Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Apa yang moral dan universal dalam kehendak mengusir orang Palestina dari tanah mereka?
Moral dan yang universal itu hanya ditentukan sepihak.
Mereka lupa bahwa diaspora berabad-abad membentuk pengalaman yang berharga bagi orang Yahudi.
ADA sebuah sajak pendek Yehuda Amichai, penyair Israel yang lahir di Würzburg, Jerman, dan meninggal di Yerusalem dalam usia 76:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dari tempat di mana kita benar
kembang tak akan tumbuh
di musim semi.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tempat di mana kita benar—di mana kita yakin kita tak salah—sesuatu berubah. Lempung yang lentur jadi keras, lumpur yang gembur jadi kaku. Di atasnya kita tak henti-hentinya menumbukkan kaki, mengentak, berbaris, berderap. Petak bumi itu seakan-akan beton penyangga.
Tapi sejarah tak hanya itu. Ada yang lain, demikian tertera dalam sajak Amichai, ketika
“…. keraguan dan cinta
menggangsir bumi
seperti bajak, seperti tikus tanah
Dan bisik pun terdengar
dari cedah puing
di mana dulu berdiri
sebuah rumah.”
Saya baca sajak itu kembali setelah 7 Oktober 2023, setelah pekik peperangan, dendam, dan genosida membentuk Gaza. Wilayah itu, yang disebut “Qiṭāʿ Ġazzah”—terbentuk dari konflik tak berkesudahan antara Israel dan Palestina—sebuah celah, sebuah interupsi dalam permusuhan bertahun-tahun.
Kini wilayah itu ditindih sejarah yang lain. Israel dipimpin orang-orang yang makin yakin bahwa orang Yahudi berada “di tempat [kita] benar”. Mereka tak henti-hentinya mengentakkan kaki, berderap,- mengklaim hak, memperluas wilayah, mengusir, merebut.
Mereka yakin, orang Palestina semestinya ditundung. “Kita harus menggalakkan migrasi,” seru Itamar Ben-Givir, menteri Keamanan Nasional Israel. “Galakan perpindahan sukarela penduduk Gaza. Dan itu sesuatu yang moral!”.
“Moral”—seolah-olah ada yang suci dalam rencana itu. Narasi pun disusun seakan ada kebenaran yang universal dalam pengusiran yang disebut Ben-Givir sebagai "perpindahan sukarela".
Tapi bagi orang Palestina (yang sejak kakek nenek mereka hidup di wilayah yang hendak diambil-alih itu) apakah yang “moral” dan “universal” dalam kehendak mengusir itu? "Moral" dan yang "universal" itu hanya ditentukan sepihak: melalui tekanan terus menerus, melalui kekuatan senjata, dana, ajaran agama, dan cerita yang sejak 1948 diulang-ulangi.
Tapi di situlah kontradiksinya. Yang berkuasa di Israel sekarang menghendaki "perpindahan sukarela" orang Palestina agar orang-orang Yahudi bebas menetap, tidak perlu berpindah lagi. Dengan kata lain, mereka menolak diaspora—dan melupakan bahwa diaspora selama berabad-abad membentuk pengalaman yang berharga bagi orang Yahudi sendiri.
Diaspora pada akhirnya bukan sepenuhnya hukuman Tuhan. Diaspora juga bisa jadi karunia, memberi kemungkinan mengalami hidup bersama orang yang berbeda, (dengan akibat baik dan buruknya), memperkaya dan diperkaya sejarah dan peradaban yang bukan warisan, membawa mereka ke dalam pelbagai dunia liyan; artinya, dunia yang bukan-kita, tapi bukan lawan-kita.
Dalam pertemuan itu selalu ada risiko. Tapi bisa terhimpun tanah yang lunak, digangsir hidup sehari-hari yang akhirnya adalah sebuah sejarah percakapan, bukan perseteruan—ketika “kami” dan “mereka” berjumpa di pasar, di tempat berteduh dari hujan, atau di saat mendengarkan lagu anak-anak di tanah lapang.
Tak selalu ruang itu terbuka kepada suara yang tak biasa, tapi justru orang-orang yang pernah hidup dalam diaspora, di pelbagai rantau, bisa—untuk mengutip Hannah Arendt dalam esainya, “Jewish History, Revised”—"mengangkat bara api yang berceceran dari pelbagai lokasi yang berbeda-beda."
Tentu tak dengan sendirinya demikian. Ada yang luka dan pedih dalam pengusiran, biarpun diselaputi sebutan “perpindahan sukarela”. Tapi yang ingin disampaikan Arendt adalah kebajikan pluralitas, kebinekaan, yang ditampik oleh nasionalisme ala Nazi, yang ingin membentuk bangsa dengan semangat totaliter, di wilayah yang jadi mengeras di atas keyakinan akan hak khusus satu kelompok etnis (atau agama) di atas kelompok etnis (atau agama) yang lain.
Maka Arendt, seorang kosmopolitan, tak cocok dengan Naziisme—dan juga Zionisme— ekspresi nasionalisme etnis. Ia akan lebih cocok dengan puisi Mahmoud Darwish, penyair Palestina yang—seperti orang Palestina lain—hidup dengan kisah beragam seorang eksil, yang tinggal di atas tanah di pelbagai pelosok.
Di sana, di celah puing-puing, ia bisa dengar bisik dari sebuah rumah asal yang dihancurkan—bisik kisah kehilangan, tapi juga bisik benih yang tumbuh tangguh di tanah baru.
Nasionalisme ethnis, seperti yang dikibarkan Naziisme dan Zionisme, mencederai keasyikan hidup bersama dalam keanekaragaman. Pada saat yang sama mematikan perubahan.
Dalam sajak Mahmoud Darwish yang ditulisnya untuk Edward Said, pemikir Palestina terkemuka yang meninggal di New York pada 2003, kita temukan baris ini:
“Pada angin ia berjalan, dan dalam angin ia kenali dirinya. Angin yang tak tertahan loteng, angin yang tak akan berumah.
Angin: kompas ke arah utara orang asing.
“Dan ia berkata: aku dari sana, aku juga dari sini, tapi tak di sana tak juga di sini.
“Aku punya dua nama yang saling bersua dan berpisah. Aku punya dua bahasa, tapi sudah lama aku lupa yang mana bahasa dalam mimpiku… ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Judul artikel ini diubah pada 26 Januari 2025 pukul 19.48 WIB. Semula berjudul Eksil