Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hikayat Lagu Patah Hati Lord Didi

Didi Kempot menjadi legenda. Dengan tema lagu sedih dan patah hati, ia berhasil merebut euforia penggemar dari kalangan anak muda. Dijuluki The Godfather of Brokenheart, Didi menempuh jalan berliku untuk berada di puncak kariernya. Ia tak menutup diri untuk berkolaborasi dengan genre musik lain.

30 Mei 2020 | 00.00 WIB

Penyanyi Campur Sari, Didi Kempot, menghibur ribuan masyarakat saat menghadiri acara konser Orkestra Kidung Etnosia dan Orkes Melayu Bintang Nada dalam Malam Penggalangan Dana Sumbangan untuk Korban bencana Gempa dan Tsunami Palu-Donggala, di Alun-Alun Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, Sabtu, 13 Oktober 2018.
Foto : TEMPO/Imam Sukamto
Perbesar
Penyanyi Campur Sari, Didi Kempot, menghibur ribuan masyarakat saat menghadiri acara konser Orkestra Kidung Etnosia dan Orkes Melayu Bintang Nada dalam Malam Penggalangan Dana Sumbangan untuk Korban bencana Gempa dan Tsunami Palu-Donggala, di Alun-Alun Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, Sabtu, 13 Oktober 2018. Foto : TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Yan Vellia Prasetya, 38 tahun, masih ingat betul keramaian pengunjung di Taman Balekambang Solo pada Ahad, 9 Juni tahun lalu. Tiga hari setelah hari raya Idul Fitri, ribuan orang yang umumnya terdiri atas wisatawan berkumpul dalam acara panggung terbuka "Bakdan ing Balekambang" di taman peninggalan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Sultan Mangkunegaran VII tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Di situ, ia menemani Didi Kempot manggung dalam acara hiburan untuk pemudik yang diadakan selama sepekan. "Banyak anak-anak muda, wajahnya itu seperti anak kuliahan. Yang membuat heran, anak-anak itu ikut nyanyi, kayak sudah hafal semua lagunya," kata dia, Rabu dua pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Didi menjadi penutup acara pada malam itu. Ia menyanyikan sejumlah lagu hit, seperti Banyu Langit, Cidro, dan Pamer Bojo. Penampilannya ditutup dengan lagu bernuansa galau andalannya, Stasiun Balapan. Setiap mengawali senandungnya, dalam ingatan Yan, Didi selalu disambut gemuruh suara penonton layaknya gemuruh paduan suara. Tak sedikit juga yang merekam penampilan Didi malam itu.

Video penampilan Didi di Taman Balekambang menjadi viral di media sosial. Para penggemar, yang kebanyakan dari kalangan muda, bermunculan dan menamakan dirinya "Sobat Ambyar", karena Didi Kempot sering membawakan lagu-lagu bertema patah hati. Yan menganggap konser itu sebagai tonggak popularitas Didi Kempot di ranah musik campursari. "Saya tidak bisa melupakan konser itu," ujar Yan, yang juga penyanyi.

Nama Didi Kempot masuk dalam industri musik Tanah Air pada sekitar 1995. Ia mencuri perhatian setelah meledaknya lagu Stasiun Balapan dan Sewu Kutho. Setelah lagu itu dirilis, banyak stasiun radio memperdengarkan lagu tersebut. Wajahnya juga sering menghiasi televisi pada periode 2000-an ketika sejumlah klip video untuk lagu-lagunya tayang. Meski begitu, Yan mengakui bahwa nama Didi baru populer kembali setahun terakhir.

Dengan jadwal manggung yang padat setiap hari, dari dalam hingga luar negeri, video penampilannya di media sosial turut menarik minat pendengar baru dari kalangan anak muda. Tema cinta dan patah hati, kata dia, membuat Didi Kempot mudah diterima mereka. "Dia produktif menciptakan lagu-lagu baru. Sebenarnya dia tidak pernah beristirahat dari aktivitas bermusik, hanya saja selama beberapa tahun dia tidak pernah muncul di televisi."

Bagi Yan, memang tidak banyak musikus yang menggeluti musik bergenre campursari. Berada di lingkungan keluarga yang berkesenian, menurut dia, turut membantu Didi menemukan gaya bermusiknya. Ranto Edi Gudel, ayah Didi, adalah pesohor di dunia seni ketoprak. Umiyati Siti Nurjanah, sang ibu, adalah seorang pesinden asal Jawa Timur. Sedangkan Mamiek Prakoso, kakaknya, seniman ketoprak sekaligus pelawak.

Tapi tak jarang Yan dan Didi mendengar pergunjingan bahwa musik campursari ala Didi telah merusak pakem musik tradisional. "Tapi Mas Didi tidak pernah mempedulikan. Terbukti, banyak yang suka dengan campursari meski tidak paham bahasa Jawa," ujar Yan. Didi tetap yakin bahwa gaya bermusiknya menjadi salah satu jalan agar seni tradisi bisa mendapat tempat di hati generasi muda.

Namun Didi Kempot, yang juga kerap disebut sebagai Lord Didi, harus terhenti mengunjungi para penggemarnya di Suriname dan Belanda. Laki-laki bernama lengkap Didik Prasetyo kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 31 Desember 1966 itu mengembuskan napas terakhir pada Selasa, 5 Mei lalu, setelah mengalami henti jantung. Dijuluki sebagai "The Father of Brokern Heart", Didi meninggal di puncak kariernya pada usia 53 tahun.

Didi sejak dulu sudah menyimpan keinginan agar musiknya diterima anak muda. "Dulu saya memang punya keinginan itu. Bisa enggak musik saya itu masuk kampus, dinyanyikan oleh mahasiswa dan generasi muda. Ternyata alhamdulillah, beberapa tahun ini lagu saya bisa diterima anak-anak milenial," ujar Didi kepada Dian Yuliastuti dari Tempo, akhir Oktober 2019.

Didi menyaksikan di setiap konser banyak remaja perempuan ikut menyanyikan lagu-lagunya di depan panggung sambil berjoget tanpa malu-malu. Ada pula yang curhat hingga menangis ketika ketemu Didi. "Ada juga suami membawa istrinya yang sedang hamil. Dia minta saya memegang perut istrinya."

Para penggemarnya itu seperti menemukan tempat untuk pelipur lara. "Kayaknya saya memang sudah diberi Tuhan hidup untuk menulis lagu dengan tema-tema (sedih) tersebut. Dan saya rasa tema lagu-lagu mellow justru yang awet. Ini terjadi di seluruh dunia," tutur dia. "Sebagai seniman, saya harus tetap berkarya sambil memahami apa yang menjadi keinginan penggemar."

Sebelum booming di Indonesia, Didi lebih dulu berhasil merebut hati pendengar di Belanda dan Suriname. Pada Juni tahun lalu, Tempo menemani Didi Kempot menjamu kawannya yang datang dari Suriname. Dia memilihkan restoran kelas internasional untuk menjamu para koleganya. "Saya selalu dijamu dengan baik ketika berkunjung ke Suriname," ujar Didi saat itu.

Kedekatan Didi dan Suriname adalah kisah panjang. Sejak mengawali karier pada 1989, lagu Cidro yang diciptakannya laris di pasar Suriname dan Belanda. Lagu ini sering diputar di radio Amsterdam. Mulai dari situ, belasan kali Didi harus bolak-balik ke Suriname untuk manggung menghibur komunitas Jawa yang populasinya mencapai 15 persen dari total penduduk Suriname. Didi Kempot pun dianugerahi predikat The Most Popular Singer in Suriname, karena memenangi anugerah musik nasional berkali-kali. Bersama Waljinah, ia juga diberi penghargaan Life Achievement atas kontribusinya dalam industri musik Suriname

Namun, menurut Soewarto Moestadja, mantan Menteri Dalam Negeri Suriname, musik Didi tidak hanya populer di kalangan komunitas Jawa, tapi juga di etnis lain, seperti etnis India, Kreol, dan etnis Marun dari Afrika. "Dia tahu selera musik di Suriname dan tidak hanya bernyanyi dalam bahasa Indonesia. Dia juga menyanyi dalam bahasa nasional Suriname," kata dia, dikutip dari Antara, awal Mei lalu. Kata Soewarto, lagu-lagu Didi masih sering dibawakan dalam acara kompetisi menyanyi campursari Pop Jawa Song Festival di Suriname.

  

Tahun 2019 adalah tahunnya Didi Kempot. Gofar Hilman punya cerita mengajak Didi tampil dalam acaranya, Ngobrol Bareng Musisi atau Ngobam, pada 14 Juli 2019. Ia terbang ke Solo untuk mengobrol dengan Didi dalam acara off-air pertamanya. Acara Ngobam itu diunggah melalui kanal YouTube Gofar sepekan kemudian dan hingga kini telah ditonton 5,5 juta kali.

Berdiskusi selama dua jam, dengan selingan nyanyi-nyanyian, Didi dan Gofar menarik sekitar 1.500 orang untuk merapat ke Wedangan Gulo Klopo, Kartasura, Jawa Tengah, tempat Ngobam berlangsung. "Entah kenapa gue tergerak untuk beliau. Gue lihat di Twitter ada fenomena setiap dia manggung ada anak muda yang nyanyiin lagunya," kata dia.

Dalam acara yang dihadiri mayoritas anak muda itu, Gofar menguliti kisah hidup Didi. Dari soal penggunaan nama "Kempot" yang juga akronim dari Kelompok Penyanyi Trotoar, kelompok pengamen jalanan ketika Didi mengawali karier pada 1980-an, proses kreatif penciptaan lagu-lagunya, hingga problem hak cipta dalam berkesenian di Indonesia.

Dalam acara itu juga, Gofar mengumumkan keterlibatan Didi dalam acara Synchronize Fest 2019, festival musik multi-genre tahunan berskala nasional. Video Ngobam Didi Kempot itu lantas viral. Gofar sendiri mengaku tidak terlalu familiar dengan lagu-lagu Didi Kempot. Ia juga heran dengan antusiasme anak muda yang selalu bergelora ketika Didi berpentas. "Akhirnya gue sadar, terutama di Jawa, Didi Kempot adalah kultur, aset budaya, di mana kalian mendengarkan punk rock, lalu ketika patah hati bersenandung Cidro," ujarnya.

Pada 2019 ada banyak kegiatan penting yang diikuti Didi, di antara kepadatan berpentasnya di berbagai tempat. Selain tampil di Synchronize Fest 2019, ia tampil dalam Jazz Gunung Bromo di Probolinggo, Jawa Timur, pada akhir Juli 2019, berkolaborasi dengan Kua Etnika. Setelah itu, ia kembali berkolaborasi dengan Kua Etnika pada panggung Ngayogjazz di Dusun Kwagon, Sidorejo, Godean, Yogyakarta, pada 16 November 2019.

Ada cerita unik dalam pentas itu. Tiba-tiba Didi mengajak Kua Etnika memainkan lagu berjudul Pamer Bojo. Padahal, menurut Purwanto, pemain kendang Kua Etnika, lagu itu tak pernah ada dalam skenario latihan. Akibatnya, para personel kelompok musik yang didirikan dan digerakkan oleh Djaduk Ferianto itu pun sempat panik.

Rupanya, Didi ingin menyanyikan lagu itu demi menyenangkan penggemarnya, Sobat Ambyar. "Mereka (penggemar Didi) sedang sibuk mencari Pamer Bojo di YouTube," kata Purwanto di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Rabu dua pekan lalu.

Personel Kua Etnika pun harus saling bermain mata untuk menyamakan nada. Namun pertunjukan itu berakhir dengan happy ending. Selama dua jam, pertemuan antara campursari Didi dan jazz Kua Etnika menyedot perhatian penonton. Bersama Didi, Silir Pujiwati, vokalis Kua Etnika, berhasil membawa gairah panggung besar di tengah sawah itu hingga tengah malam. Perhelatan itu adalah terakhir kali dua maestro, Djaduk Ferianto dan Didi Kempot, berada dalam satu panggung.

Menurut Purwanto, tidak mudah menyatukan dua aliran musik yang memiliki segmen penikmat berbeda itu. Campursari ala Didi adalah genre yang cenderung landai. Sedangkan karakter Kua Etnika kuat, cepat, menerabas pakem tradisi dan konvensi musik modern melalui eksplorasi musik perkusi. Didi dan Kua Etnika pun berkali-kali berkompromi untuk menciptakan situasi panggung yang nyaman. "Akhirnya kami membebaskan Mas Didi untuk bernyanyi tanpa mengubah karakternya, tidak perlu meniru penyanyi jazz," ujarnya.

Sebaliknya, Purwanto melanjutkan, personel Kua Etnika meminta untuk bisa menafsirkan campursari ala Didi dengan memberi sentuhan musik dangdut, reggae, dan reog. Walhasil, lagu Stasiun Balapan berhasil mengentak penonton ketika dibawakan dalam tempo lebih cepat. Begitu pula lagu Kangen Koe yang dipadukan dengan musik rap Alit Jevi Prabangkoro saat Jazz Gunung Bromo 2019. "Saya kira Mas Didi Kempot bisa sangat cepat beradaptasi."

Banyu Langit, Sewu Kutho, Stasiun Balapan, dan Kangen Koe adalah lagu-lagu yang membawa kehangatan di ketinggian 2.000 meter itu.

Selain cepat beradaptasi, lagu-lagu Didi terbukti bisa diterima semua kalangan penikmat musik. Didi secara konsisten membawakan lagu berbahasa Jawa dan berhasil menyuguhkan lirik sederhana, berhubungan dengan keseharian orang, mudah diingat, dan bisa dinikmati bahkan oleh orang yang bukan berasal dari kelompok etnis Jawa. "Hampir semua orang yang mendengarkan musiknya ikut bernyanyi meski tidak tahu liriknya yang berbahasa Jawa. Melodinya enak dan musiknya sederhana," kata Indra Gunawan, pemain keyboard Kua Etnika asal Medan.

Kesuksesan berkolaborasi di dua acara itu, Purwanto menambahkan, menunjukkan bahwa Didi terbuka dan rendah hati pada pengalaman. Dengan penggemar yang luar biasa, Didi Kempot selalu ditunggu meski tanpa harus bernyanyi. Dengan produktivitasnya itu, bagi Purwanto, kabar meninggalnya Didi mengagetkan Padepokan Bagong Kussudiardja.

Purwanto ingat celetukan Didi ketika harus belajar nge-jazz. "Saya senengnya mengalir, aku manut. Enggak ada penolakan, yang penting tidak mengabaikan orang lain." AHMAD RAFIQ (SOLO) | SHINTA MAHARANI | ARKHELAUS WISNU


Hikayat Lagu Patah Hati Lord Didi

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus