Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa itu makanan Indonesia? "Tak ada yang bernama makanan Indonesia," kata pakar kuliner William Wongso pertengahan bulan lalu. "Yang ada hanyalah masakan atau makanan daerah." Artinya, kita bisa mengatakan semua jenis masakan yang berasal dari wilayah Indonesia sebagai "makanan Indonesia". Tapi, pada saat yang sama, kita tak bisa melihat benang merah, hal serupa yang menjadi ciri makanan Indonesia secara keseluruhan.
Tak mudah pula menemukan jawaban saat pertanyaan itu lebih disederhanakan: makanan apa yang bisa menjadi simbol dari seluruh kuliner Indonesia? Makanan seperti pasta dan pizza untuk Italia, kari untuk India, mi untuk Cina, tom yam untuk Thailand, serta burger untuk Amerika Serikat.
Shanty Sherad, pendiri dan ketua komunitas Aku Cinta Masakan Indonesia (ACMI), pernah memakai tumpeng sebagai simbol "pemersatu" pada sampul buku resep makanan Nusantara. "Pertimbangannya, nasi kuning bisa ditemukan di banyak daerah," ujarnya. Tapi Shanty mengakui bahwa itu kurang tepat karena ada daerah yang tak memiliki nasi kuning.
Tak adanya makanan yang bisa dijadikan simbol itu terjadi karena perbedaan antara makanan di satu daerah dan daerah lain begitu jauh. "Njomplang," begitu memakai istilah William.
Makanan di Jawa, misalnya, tercirikan oleh rasa manis, sedangkan di Minahasa kuat dengan rasa pedas. Sementara di Indonesia bagian timur orang memakai bumbu tak terlalu banyak, di Sumatera hampir setiap masakan memakai banyak bumbu—bisa belasan hingga puluhan. Sementara di Solo pengaruh Belanda begitu kuat, pedalaman Kalimantan justru tak terpengaruh oleh budaya luar sama sekali.
Masakan Indonesia saat ini seperti bahasa di Indonesia sebelum Sumpah Pemuda, beragam dan tak dipersatukan oleh bahasa apa pun. Hanya, kita tak perlu memperbarui Sumpah Pemuda dan memasukkan sumpah baru: "Memakan makanan yang satu, makanan Indonesia." Sebab, pada keberagamannya itulah kekuatan khazanah kuliner Indonesia. "Tak ada negara yang makanannya begitu beragam seperti Indonesia," kata William.
Keberagaman itu tak muncul begitu saja. Orang Manado menyukai cabai seperti mereka menyukai garam, tentu bukan karena Tuhan menciptakan lidah mereka berbeda dengan lidah orang Yogyakarta. Ada cerita di balik semua itu. Ada kisah kenapa orang Maluku tidak terlalu banyak memakai rempah, padahal negeri mereka adalah penghasil rempah. Sebaliknya Aceh, yang di masa lalu hanya menanam lada, justru memakai banyak rempah dalam masakan mereka.
Keinginan untuk menggali cerita di balik makanan daerah itulah yang membuat kami meluncurkan edisi khusus kuliner ini. Bagi kami, "wisata kuliner" tidak cukup dengan datang ke suatu daerah, mencari warung terenak, memotretnya, mengunggah ke media sosial, lalu makan sampai gembul.
Kami ingin melihat apa yang ada di balik batu—entah itu udang entah bukan. Wisata kuliner, bagi kami, bukan hanya menyantap makanan di warung. Wisata kuliner adalah pergi ke suatu daerah, mendatangi kebun-kebun rimbun tempat bahan makanan ditanam, mengunjungi pasar untuk bertemu dengan masyarakat, berbincang dengan banyak orang, mampir ke rumah penduduk lokal buat melihat proses memasak sejak awal, dan mengikuti tata cara mereka menikmatinya.
Kenapa harus repot-repot seperti itu? Hanya dengan demikian kita bisa menghargai makanan lebih baik. Ada proses panjang di belakangnya. Setiap orang memberi sumbangan dengan penuh dedikasi. Kita tak bisa menilai makanan hanya dengan lidah, lalu mengatakan tak enak kalau tak sesuai dengan selera.
Dalam laporan ini, kami sebisa mungkin menghindari menyebut makanan yang kami santap itu enak, maknyus, dahsyat. Atau, sebaliknya, mengatakannya tak enak. Penilaian akan kelezatan makanan sangat subyektif, didasari pada pengalaman yang berbeda. Itulah mengapa kita tak bisa mencibir orang Prancis yang tak suka sambal terasi.
Kami juga tak mencoba mengadili ketika menemukan sesuatu yang tak lazim. Saat meliput Pasar Tomohon, misalnya. Kami hanya melaporkan apa yang kami lihat, dan tidak memberikan judgment terhadap penjualan binatang, seperti anjing, kucing, dan ular, yang tak biasa dimakan oleh masyarakat lain.
Sebelum memulai liputan, kami telah berdiskusi dengan para pemerhati kuliner, termasuk ACMI, yang datang ke kantor kami dan memberikan banyak informasi. Komunitas ini memiliki cara pandang yang menarik. Untuk meluaskan wawasan kuliner, mereka tidak hanya mendatangi warung, tapi juga rutin blusukan ke pasar-pasar tradisional. Dari merekalah kami mendapat ide dan pengetahuan awal yang kemudian kami dalami di lapangan.
Tentu saja, tidak semua daerah bisa kami datangi. Dalam edisi kali ini kami hanya mendatangi tujuh kawasan: Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Solo-Yogyakarta, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara. Kami berharap pada waktu lain bisa melakukan hal yang sama di daerah-daerah yang berbeda dan mendapatkan kisah yang tak kalah menarik.
Selamat makan!
Tim Laporan Khusus Wisata Kuliner Nusantara Penanggung jawab: Qaris Tajudin Pemimpin Proyek: Purwani Diyah Prabandari Penulis: Agoeng Wijaya, Kurniawan, Mustafa Silalahi, M. Reza Maulana, Purwani Diyah Prabandari, Qaris Tajudin, Sadika Hamid Penyumbang bahan: Aseanty Pahlevi (Pontianak), Bunga Padma Putri (Jakarta), Adi Warsidi (Banda Aceh), Ahmad Rafiq (Surakarta), Aristo Panjaitan (Balige), Febriyanti (Padang), Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta), Salomon S. Pandia (Medan), Joss Wibisono (Amsterdam) Penyunting: Bina Bektiati, Qaris Tajudin, Seno Joko Suyono, Yosep Suprayogi, Yos Rizal Suriaji Bahasa: Uu Suhardi, Iyan Bastian, Sapto Nugroho Foto: Jati Mahatmaji, Rully Kesuma, Ijar Karim, Nita Dian, Ratih P.N. Kreatif: Djunaedi , Eko Punto Pambudi, Gatot Pandego, Kendra Paramita, Rizal Zulfadli, Tri Watno Widodo, Yudha A.F. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo