari. "Dulu, masakan seperti ini biasa kami makan pada hari Jumat," ujar Irawati, yang berasal dari Galela, Halmahera. "Pada hari Jumat, seluruh keluarga berkumpul dan makan besar." Hafsa Syaifuddin, kerabat Sultan Tidore Husain Syah, membenarkan kabar tentang kebiasaan kaum muslim Maluku Utara ini. Tapi sekarang tradisi tersebut makin berkurang karena kesibukan.
Dalam buku Kepulauan Rempah-rempah, ada catatan tentang petualang besar Inggris, Francis Drake, yang tiba di Pulau Moti pada November 1579. Ia diundang jamuan oleh Sultan Ternate Babullah Datu Syah. Saat itu, ia dijamu sagu, nasi, serta lauk dari kambing, ikan bubara bakar, kepiting kenari, dan ayam yang dimasak dengan bumbu cengkeh.
Tawaran Hasrun untuk makan masakan berempah tentu saja kami sambar. Di antara suara berbagai binatang malam yang begitu lantang dari kebun di sekeliling vila yang berada di atas kampus II Universitas Khairun di Gambesi ini, Hasrun menjelaskan beberapa pilihan menu. Ada ikan masak kering kayu, ayam paniki, atau ikan kering rica bumbu kenari.
Malam itu, kami sepakat menikmati ikan masak kering kayu untuk makan siang esok harinya. Menurut Tatty Tuguis, pemilik Kedai Mita di Ternate yang menyediakan masakan khas Maluku Utara, ikan masak kering kayu dulunya dimasak untuk orang-orang yang akan naik haji. "Karena tahan berbulan-bulan," katanya. Ikan dimasak sampai kering, kemudian dijemur, sehingga menjadi seperti kayu. Kalau hendak dimakan, tinggal dipanaskan.
Esok paginya, sekitar pukul enam, kami ikut Hasrun menuju Pasar Bahari Berkesan atau yang oleh warga setempat lebih dikenal sebagai Pasar Gamalama. Pasar yang berada di pinggir laut ini merupakan yang terbesar di Ternate.
Tempat pertama yang kami tuju adalah penjual ikan di bagian belakang pasar. Beragam ikan yang sebagian besar berukuran besar tertata di banyak meja. Di Ternate dan sekitarnya, ikan segar sangat gampang kita temukan. Segampang menemukan pohon cengkeh dan pala.
Hasrun memilih-milih ikan tuna sepanjang lengan. "Tuna lebih bagus karena dagingnya lebih halus dan warnanya lebih cerah," ujarnya sambil menunjuk daging ikan tuna yang berwarna merah jambu dan membandingkannya dengan cakalang yang merah gelap.
Setelah tawar-menawar, disepakati Rp 175 ribu satu ekornya. Hasrun membeli dua ekor serta meminta penjual membersihkan isi perut ikan dan mengulitinya. "Kalau memasak ikan, kulitnya harus dibuang sehingga tidak amis," katanya.
Sesampai di dapur, ganti Irawati yang mengambil peran. Perempuan yang sangat menikmati kegiatan memasak ini cekatan menyiapkan bumbu-bumbu. Ada lebih dari 20 bumbu yang ia siapkan: bawang merah, bawang putih, cabai, kunyit, jahe, cengkeh, pala, bunga pala, bunga lawang atau pekak, dan lain-lain.
Sebagian bumbu itu dia ambil dari kebun belakang. Saat sedang bersiap memasak, Irawati keluar sebentar dari dapur dan kembali membawa buah pala yang baru dia petik. "Ini pala, sudah pernah lihat belum?" dia bertanya kepada kami.
Bumbu yang sudah dihaluskan ditumis. Aroma yang kuat langsung menusuk hidung. Hasilnya langsung terbayangkan: pedas, asam, dan gurih yang lama melekat di lidah. Tak seperti ikan kayu jemaah haji zaman dulu, ikan Irawati tak dijemur dan tidak sangat kering. Hasilnya adalah ikan berselimutkan saus tebal berwarna kecokelatan. Sama sekali tidak amis.
Hidangan kaya rempah lainnya disajikan pada hari terakhir kami di Ternate. Kali ini Hasrun dan Irawati menawarkan makanan tradisional berbumbu rempah dan kenari untuk makan siang. "Menunya ayam paniki dan ikan kering rica bumbu kenari," kata Irawati sambil terus memasak. Ayam paniki mengandung cengkeh dan pala, sementara masakan ikan menggunakan kenari. Wangi masakan meruap, apalagi saat ikan berbumbu yang sudah dibungkus daun pisang-pisangan dibakar di tungku batu.
Makan siang ini dilengkapi dengan menu rempah tak terduga: jus Thabadiku—diambil dari nama kafe di depan vila. "Ini hasil racikan kami sendiri," kata Irawati. Ia memasukkan jahe, gula merah, kayu manis, sedikit pala, cengkeh, susu cokelat, dan sedikit kopi krim instan ke blender. Tentu dengan sedikit es batu.
Kami menyantap masakan kaya rempah itu di teras vila yang dikelilingi kebun yang penuh pohon cengkeh, pala, pinang, dan kenari. Kebun itu memanjang ke belakang, mengarah ke lereng Gunung Gamalama yang lebih tinggi.
Menuju Ternate-Tidore
Dengan apa?
Jalur udara
Setiap hari ada penerbangan dari Jakarta menuju Bandar Udara Sultan Babullah, Ternate. Ada Garuda, Sriwijaya, juga Lion Air.
Jalur laut
Ada dua kapal Pelni yang rutin menyambangi Pelabuhan Ahmad Yani di Ternate, yakni KM Sinabung dan Dorolonda.
Transportasi lokal
- Di Bandara Sultan Babullah, kita tidak akan menemukan loket taksi resmi. Tapi banyak sopir menawarkan jasa dengan tarif sama untuk menuju kota, yang jaraknya sekitar enam kilometer, Rp 150 ribu.
- Untuk berkeliling di Ternate, ada banyak mikrolet. Kalau memilih angkutan umum yang beroperasi sampai malam ini, kita harus siap ikut menikmati musik dengan volume tinggi yang disetel sang sopir. Ojek juga ada di mana-mana. Kalau ingin lebih fleksibel, bisa menyewa sepeda motor dengan tarif Rp 100 ribu sehari atau mobil dengan tarif sekitar Rp 500 ribu dengan sopirnya.
- Untuk menuju Tidore, kita harus menyeberang dari Pelabuhan Bastiong. Ada speedboat yang akan berangkat kalau sudah penuh. Ongkosnya Rp 10 ribu untuk perjalanan sekitar 10 menit. Tapi, kalau tidak mau menunggu, bisa menyewa speedboat sendiri.
- Di Tidore, mikrolet juga banyak. Sewa sepeda motor dan mobil bisa pula menjadi pilihan. Mereka sudah siap menunggu di depan Pelabuhan Rum. Yang tak ada di Ternate tapi ada di Tidore adalah bentor alias becak bermotor.
Kedatangan Para Saudagar
1322-1331:
Sejak pemerintahan Kolano (Raja) Sida Arif Malamo, pedagang dari Jawa, Malaka, Makassar, Gujarat, Arab, dan Cina berdatangan memburu cengkeh dan pala.
1368-1643:
Pada masa Dinasti Ming, Cina memiliki catatan tentang Maluku yang menyebutkan daerahnya subur dan mempunyai gunung dupa. Jika hujan turun, dupa berjatuhan menutupi tanah sehingga penduduk tak sanggup menghimpunnya. Tapi bangsa Cina merahasiakannya.
1512:
Portugis mendarat di Ternate di bawah pimpinan Francisco Serrao, setelah dia ke Banda. Mereka diundang Sultan Ternate Bayan Sirullah.
1521:
Dua kapal Spanyol, Victoria dan Trinidad, mendarat di Tidore, di bawah pimpinan Sebastian de Elcano.
1579:
Inggris untuk pertama kalinya masuk ke Maluku.
1599:
Pada Mei, di bawah Kapten Van Warwijck, kapal Belanda mendarat di Maluku.
Glosarium
Gohu ikan:
Asalnya dari kohu, mengunyah sesuatu yang mentah. Gohu ikan mirip sashimi, ikan yang dimakan mentah. Juga dikenal gohu pepaya dan gohu mentimun, seperti salad.
Popeda:
Berasal dari tepung sagu atau singkong. Di Papua biasa disebut papeda.
Kobong:
Kebun. Makanan kobong berarti makanan yang seluruhnya berasal dari kebun, bisa sayur-sayuran atau singkong dan pisang.
Ngam fato:
Sistem empat-satu. Satu paket makanan ditaruh di meja panjang untuk dinikmati empat orang.
Sayur bulu:
Rebung yang diserut tipis-tipis.
Ikan Masak
Kering Kayu
Bahan:
Ikan (bisa tuna atau cakalang)
Bumbu:
- bawang merah
- bawang putih
- cabai keriting
- tomat
- kunyit
- jahe
- cengkeh
- pala
- kulit biji pala (fuli)
- bunga lawang/pekak
- kayu manis
- ketumbar
- jintan
- lada hitam
- serai
- daun salam
- daun pandan
- kecap manis
- daun jeruk
- air gula merah
- air asam jawa
- garam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo