Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Albiansyah sudah tak bisa lagi mengingat berapa banyak ia menyelamatkan ular dari rumah warga sepanjang paruh kedua tahun lalu. "Banyak banget, puluhan kali, lah," kata pria 32 tahun ini kepada Tempo, Kamis lalu. Albi-begitu ia biasa dipanggil-tak mengingat berapa ratus ekor ular sudah ia tangkap, baik dalam keadaan hidup maupun mati, selama periode itu. "Hampir tiap hari ada laporan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota staf marketing sebuah perusahaan swasta di Bandung ini sebetulnya bukan pawang ular profesional. Tapi, di sela pekerjaannya, Albi kerap mendapat "panggilan" dari orang yang rumah atau kantornya dimasuki ular. Jika lokasinya dekat dari tempat ia bekerja atau rumahnya di kawasan Antapani, Bandung, Albi akan segera berangkat menuju lokasi. Lengkap dengan alat-alat seperti tongkat penjepit ular, sarung tangan, kacamata, dan karung untuk membawa ular.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengurus Yayasan Ular Indonesia (Sioux) Bandung, Albiansyah, melepas-liarkan ular hijau ekor merah (Trimeresurus albolabris).
Laporan-laporan temuan ular semacam itu selalu disambut dengan semangat oleh Albi. Ular memang passion ayah satu anak ini sejak dulu. Bermula sebagai pehobi yang gemar memelihara hewan-hewan eksotis dan reptil sekitar satu dasawarsa lalu, kini ia menjadi aktivis yang kerap menyelamatkan ular yang "masuk" ke rumah, pabrik, atau perkantoran di sekitar Bandung. "Kalau dulu semangatnya memelihara ular, sekarang lebih ke konservasi," kata dia.
Albi, yang kini aktif menjadi pengurus Yayasan Ular Indonesia (Sioux) cabang Bandung, berpandangan bahwa ular liar adalah satu kesatuan dalam ekosistem yang punya peran penting dalam keseimbangan alam. "Jadi, seharusnya ular jangan dimusuhi atau bahkan dibunuh."
Pertengahan hingga akhir 2019, menurut Albi, adalah anomali dalam siklus kemunculan ular. Laporan temuan ular di rumah warga belakangan sangat banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya. Di Bandung, jumlah temuan ular yang dilaporkan melalui Dinas Pemadam Kebakaran setempat meningkat tiga kali lipat dibanding tahun lalu yang hanya di bawah 10 kasus.
Sioux memberikan simulasi penanganan pertama pada korban gigitan ular berbisa
Di wilayah Jabodetabek, menurut laporan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada Desember lalu ada 82 kasus temuan ular dengan mayoritas spesies ular sendok Jawa atau kobra Jawa (Naja sputatrix).
Ahli reptil atau herpetologi dari Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, I.G.A. Ayu Ratna Puspitasari, menjelaskan bahwa fenomena ini diduga terkait dengan dimulainya musim hujan, yang merupakan masa telur ular menetas. Penyebab lain ular masuk rumah warga adalah berkurangnya habitat asli satwa itu di alam. "Ular akan mencari habitat lain yang lebih hangat. Sayangnya, biasanya itu adalah permukiman warga," kata Ayu seperti dikutip dari Antara.
Sahabat Reptil Bekasi mengedukasi pengenalan ular kepada siswa di Jakarta.
Ular, kata dia, sebenarnya merupakan predator alami tikus, sehingga ia sering ditemukan di area persawahan atau kebun, dan hidup di dalam lubang-lubang yang dibuat tikus. "Namun, beberapa tahun terakhir, banyak sawah dan kebun telah berubah fungsi menjadi perumahan, sehingga ular jadi banyak ditemukan, bahkan bersarang, di area permukiman warga."
Ayu berpendapat maraknya temuan ular, terutama kobra, di beberapa daerah belakangan ini tidak tepat jika dikatakan sebagai fenomena serangan ular. "Ular tidak akan bersarang di permukiman warga apabila habitat alaminya masih ada. Pada musim hujan, ular akan mencari tempat yang kering, hangat, dan banyak makanan, yakni tikus." Masuknya ular ke permukiman, ia menambahkan, merupakan tanda dari ketidakseimbangan ekologi.
Apa yang dikatakan Ayu dibenarkan oleh Albi. Menurut dia, mayoritas laporan temuan ular yang ia tangani berasal dari perumahan yang baru dibuka. "Kebanyakan di daerah Ujung Berung (Bandung Timur), di sana kan banyak kompleks perumahan baru," kata Albi. Sebelum dijadikan perumahan, daerah itu dikenal sebagai perbukitan yang ditumbuhi semak-semak, kebun, hingga hutan. "Memang habitat ular di sana." Maka, wajar setelah lahan jadi permukiman, ular akan masuk ke rumah warga.
Penanganan ular piton berukuran di atas tiga meter.
Aneka laporan warga diperoleh Albi melalui grup WhatsApp berisi para aktivis dan ahli penyelamat ular dari seluruh Indonesia. Di sana, kata dia, semua laporan temuan ular dari wilayah mana pun akan masuk dan disebarkan ke anggotanya. "Nanti mereka bekerja berdasarkan wilayah laporan. Kalau dekat, segera diambil." Tak jarang Albi juga berkoordinasi dengan dinas pemadam kebakaran setempat untuk membantu petugas mengevakuasi ular dari rumah warga.
Namun Albi bekerja tanpa bayaran. Di organisasinya pun, Albi berstatus relawan. "Tapi, karena saya sudah mendapatkan pelatihan resmi untuk mengevakuasi ular, saya punya jaminan perawatan medis jika terjadi insiden." Dia juga punya prosedur standar yang resmi saat menangani laporan. Salah satunya, menentukan risiko bahaya yang dihadapi. "Dilihat dari jenis ularnya."
Jika laporan yang masuk adalah temuan ular-ular berukuran kecil, ia tinggal berangkat seorang diri. Tapi, jika temuannya ular piton dengan ukuran panjang di atas 3 meter, Albi harus didampingi ahli evakuasi ular lain. "Karena piton itu punya kekuatan untuk meremukkan tulang, tidak bisa asal dipegang," ujar dia.
Sama seperti Albi, Usup Sahroni juga punya minat dan semangat yang sama untuk menyelamatkan ular. Guru di SMPN 3 Bekasi itu mendirikan organisasi relawan penyelamat ular bernama Sahabat Reptil Bekasi, Jawa Barat, pada 2016. Organisasi ini didirikan karena minimnya jumlah tenaga ahli penyelamat ular di Bekasi. "Komunitas penyuka reptil banyak, tapi anggotanya kebanyakan pehobi."
Di Sahabat Reptil, Usup, yang juga bergabung dengan Sioux, membuat pelatihan mengevakuasi ular dan reptil lain untuk para relawan. Kini organisasi itu punya 20 relawan.
Warga dan petugas keamanan mengikuti sosialisasi penanganan ular di perumahan Kemang Pratama, Kota Bekasi.
Bekasi termasuk wilayah dengan laporan temuan ular cukup banyak. Dinas Pemadam Kebakaran Bekasi melaporkan, hingga Desember lalu, ada 50 laporan kasus temuan ular di wilayahnya. "Itu belum termasuk laporan yang masuk langsung ke relawan," ujar Usup.
Sahabat Reptil, sepanjang November-Desember, berhasil menyelamatkan 20 bayi kobra, 7 indukan kobra Jawa dan kobra Sumatera, 8 ekor piton, 5 ekor bayi piton, dan beberapa ekor jenis ular lain. "Semuanya di kawasan permukiman warga, dan memang kebanyakan di perumahan baru yang dulunya kebun, rawa-rawa, dan sawah," tutur dia.
Saat melakukan evakuasi, tak jarang Usup menemukan pengalaman menegangkan, bahkan kocak. Bertemu dengan ular yang agresif dan sulit ditaklukkan adalah hal yang lazim. Namun salah satu cerita paling berkesan, kata dia, adalah ketika suatu kali ia mendatangi rumah seorang warga di Bekasi yang dilaporkan dimasuki ular. Ketika Usup datang, rupanya seluruh lantai rumah warga itu ditaburi garam. "Banyak sekali garamnya," kata dia sambil tertawa. Dia lalu menjelaskan kepada sang pemilik rumah bahwa penaburan garam itu tidak ada gunanya. "Ular tidak takut garam."
Tidak hanya menyelamatkan dan menyingkirkan ular dari rumah atau tempat beraktivitas manusia, para aktivis dan relawan juga punya misi mulia, yakni menjaga kelangsungan hidup ular. Karena itu, setiap kali selesai mengevakuasi ular, baik Albi maupun Usup segera melepas-liarkannya kembali ke alam liar. "Tapi dilihat dulu kondisi ularnya. Kalau terluka, tentu kami rawat dulu," ujar Usup.
Luka-luka pada ular itu terjadi karena biasanya warga yang menemukan ular memukulnya karena ketakutan. Padahal, menurut Usup, ular tidak akan menyerang manusia kalau tidak diusik.
Di rumahnya, Usup menyimpan puluhan kotak kayu yang dirancang nyaman untuk tempat karantina ular guna merawat ular yang terluka. Tak jarang ular-ular itu keburu mati sebelum dirawat. "Gara-gara sudah digebuk duluan saat ditemukan oleh warga." Suatu kali ia menemukan seekor kobra Jawa yang kepalanya remuk. Usup ingin merawat ular itu agar kembali pulih dan bisa dikembalikan ke habitatnya. Namun ular itu tak bisa bertahan lama.
Sahabat Reptil Bekasi melepas-liarkan ular-ular itu di kawasan hutan dan pegunungan yang jauh dari jangkauan manusia. "Biasanya di daerah Bogor dan Sukabumi." Usup punya beberapa teman yang biasa membantunya membebaskan kembali ular-ular itu ke alam. Selain harus jauh dari permukiman dan jalur lalu-lalang manusia, tempat pelepas-liaran ular harus disesuaikan dengan jenis habitat dan sumber makanan ular. Biasanya ular dilepaskan di dekat sumber atau aliran air.
Namun, Albi mengatakan, penyelamat ular harus tahu karakter dan latar belakang ular sebelum melepas tangkapannya ke alam. "Kalau ular hasil tangkaran dan peliharaan, justru jangan dibuang sembarangan, karena malah akan menjadi masalah baru." Sedangkan ular-ular liar seperti yang banyak ditemukan dalam beberapa waktu terakhir harus dilepas-liarkan secepat mungkin sejak ditemukan. "Tujuannya supaya insting alamiah ular dalam berburu makanan tidak hilang." Jika kelamaan di dalam kandang dan diberi makan manusia, dikhawatirkan ular tidak mampu bertahan hidup saat dikembalikan ke habitat aslinya.
Albi sendiri kerap melepas-liarkan ular di gunung-gunung yang banyak terdapat di sekitar Bandung, seperti Gunung Manglayang dan Kiara Payung di Jatinangor, hingga Ciwidey di Kabupaten Bandung. Agar tak menimbulkan konflik baru dengan warga di sekitar, lokasi pelepasan ular harus sangat jauh. "Biasanya bisa sampai 4-5 kilometer dari jalur yang biasa dilewati warga atau pendaki gunung."
PRAGA UTAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo