Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jejak Sang Peneror di Parijs van Java

Frederic C. Jean Salvi, tersangka teror Paris, pernah tinggal di Bandung. Suka bikin gara-gara dan merasa paling benar.

30 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KURNIA Widodo masih mengingat peristiwa dramatis saat Frederic C. Jean Salvi nyaris membubarkan sebuah pesta perkawinan di Ciwidey, Kabupaten Bandung, enam tahun lalu. Ketika itu, seorang biduan tengah mendendangkan lagu dangdut diikuti sejumlah orang berjoget di depan panggung.

Kegembiraan buyar akibat ulah pria asal Prancis itu, yang mendadak merebut mikrofon, lalu berceramah dalam bahasa Arab. Para tamu yang hadir bengong. Anggota panitia perhelatan mengejar Salvi seraya mengusirnya agar turun dari panggung. Lelaki bertubuh tinggi itu babak-belur dihajar banyak orang. "Orangnya keras dan merasa paling benar," kata Kurnia, yang saat itu menjadi penerjemah Salvi, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Salvi adalah orang yang sedang dicari pemerintah Prancis karena dugaan terlibat sejumlah bom yang meledak di Paris pada Jumat malam dua pekan lalu, yang menewaskan 132 orang. Sebelumnya, lelaki yang beristri perempuan Maroko ini ditetapkan sebagai tersangka pengeboman Kedutaan Besar Republik Indonesia di Paris pada Maret 2012. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme ketika itu, Ansyaad Mbai, mengatakan ada petunjuk kuat Salvi terlibat. "Pelakunya bukan dia langsung, melainkan jaringannya," ujar Ansyaad.

Setelah peristiwa di Paris pada 2012, Salvi lari dari Prancis dan tinggal di Inggris. Menurut dokumen yang dimiliki Kepolisian RI, Salvi memiliki nama samaran Ali. Menurut Kurnia, di Bandung, dia biasa disapa Si Jangkung Ali. Pria kelahiran Pontarlier, Prancis, 36 tahun lalu itu semula beragama Kristen dan kemudian memeluk Islam.

Sebelumnya, Salvi disangkutkan dengan kelompok teroris Cibiru, Bandung, yang ditangkap polisi pada Agustus lima tahun lalu. Ketika itu polisi menangkap lima tersangka yang dideteksi akan meledakkan Markas Besar Polri dan sejumlah gedung kedutaan besar di Jakarta. Seorang di antaranya yang ditangkap adalah Kurnia Widodo alias Bobi, sarjana teknik kimia lulusan Institut Teknologi Bandung.

Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis mereka terbukti melakukan tindak pidana terorisme sehingga dihukum selama enam tahun penjara. Kini Kurnia sudah bebas setelah mengajukan permohonan pembebasan bersyarat. Kurnia, yang masuk ITB pada 1992, menjalani hukuman selama tiga tahun delapan bulan. "Setelah ke luar penjara, saya banyak memberikan les privat," kata Kurnia.

Keterkaitan Salvi dengan kelompok Cibiru dideteksi oleh polisi salah satunya dengan mobil Mitsubishi Galant buatan tahun 1985 miliknya. Mobil itu diduga akan digunakan sebagai bom mobil dengan daya ledak lebih hebat dibanding bom yang mengguncang kawasan Legian, Bali, pada Oktober 2002, yang menewaskan 202 orang.

Persinggungan antara Salvi dan kelompok Cibiru ternyata penuh warna. Kurnia, yang hampir setahun mendampinginya, mengatakan kelompoknya sebenarnya tak suka lelaki yang menguasai bahasa Arab, Inggris, dan Prancis ini. Sebab, Salvi congkak dan suka bikin ulah akibat selalu merasa paling benar.

Kurnia mengingat, Salvi berada di Bandung mulai 2009 hingga Agustus 2010 ketika kelompok Cibiru ditangkap polisi. Selanjutnya, ia kabur. "Setahu saya, dia lari ke Maroko, ke tempat asal istrinya," ujarnya.

Menurut Kurnia, tak lama setelah insiden berkelahi dengan penduduk, Salvi diusir dari Ciwidey. Dari situ, Salvi mengontrak rumah di kawasan Cileunyi, masih di Bandung. Dia tinggal tidak jauh dari Pondok Pesantren Al-Jawami, yang dipimpin Kiai Haji Imang Abdul Hamid. Meski tinggal di dekat Pondok Al-Jawami, Salvi sesungguhnya tidak mengaji di situ. Dia justru aktif ikut pengajian As-Sunnah yang dibimbing Ustad Aman Abdurrahman di Cibiru, yang dikenal juga dengan nama Ustad Oman. Dulu banyak aktivis dakwah Islam di Bandung yang mengaji di tempat ini. "Kami bersama-sama mengaji kepada Ustad Aman," kata Kurnia.

Kini Aman mendekam di penjara Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, bersama pemimpin Jamaah Ansharut Tauhid, Abu Bakar Ba'asyir. Pada Juli tahun lalu, Ba'asyir berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Foto Ba'asyir bersama 13 penghuni penjara tengah dibaiat menyebar ke dunia maya. Ba'asyir menyusul Aman, yang lebih dulu menyatakan bergabung dengan ISIS. Aman dihukum sembilan tahun karena membantu pelatihan militer di pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar, Aceh, pada 2009.

Peran Aman dalam pelatihan itu adalah memberikan sumbangan dana Rp 20 juta dan US$ 100. Pelatihan militer di Aceh tersebut untuk kegiatan terorisme. Selain itu, Aman mengirim beberapa muridnya untuk mengikuti pelatihan di wilayah tersebut. Sebelumnya, Aman dinyatakan bersalah karena terlibat dalam peledakan bom di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, pada 2004. Seperti Aman, Ba'asyir dipenjara akibat mendanai kegiatan terorisme itu.

* * *

KIAI Imang Abdul Hamid mengatakan Frederic Salvi berkunjung ke pesantrennya pada 2006 dan 2007. Setidaknya dia empat kali bertandang ke pondok itu. Imang mengatakan Salvi berkunjung lazimnya tamu. Kepada Imang, lelaki asing itu menyatakan ingin mengetahui sistem pendidikan Islam di pesantren. Selebihnya, Imang menyatakan tidak tahu yang dilakukan Salvi selama di Indonesia. "Dia bertamu. Sebagai tuan rumah, ya, saya terima," ujarnya.

Selain mengaji, selama di As-Sunnah, Salvi belajar ilmu bela diri kungfu aliran thifan po khan. Mereka meyakini thifan po khan merupakan bela diri yang digunakan oleh pasukan di era dinasti Turki, Usmani, yang berjaya menguasai Asia dan Eropa pada abad ke-16 dan ke-17 Masehi. Menurut Kurnia Widodo, kelompoknya meyakini bela diri ini berasal dari daerah Uighur, provinsi di Cina yang terpengaruh Turki karena berbatasan. Orang-orangnya pun berperawakan seperti orang Turki.

Salvi sempat menyatakan ingin bergabung dengan kelompok Cibiru untuk ikut tadrib atau berlatih perang. Kelompok Cibiru memang biasa mengadakan pelatihan semimiliter, misalnya merangkak, berguling-guling, dan menggunakan senjata. Mereka berlatih di sejumlah tempat, di antaranya di Jayagiri, Bandung. Namun kelompok Cibiru menolak Salvi. Mereka curiga kepada orang asing yang sebelumnya tidak mereka kenal itu. "Kami curiga, jangan-jangan dia mata-mata," kata Kurnia.

Sebelum tinggal di Bandung, Salvi menetap di Pondok Pesantren Darusy Syahadah di Desa Kedunglengkong, Kecamatan Simo, Boyolali, Jawa Tengah. Dia mengungkapkan perihal ini kepada Kurnia. Namun tak dijelaskan berapa lama dia tinggal di pesantren itu. Di sana Salvi mengaji dan belajar bela diri kungfu aliran butong atau wudang, yang berasal dari Cina.

Pengasuh Pesantren Darusy Syahadah, Qosdi Ridwanullah, menyatakan tidak mengenal Salvi. Menurut dia, sangat banyak tamu yang berkunjung ke pesantrennya sehingga ia tidak bisa mengingat dengan baik tamu asing yang pernah tinggal di pondoknya.

Qosdi mengatakan pesantrennya sangat terbuka. Perwakilan lembaga yang kebanyakan berasal dari Timur Tengah kerap melawat ke pondok itu. Seingat dia, belum pernah ada orang kulit putih bersilaturahmi ataupun ikut pengajian di pesantrennya. "Pernah ada bule ke sini, tapi dia jurnalis yang meliput kehidupan pesantren," ujarnya.

Jejak Salvi di Bandung semakin memperkuat indikasi masuknya pengaruh ISIS di sejumlah kelompok radikal di Indonesia. Kini, selain Salvi, yang jadi pembicaraan di kalangan aktivis jihad Islam di Solo adalah Muhammad Bahrun Naim Anggih Tamtomo.

Seorang yang terlibat bom Bali asal Solo mengatakan Bahrun berperan sebagai penghubung antara ISIS dan jaringannya di Indonesia. "Peran Bahrun sungguh besar," katanya. Bahrun pernah ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror di Solo pada 2010. Polisi menyita ratusan butir peluru untuk senjata AK-47, laptop, enam unit CPU, sarung pistol, serta beberapa buku dan cakram digital yang ditemukan di dalam rumah kontrakan Bahrun di Pasar Kliwon.

Ketika itu Bahrun dikenai pasal Undang-Undang Darurat atas kepemilikan senjata api dan dihukum penjara dua tahun enam bulan. Dia diduga bergabung dan berada di wilayah ISIS pada Februari lalu. Pada Agustus lalu, Densus 88 menangkap tiga orang yang diduga teroris di Solo. Saat itu Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Inspektur Jenderal Noer Ali menyatakan tiga tersangka tersebut akan menebar teror pada peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus.

Menurut Noer Ali, pendanaan aksi itu didapatkan dari Suriah. "Mereka berkoordinasi dengan Bahrun," ujarnya. Pada pertengahan November lalu, Bahrun mengunggah video seruan jihad di akun Facebook miliknya. Isinya ajakan jihad dari Abu Wardah alias Santoso. Di antaranya ancaman akan meledakkan Istana Kepresidenan. Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti menyatakan polisi terus mengejar Santoso dan anggota kelompoknya yang bergerak di Poso, Sulawesi Tengah.

Badrodin mengatakan ada 60-70 kombatan ISIS yang kembali ke Indonesia. Polisi terus memantau pergerakan mereka. Namun ia menyatakan sukar memonitor kombatan yang kembali diam-diam. "Sulit melacak mereka," katanya. Ketua Dewan Penasihat Tim Pembela Muslim Mahendradatta menyatakan polisi bertindak terlalu sensitif terhadap orang yang diduga anggota jaringan ISIS. "Jangan selalu dikaitkan dengan ISIS," ujarnya.

Sunudyantoro, Dewi Suci Rahayu (Jakarta), Iqbal T. Lazuardi (Bandung), Ahmad Rafiq (Solo)


Dari Cibiru ke Paris

TEROR bom yang melanda Paris pada 13 November lalu membuat pemerintah Indonesia meningkatkan kewaspadaan. Penyebabnya, Frederic C. Jean Salvi, salah satu tersangka teror di kota mode dunia itu, diketahui pernah bergabung dengan kelompok pengajian As-Sunnah di Cibiru, Bandung, yang masuk daftar sebagai kelompok pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Jejaring Baru

Jawa Barat
Bandung

  • Kelompok Cibiru
    Aman Abdurrahman (ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kembar Kuning, Nusakambangan)

  • Mujahidin Indonesia Barat
    Bachrumsyah (pergi ke Suriah)

    Cianjur

  • Tauhid Wal Jihad
    Aman Abdurrahman

    Ciamis dan Depok

  • Jamaah Ansharut Daulah
    Fahri alias Tuah Febriwansyah

    Jawa Tengah (Solo)

  • Jamaah Ansharut Tauhid
    Abu Bakar Ba'asyir (ditahan) dan Badri Hartono

    Jawa Timur (Surabaya)

  • Jaringan Abu Fida
    Muhammad Saifudin Umar alias Abu Fida

    Banten

  • Negara Islam Indonesia Banten
    Iwan Rais

    Poso, Sulawesi Tengah

  • Mujahidin Indonesia Timur
    Santoso alias Abu Wardah (buron)

    Makassar, Sulawesi Selatan

  • Laskar Jundullah
    Agung Abdul Hamid

    Bima, Nusa Tenggara Barat

  • Jaringan teroris Bima
    Iskandar

    Mereka yang Ditangkap

    6 November 2015
    Firman Fitrinaldi, 25 tahun, dan M. Rizky Fajri, 26 tahun, warga Pekanbaru, Riau, dan Bukittinggi, Sumatera Barat.

    18 Oktober 2015
    Hendra Syahputra alias Abdurrahman Rimba, 22 tahun, dan Buntu, 60 tahun, warga Asahan, Sumatera Utara, ditangkap karena mengibarkan bendera mirip milik ISIS.

    2 Agustus 2015
    Syamsudin Uba, 40 tahun, dan Zakaria Kiri, 40 tahun, warga Desa Blang Merang, Kecamatan Pantar Barat, Alor, Nusa Tenggara Timur, ditangkap Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur.

    Potensi Ancaman

    Markas Besar Kepolisian RI menyebutkan Indonesia termasuk negara yang menjadi target ISIS.

    • Kelompok radikal
      Sedikitnya ada 19 organisasi kemasyarakatan yang mendukung ISIS. Sebagian besar merupakan kelompok radikal.

    • WNI kembali dari Suriah
      Sebanyak 384 warga negara Indonesia pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.

    • Teror bom toilet
      Kepolisian tahun ini mendeteksi para pengikut ISIS kerap menyasar toilet sebagai target mereka.

    Sarana Propaganda

    Website
    Situs www.al-mustaqbal.net, yang selalu memuat berita tentang gerakan ini.

    Facebook
    Pengikut ISIS, seperti Bachrumsyah dan Rosikin Rosikien Nur dari jaringan Mujahidin Indonesia Timur, kerap mengunggah foto acara kegiatan mereka.

    "Mereka (ISIS) ingin membentuk khilafah, juga di Indonesia, yang mayoritasnya muslim."

    — Komisaris Jenderal Saud Usman Nasution, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

    "Orang ISIS di Indonesia hanya ikut karena ajakan."

    - Mahendradatta, pengacara Tim Pembela Muslim

    "Kami terus memantau pergerakan mereka (WNI yang pulang dari Suriah) di Indonesia."

    — Jenderal Badrodin Haiti, Kepala Kepolisian RI

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum