Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA langkah yang diambil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said sehubungan dengan praktek miring dalam dunia energi di Tanah Air menyedot perhatian khalayak. Pertama adalah gebrakannya membubarkan dan memerintahkan audit investigasi terhadap PT Pertamina Energy Trading Ltd (Petral). Hasil audit itu sudah disampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, yang pekan lalu menaikkan status kasus dugaan tindak pidana korupsi di perusahaan ini ke tingkat penyelidikan.
Belum kelar urusan Petral, Sudirman membuat gebrakan lagi. Dia melaporkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto ke Majelis Kehormatan Dewan (MKD), yang diduga melakukan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam proses perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Kedua kasus itu membuat Sudirman menjadi buruan awak media untuk mengklarifikasi sejumlah peristiwa yang terjadi. Karena hal itu pula, "Saya dituduh macam-macam, bahwa saya bagian dari mafia juga," kata Sudirman.
Pada Kamis pekan lalu, Sudirman menerima wartawan Tempo Tulus Wijanarko, Tito Sianipar, Gustidha Budiartie, Ayu Prima Sandi, dan fotografer Aditia Noviansyah serta videografer Ryan Maulana di rumah dinasnya di bilangan Jakarta Selatan. Perbincangan dilakukan pagi hari sebelum dia terbang ke Cilacap, Jawa Tengah, untuk meresmikan proyek Residual Fluid Catalytic Cracking.
Kepada Tempo, Sudirman membeberkan bagaimana cara kerja Petral hingga proses audit investigasi dilakukan, soal pelaporannya ke Majelis Kehormatan, juga polemik antarmenteri Kabinet Kerja, hingga divestasi dan perpanjangan kontrak Freeport.
Bagaimana cerita awal audit investigasi terhadap Petral?
Pada 26 Oktober 2014, sehari sebelum pengumuman kabinet, saya pertama kali bertemu dengan Presiden. Saya diundang dan beliau menyampaikan berbagai perhatian di sektor energi, tambang ilegal, dan kilang tua serta menyinggung mafia migas. Beliau bertanya bagaimana menyelesaikan itu semua. Inefisiensinya di mana? Di pemburu rente yang selalu mendapat margin tidak normal. Maka dia punya uang ekstra untuk melakukan kooptasi dan kontrol.
Itu diskusi awal. Kemudian sampai pada pertanyaan: mau diapakan Petral? Ada dua pilihan, dilikuidasi atau ditata. Dalam perjalanan ternyata tidak mudah mengubah culture dan memperbarui network yang telanjur tebal dan kuat. Pada April atau Mei 2015, kami putuskan dibubarkan dan dilakukan audit investigasi. Lalu dilakukan pemberesan, termasuk manajemen Pertamina, jika ada pelanggaran hukum.
Saya dua-tiga kali lapor ke Presiden mengenai perkembangan audit Petral ini. Ketika sudah jadi laporan final, kembali saya laporkan. Terakhir pada Jumat 13 November, ketika kembali dari Timur Tengah, saya jelaskan detail isinya. Lalu beliau mengatakan internal Pertamina harus terus didorong untuk melakukan penataan. Dan terkait dengan pelanggaran hukum disiapkan untuk disampaikan kepada penegak hukum. Dalam hal ini pilihannya ke KPK.
Pada Jumat, 13 November, itu siapa saja yang hadir?
Di ruang Pak Presiden, (hanya) kami berdua. Mendiskusikan Petral itu bukan hal baru dengan beliau. Seperti obrolan berulang saja. Cuma penekanannya waktu itu karena sudah jadi dokumen formal, mesti dijaga prosesnya. Apalagi jika masuk ranah hukum, harus lebih siap.
Jadi sudah dibawa ke KPK ini?
Saya secara formal belum dipanggil dan belum ada komunikasi. Tapi, karena ini sudah jadi isu publik, rupanya KPK sudah meminta laporan ke Pertamina. Auditnya sudah disampaikan dan kelihatannya KPK sedang melakukan analisis.
Audit investigasi dilakukan untuk memeriksa kinerja Petral periode 2012-2014. Kenapa?
Audit itu bukan untuk mencari keseluruhan tahun. Kami ingin mencari pola, baik pola transaksi, anomali, maupun penyimpangan-penyimpangan. Auditor profesional tidak harus meng-cover 10 tahun untuk bisa menemukan pola tersebut. Mula-mula rencananya hanya dua tahun, 2013 dan 2014. Tapi kemudian didiskusikan bahwa pada 2012 ada kebijakan yang bisa mengarah pada penyimpangan-penyimpangan tersebut. Ya sudah, sekalian di-cover 2012.
Kenapa tidak dari 2009, sejak zaman Ari Soemarno (Direktur Utama Pertamina 2006-2009)?
Biaya audit investigasi itu mahal kalau sampai jauh ke belakang. Padahal analisisnya bisa memakai sampel dalam 1 sampai 2 tahun saja, karena polanya akan sama. Memang ditanya kenapa tidak dari ketika saya di sana (saat menjabat Senior Vice President Integrated Supply Chain)? Justru waktu itu saya tengah melakukan penataan. Lagi pula saya mengalami waktu itu bagaimana iklan Pertamina untuk tender minyak disetop dan tidak boleh dipasang.
Ceritanya, waktu itu, dalam tiga hari saya ketemu lima kali dengan Bu Karen Agustiawan (Direktur Utama Pertamina). Saya ditawari jadi Direktur SDM, Kepala SPI, corporate planning, asset management, dan lainnya. Lalu saya jawab: Bu, kalau saya ditawari banyak posisi begini, ini artinya saya tidak hebat-hebat banget. Tapi saya disuruh menyingkir dari posisi ini cepet-cepet. (Catatan: Tempo belum berhasil menghubungi Karen Agustiawan untuk konfirmasi.)
Rangkaian cerita itu bukan fiksi. Saya mengalaminya. Nah, sekarang, ketika saya diberi kewenangan menata, ya, saya kerjakan. Dan, reaksinya muncul lagi, persis yang saya alami waktu itu.
Reaksi seperti apa? Maksudnya, Anda merasa digoyang dari posisi Menteri ESDM?
Saya tidak merasakan, tapi media yang menulis itu. Belum dilantik saja malah sudah ada isu reshuffle.
Sewaktu menjabat Senior Vice President Integrated Supply Chain, apa target Anda?
Orientasinya menata sistem dan kelembagaan. Artinya, struktur dibereskan, proses bisnis dibereskan, dan orang-orangnya dibereskan. Kemudian membereskan budaya. Approach saya itu people, culture, structure. Ini yang saya kerjakan di ISC. Selain menyeleksi orang, saya mengambil konsultan, menyusun ulang kriteria vendor, dan mengumumkan supaya vendor meregistrasi ulang. Itu pesan baik bagi pebisnis yang ingin serius karena ada kesempatan baru. Kami juga menyewa auditor independen untuk me-review persyaratan yang mereka ajukan. Sudah diumumkan dan disiapkan iklannya (untuk media massa) dengan baik, tapi kemudian ternyata disetop.
Selama ini ada pembiaran bisnis Petral?
Kalau dari audit ini bukan cuma pembiaran tapi memang ada design. Nah, menariknya, ternyata salah satu orang yang saya identifikasi dan mau saya potong tapi belum berhasil, malah dipromosikan, tidak lama setelah saya berhenti. Petral dijadikan satu-satunya purchasing arm.
Apakah ada nama Muhammad Riza Chalid, misalnya, dalam hasil audit investigasi?
Dalam audit sudah disebut ada keterlibatan nama-nama itu. Juga perusahaan-perusahaan tertentu yang dalam dokumen diketahui milik "si itu" tadi. Ada empat perusahaan terus-menerus di sekitar itu. Bahkan sejumlah trader besar mengaku begitu takut: kalau tidak lewat jaringan itu tidak akan mendapat bisnis. Semuanya muncul dalam laporan audit.
Setelah Petral dibubarkan dan diganti ISC, apakah terlihat orang-orang lama di bisnis minyak itu berupaya masuk lagi?
Orang-orang ini businessman. Karakter pebisnis adalah akan berupaya survive. Pesan saya, bukan mereka tidak boleh dagang, tapi berdaganglah dengan cara-cara baru. Dan ini bukan soal pemerintah sok bersih. Tapi ayo mengubah pola. Kalau ditanya apakah mereka masih berusaha, ya, tetap berusaha. Sejak 2008 saya sudah ngomong, orang-orang ini punya uang, jaringan, dan pasokan dari mana-mana. Tapi kadang bukan itu kebutuhan mereka. Mereka ingin mengatakan, "Gue bisa kontrol Dirut Pertamina. Gue bisa kontrol menteri. Bahkan kontrol presiden." Ini yang merusak. Ini yang saya katakan tolong dihentikan. Jadilah pebisnis yang bertanggung jawab, yang muncul di permukaan. Ini kan ngumpet tapi tangannya di mana-mana.
Artinya, jika mereka bersedia ikuti cara baru, masih boleh berbisnis?
Ya, boleh. Orang asing saja kita undang sebagai trader dan vendor yang proper. Jangan lupa kalau dalam proses ini kemudian ada urusan hukum, ya, diselesaikan dulu masalah hukumnya. Tapi, soal hak dia untuk berbisnis, silakan saja.
Beralih ke masalah laporan Anda tentang dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden oleh Ketua DPR Setya Novanto kepada Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Apa sebenarnya motivasi Anda?
Saya sebagai warga negara dan pejabat publik punya kewajiban mengungkap hal yang mengganggu kepentingan masyarakat. Tugas sudah saya laksanakan: menyampaikan laporan. Diminta menyerahkan bukti juga sudah saya serahkan sepanjang yang saya punya.
Dugaan pencatutan nama itu muncul dalam pertemuan tiga orang (Setya Novanto, pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid, dan Direktur Umum PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin). Dari mana Anda mengetahui adanya pertemuan itu?
Saya mendapat informasi karena sejak awal saya meminta kepada pimpinan PT Freeport untuk memberikan update kepada saya (tentang) bertemu dengan siapa saja yang kira-kira bisa berpengaruh pada proses (perpanjangan kontrak) ke depan. Mereka menyampaikan dan mengerjakan itu. Ketemu dengan siapa pun mereka selalu update. Mereka melakukan itu memang karena saya yang minta.
Dalam laporan Anda ke MKD disertakan bukti rekaman. Kenapa rekamannya cuma sepenggal dan tidak semuanya?
Memang kami membatasi sesuai dengan apa yang kami laporkan. Tapi, kalau memang diperlukan informasi tambahan, tentu akan kami sampaikan.
Anda disebut belum berkoordinasi dengan Presiden ketika melaporkan ke MKD. Benarkah?
Dalam berbagai kesempatan saya jelaskan bahwa sebagai pemimpin harus punya professional judgment ketika melakukan hal-hal tertentu. Ada hal-hal yang secara detail saya laporkan, ada juga yang cuma menangkap arahan beliau dan kemudian saya terjemahkan dalam tindakan-tindakan. Tentu saja urusan yang akan menimbulkan impact yang besar tidak mungkin tidak dikonsultasikan atau tidak dilaporkan.
Kapan pertama kali melapor ke Presiden?
Pada bulan Juli ketika saya menerima informasi itu, sudah saya sampaikan kepada Presiden dan Wakil Presiden. Sepanjang Juli-Oktober, saya sering berinteraksi (dengan Presiden), baik dalam diskusi ramai-ramai maupun bicara empat mata.
Apa tanggapan Presiden?
Saya ditanya, "Kira-kira Pak Menteri mau tindakannya seperti apa?" Saya bilang, "Pak, yang paling baik adalah disampaikan kepada MKD." Jadi saya tidak ingin (kasus) ini terbuka dari mulut saya. Kata Presiden: "Ya sudah, kalau itu memang yang terbaik, disiapkan saja. Tapi lihat timing."
Apa yang dimaksud dengan timing?
Omongan tentang timing itu baru dikatakan Presiden pada 13 November lalu. Tapi, sebelum itu, Presiden bilang, "Simpan saja. Suatu saat pasti ada gunanya." Tapi beliau sudah mendapat gambaran pada Juli.
Kolega Anda sesama menteri menyebut Anda belum melapor ke Presiden?
Sesuai dengan petunjuk Pak Presiden, saya tidak ingin berkomentar tentang kolega saya. Saya bisa saja menjawab semua pernyataan ngaco dari pejabat yang tidak tahu duduk perkara, tapi saya hormat terhadap arahan Presiden untuk berfokus pada pekerjaan. Nanti fakta akan terbuka semua.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan dalam konferensi pers mengklaim tahu siapa di belakang Anda….
Siapa pun orang yang berpikir saya punya beking, punya klik, punya plot, itu hanya mindset mereka. Mereka selalu berpikir saya melakukan sesuatu dengan plot. Mereka berpikir seolah-olah saya tidak punya professional judgment. Menurut saya, itu sangat menyedihkan. Bagi saya, values itu lebih penting. (Itu menjelaskan) kenapa ini kita lakukan.
Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli juga mengkritik bahwa Anda jarang ikut rapat koordinasi….
Itu kan tergantung topik. Sejak dilantik, saya memang lebih sering menghadiri rapat di Menteri Koordinator Perekonomian karena hampir semua urusan energi itu kaitannya dengan Perekonomian. Sekali-sekali diundang Mas Indroyono Soesilo (Menteri Koordinator Kemaritiman sebelum digantikan Rizal), atau teleponan. Kita santai sekali, bisa koordinasi sembari menunggu rapat kabinet. Itu bukan hal yang perlu dibesar-besarkan.
Kritik Rizal Ramli itu sampai dibuka ke publik. Tanggapan Anda?
Sesuai dengan arahan Bapak Presiden, sebaiknya saya tidak berkomentar, ha-ha-ha....
Dalam soal perpanjangan kontrak Freeport, bagaimana sikap Presiden?
Sejak awal Presiden bersikap bahwa ini sesuatu yang tidak mudah. Kalau ada yang berpikir untuk ditutup lalu kemudian diambil alih, itu adalah logika yang enak diucapkan tapi sulit dilaksanakan. Kita setengah mati mengundang investor masuk, dan ketika investasi ada di depan mata, kenapa tidak dijaga? Sekarang adalah dalam proses menjaga itu, agar setiap langkah tetap memberi keuntungan terbesar bagi Indonesia.
Kalau kontrak Freeport putus dan dilelang ulang, bukankah Indonesia bisa mendapat keuntungan lebih dari yang sekarang?
Ada empat hal yang terikat di kontrak, dan menurut para ahli hukum, kontrak itu sangat kuat posisinya. Sebagai bangsa beradab, kita harus menghormati apa yang ditulis (di dalam kontrak), meski itu dilakukan oleh pemerintah periode mana pun. Itu adalah tetap wakil negara.
Keempat hal penting itu adalah pertama, Freeport berhak meminta perpanjangan kapan pun. Apabila tidak ada alasan-alasan yang sangat mendasar, pemerintah tidak bisa menunda. Kedua, hukum yang berlaku adalah hukum yang berlaku sampai ditandatanganinya kontrak tersebut. Jadi kontrak itu menghindar dari hukum-hukum yang baru. Ketiga, setelah kontrak selesai, jual-beli saham harus berdasarkan harga pasar. Kemudian (keempat) tidak ada nasionalisasi. Itu semua tercantum di kontrak.
Kontrak tersebut akan berakhir pada 2021, setelah itu kan tidak berlaku lagi.
Jangan lupa, ada klausul: berhak meminta perpanjangan kapan pun.
Bukankah keputusan memperpanjang ada pada Indonesia?
Dalam logika investasi, kita selalu mengundang investasi. Yang ada di depan mata, mari kita jaga supaya benefit-nya semakin baik. Kita tidak ingin masuk ke battleground keributan hukum. Sebab, sekali kita ribut di bidang hukum, impact pada investasi sangat besar.
Jadi lebih baik kita duduk sama mereka. Ada satu hal yang mereka tidak lagi ngotot, yakni ketika kontrak selesai, mereka bersedia bentuknya nanti tidak lagi kontrak, tapi izin usaha pertambangan khusus. Itu sesuatu yang positif menurut saya, yakni mereka mengerti hukum meski tidak ada kewajiban dalam kontrak. Itu yang terus kita dorong.
Seperti apa skema divestasi saham Freeport?
Prinsip-prinsipnya sudah disepakati. Kalau pemerintah Indonesia mau mengambil, melalui strategic sale, divaluasi, dan sebagainya. Dan kemudian pemerintah daerah juga dilibatkan. Kalau bukan (pemerintah), nanti swasta yang harus lewat pasar modal. Kita tidak ingin mengulang kisah masa lalu; setiap kali divestasi selalu ada yang nyelip-nyelip.
Sudah sampai mana prosesnya? Valuasinya sudah sampai Menteri Keuangan?
Saya kira Menteri BUMN sudah mengirim surat. Ada dua BUMN yang ikut dalam proses ini.
Freeport selalu mengagung-agungkan isi kontrak, sementara di sisi lain ada klausul kontrak yang sampai sekarang belum mereka penuhi, misalnya divestasi yang seharusnya sudah 51 persen….
Setiap pihak pasti akan berusaha memasukkan (kepentingannya). Yang penting kita menjaga. Sekarang ini keseluruhan proses negosiasi belum bisa dikatakan close secara formal. Ini termasuk bagian-bagian yang mesti kita bicarakan juga dengan mereka. Karena itu, saya heran sejumlah orang bersikap seakan-akan keputusannya sudah diambil. Padahal tidak mungkin kita ambil keputusan sampai peraturannya berubah.
Tadi belum terjawab, inti sikap Presiden terhadap perpanjangan kontrak Freeport seperti apa?
Kata-katanya begini, "Kan, peraturannya belum memungkinkan. Jadi tidak mungkin mengambil keputusan." Tapi beliau sadar betul apabila keputusan itu diambil pada 2019 akan semakin sulit, karena itu tahun terakhir periode pemerintahan ini. Lepas dari siapa presiden berikutnya, kan tidak elok mengambil keputusan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo