Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pebisnis Anthony Leong memutar uang ke properti dan membangun start-up.
Yodie Hardiyan membeli saham blue chip untuk tabungan hari tua.
Bekerja freelance, Monika Aprilia menyiapkan biaya pensiun secara mandiri.
Jumlah penduduk Indonesia kini didominasi oleh generasi Z yang lahir pada kurun waktu 1997-2012 dan generasi milenial yang lahir pada kurun waktu 1981-1996. Meski masa pensiun mereka masih lama, kaum muda tersebut sudah mulai menyiapkan tabungan masa depan mereka sejak dini. Tabungan itu ditujukan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari ketika mereka tidak lagi bekerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satunya adalah Anthony Leong. Pebisnis berusia kepala tiga ini sadar betul pentingnya memiliki tabungan untuk masa tuanya. “Karena kita enggak bisa sehat terus. Tidak bisa aktif terus. Kita akan ada di satu titik akan berhenti, tidak bisa bekerja lagi,” kata Anthony kepada Tempo, Selasa, 22 Februari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CEO Menara Digital—perusahaan konsultan digital marketing activation secara realtime—ini lahir dari keluarga pengusaha. Orang tuanya menjalankan apotek. Sejak kecil, ia ditanamkan pola pikir entrepreneur, yaitu terus memikirkan masa depan, perencanaan, serta menghadirkan cara untuk bisa terus bertahan dan bertumpu.
Anthony sudah memulai bisnis sejak di bangku sekolah menengah atas. Pria kelahiran 14 Maret 1992 ini juga sukses membangun bisnis jasa konsultasi pemasaran digital bersama rekan-rekannya. Anthony menyisihkan sebagian penghasilannya ke investasi jangka panjang. Misalnya, properti yang berupa jasa penyewaan kantor dan saham.
CEO Menara Digital, Anthony Leong. Dok. Pribadi
Jasa penyewaan kantor itu juga menjadi salah satu usaha rintisan Anthony. Start up berlabel Menara Office itu adalah perusahaan kantor dengan operator virtual dan layanan kantor bersama yang berlokasi di kawasan Sudirman, Jakarta. Anthony menyewa sebuah ruangan, lalu ia renovasi dan disewakan kembali.
Selain giat berinvestasi, ia selektif dalam membeli barang konsumsi. Ia pun menyarankan anak muda, apa pun pekerjaan dan profesinya, agar melakukan hal serupa. “Kalaupun membeli barang, basisnya harus fungsional,” ujarnya. “Tidak masalah jika seseorang memiliki harta berlebih lalu konsumtif. Tapi, jika pas-pasan, perlu membentuk pola pikir efisien dan efektif.”
Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia ini memang tak menargetkan usia pensiun. Ia sempat terpikir untuk berhenti dari dunia bisnis pada usia 40 tahun. “Tapi makin ke sini saya melihat ngapain juga terlalu pasif, ya. Kalau untuk usia produktif sekarang bisa kerja 100 persen, mungkin ke depan memaksimalkan kekuatan 40 persen juga bisa.”
Namun ia sudah merencanakan kegiatan pada masa tuanya nanti: menebar virus kewirausahaan kepada anak muda. Di usia 50-60 tahun, misalnya, Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Digital Academy ini ingin membangun basis fundamental entrepreneurship kepada generasi selanjutnya.
Investasi emas untuk pensiun dini. TEMPO/Tony Hartawan
Berbeda dengan Anthony, Amanda Kusuma Wardhani memilih cara lebih konservatif dalam menyiapkan dana pensiun, yaitu menempatkan uangnya dalam obligasi syariah lewat program dana pensiun lembaga keuangan (DPLK) sebuah bank badan usaha milik negara.
Selain itu, Amanda menyisihkan sebagian uangnya ke instrumen investasi, antara lain surat berharga negara (SBN) dan emas. Ia menargetkan di usia 45 tahun sudah bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dari hasil investasi tanpa harus bekerja.
Sebetulnya, jurnalis sebuah media ini sudah memiliki Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Hari Tua (JHT) sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dari perusahaannya. Namun Amanda merasa dana dari BPJS Ketenagakerjaan itu tidak cukup untuk menunjang kebutuhan pada masa tua nanti. “Aku merasa belum aman dengan adanya JP dan JHT. Makanya bikin dana pensiun sendiri,” kata perempuan berusia 31 tahun ini.
Kesadaran menyiapkan uang pensiun secara mandiri muncul ketika ia meliput kegiatan mengenai dana pensiun pada 2015. Saat itu, alumnus Universitas Gadjah Mada ini baru mengetahui bahwa investasi dana pensiun tidak dikenai pajak penghasilan. Hal itu kemudian memicunya menyisihkan uang sebesar Rp 150 ribu per bulan hingga sekarang.
Selain itu, warga Karet Tengsin, Jakarta, ini menyadari, ketika tua, ia tidak bisa selalu bergantung pada keluarganya. Dengan demikian, ia perlu mencapai kemandirian finansial dengan menabung sejak dini dan menginvestasikan sebagian gajinya.
Jurnalis, Amanda Kusuma Wardhani. Dok. Pribadi
Sama seperti Amanda, Yodie Hardiyan juga mengikuti program DPLK sebuah bank sejak awal tahun lalu. Itu di luar tabungan pensiun BPJS Ketenagakerjaan yang difasilitasi kantornya. Agar setoran tak telat dan bolong-bolong, pegawai humas perusahaan keuangan ini memakai sistem autodebit dari rekening. “Biar konsisten. Kalau setor sendiri enggak bisa karena suka lupa. Jadi DPLK ini dipotong tiap bulan,” ujarnya.
Di luar itu, Yodie juga menanamkan uangnya di instrumen investasi jangka panjang, khususnya saham blue chip—jenis saham dari perusahaan bereputasi tinggi. Ia mengatakan saham blue chip dapat memberikan imbal balik yang cukup dalam jangka panjang. Dengan begitu, kata Yodie, hasilnya bisa ia gunakan untuk bepergian ke berbagai daerah dan negara lain pada hari tua nanti.
Pria kelahiran Aceh ini mulai belajar saham ketika kuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Ia rajin mencari sumber ilmu dari buku, pelatihan, YouTube, dan blog. Begitu lulus kuliah dan punya penghasilan sendiri, Yodie memutuskan terjun langsung dalam investasi itu.
Namun, menurut dia, investasi saham membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Sebab, hasilnya tidak instan dalam jangka pendek. “Karena itu, dibutuhkan kesabaran untuk mencapai hasil yang baik dalam jangka panjang," ujarnya.
Meski tak menargetkan pensiun di umur tertentu, pria berusia 33 tahun ini merasa tabungan masa tua multak perlu disiapkan ketika masih produktif. “Sebab, ketika kita sudah tidak lagi muda atau tidak lagi sehat, kita tidak bisa lagi punya kemampuan bekerja dan menghasilkan uang.”
Freelance ilustrator, Monika Aprilia. TEMPO/M Taufan Rengganis
Monika Aprilia juga memilih investasi jangka panjang untuk menabung dana pensiun. Begitu ada pemasukan, perempuan yang bekerja sebagai ilustrator lepas itu selalu menyisihkan sebagian uangnya untuk diputar di reksa dana, obligasi, dan deposito. Ia pun sudah merencanakan kegiatan masa tua yang akan dijalaninya kelak, yaitu memasak di rumah.
Monika, kini berusia 30 tahun, sadar harus menyiapkan biaya hari tua itu secara mandiri. Nah, kini, pada masa muda, saatnya dia getol mencari uang. “Uangnya bukan buat sekarang, tapi ke depan biar hari tua lebih enak hidupnya. Tidak usah kerja, terus tidak bebanin anak nantinya,” kata dia.
Lain lagi dengan Yuliza Chairunnisa. Ia berinvestasi di banyak instrumen, dari saham, reksa dana, perhiasan, properti, hingga berjualan. Alasan Yuliza membiakkan uangnya di banyak keranjang itu adalah ia anak tunggal. “Aku tidak punya saudara kandung atau orang yang bisa membantu finansial. Jadi harus menyiapkan dana dingin buat aku sendiri,” ucap Yuliza.
Investasi saham untuk pensiun dini. TEMPO/Tony Hartawan
Analis aplikasi di sebuah perusahaan rintisan konsumen itu membeli sebidang tanah seluas 200 meter persegi di Sumatera Utara. Ia berencana membangun kos-kosan setelah pensiun nanti. Selain itu, pada 2018, ia juga coba-coba berinvestasi reksa dana untuk jangka pendek. Hasilnya ia cairkan sepekan sekali. Adapun investasinya di saham untuk kebutuhan jangka panjang.
Perempuan berusia 29 tahun ini juga mempunyai usaha sampingan berupa kertas binder yang dijajakan di toko daring. Yuliza sudah berjualan kertas binder sejak kuliah untuk menambah uang jajan. Usaha itu tetap ia lanjutkan kendati sudah bekerja.
Perencana keuangan, Safir Senduk, menyatakan ada beberapa hal yang perlu disiapkan anak muda untuk menghadapi masa pensiun. Pertama, memiliki target di kepala bahwa mereka akan tua dan fisiknya tidak bisa lagi bekerja. Dengan demikian, uangnya harus disiapkan dari sekarang. Kedua, memiliki pengetahuan mengenai pentingnya berinvestasi.
Menurut Safir, investasi lebih mudah dilakukan ketimbang membuka usaha atau mengandalkan fisik untuk masa pensiun. “Karena itu, dia harus punya komitmen untuk mau menyisihkan uang secara rutin setiap bulan untuk kepentingan pensiun atau hari tua.”
FRISKI RIANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo