Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUNAWAR Fuad Nuh ibarat penata panggung Susilo Bambang Yudhoyono pada saat kampanye di lingkungan pesantren, dalam pemilu presiden 2004. Ia bertugas menganalisis kiai yang perlu didatangi. Juga menyiapkan kata dan lafal yang tepat bagi sang kandidat untuk mengikat hati sahibul bait.
Ada empat tingkat keberhasilan yang disiapkan Fuad setiap kali mendampingi Yudhoyono ke pesantren. Pertama, ini yang paling remeh, sang kandidat diterima dengan baik oleh kiai-kiai. Kedua, SBY disambut oleh kiai sentral. Ketiga, sang kiai bersedia berpose bersama. Keempat, kiai itu memastikan memberikan dukungan buat Yudhoyono. Untuk mencapai yang terakhir ini bukan perkara mudah. Soalnya, Nahdlatul Ulama ketika itu menyokong Megawati Soekarnoputri, yang calon wakil presidennya adalah Hasyim Muzadi, Ketua Umum NU.
Agar lebih afdol, pria 37 tahun itu bahkan sampai menentukan perlu-tidaknya Yudhoyono mencium tangan kiai yang akan dikunjunginya. ”Misalnya, saya sarankan SBY ketemu Gus Dur di rumah dan mencium tangannya saat datang,” kata Fuad kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Kini kedekatan Fuad dengan Yudhoyono disorot dari sisi lain. Namanya moncer dalam beberapa pekan terakhir. Fuad disebut sebagai satu di antara lebih dari 1.700 penerima dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan. Ia tercatat menerima Rp 150 juta pada 11 Oktober 2004.
DANA nonbujeter sekitar Rp 31 miliar dikumpulkan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri sejak 2001 dan berlanjut hingga Freddy Numberi, menteri penggantinya. Rokhmin kini menjadi terdakwa bersama mantan sekretaris jenderal departemen itu, Andin H. Taryoto. Duit yang dikumpulkan dari para pengusaha itu dikelola oleh Didi Sadili, mantan Kepala Biro Umum dan Tata Usaha Direktorat Jenderal Kelautan Pulau-pulau Kecil dan Pesisir.
Daftar nama penerima dana ilegal itu terungkap dalam kesaksian Didi di pengadilan, Rabu tiga pekan lalu. Ia antara lain mengatakan pernah tiga kali mengeluarkan uang untuk tim sukses Yudhoyono. Pertama, Rp 200 juta diserahkan oleh anggota staf khusus Menteri Rokhmin, Fadhil Hasan alias Pupup. Penerimanya tidak jelas. Fadhil tak bersedia memberikan penjelasan tambahan ketika dimintai konfirmasi oleh Tempo. ”Ikuti saja pengadilan,” katanya.
Menurut Didi, ada pula Rp 150 juta yang ia serahkan ke Munawar Fuad. Terakhir, masih menurut Didi, Rp 100 juta diserahkan langsung oleh Rokhmin Dahuri ke tim sukses Yudhoyono.
Catatan Didi mengungkapkan bahwa dana nonbujeter juga mengalir ke Blora Center, lembaga pendukung Yudhoyono. Lainnya mengalir ke Imam Addaruqutni, mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, yang dalam catatan Didi ditulis sebagai ”tim SBY”.
Seperti banyak diberitakan, sejumlah tokoh dan politisi juga disebutkan ikut menikmati duit untuk kaum nelayan itu. Di antaranya mantan calon presiden Amien Rais dan mantan calon wakil presiden Salahuddin Wahid. Keduanya belakangan mengaku menerima fulus itu. Amien menuding pasangan lain pasti ikut mendapat aliran dana yang sama.
Pernyataan Amien itu bikin gerah Yudhoyono. Apalagi Amien juga mensinyalir adanya kandidat yang menerima aliran dana Washington. Yudhoyono merasa tudingan itu diarahkan ke dirinya. Dalam konferensi pers di halaman belakang Istana tiga pekan lalu, ia membantah tuduhan itu.
Yudhoyono mengatakan telah mengecek ke Jusuf Kalla dan mantan anggota tim kampanyenya tentang kebenaran aliran dana dari Departemen Kelautan. ”Tidak ada keterangan yang bisa menguatkan bahwa anggota tim kampanye SBY-JK menerima dana itu,” ujarnya.
Presiden juga menegaskan bahwa Fuad, Imam Addaruqutni, dan Blora Center bukan bagian dari tim kampanye SBY-JK. ”Saya persilakan untuk mengecek kepada sumber-sumber yang bersangkutan, karena saya ingin transparan dan terbuka untuk bisa kita ketahui duduk perkara yang sesungguhnya,” ia menambahkan.
MESKI Munawar Fuad tak tercantum dalam daftar tim kampanye nasional Yudhoyono-Jusuf Kalla, bukan berarti ia tak punya posisi. Di mana-mana Yudhoyono mengenalkan lulusan pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu sebagai staf khusus bidang sosial dan keagamaan.
Staf khusus adalah unit buatan Yudhoyono untuk membantunya berhubungan dengan berbagai kelompok masyarakat pada masa kampanye. Mereka biasanya menjadi pendahulu sebelum Yudhoyono datang. Anggota tim ini selain Fuad adalah Heru Lelono, Suko Sudarso, M. Lutfi, dan Joyo Winoto.
Hubungan Fuad secara pribadi dengan Yudhoyono juga cukup dekat. Ia mengaku sejak 1997 membantu Yudhoyono menyiapkan diri menjadi calon presiden. Menurut dia, Yudhoyono memang sudah jauh-jauh hari menyusun persiapan. ”Termasuk merekrut orang,” ia menambahkan.
Bersama Kurdi Mustofa, kini sekretaris pribadi Presiden, pada 1999 Fuad menjadi editor buku Yudhoyono, Mengatasi Krisis, Menyelamatkan Reformasi. Pada masa kampanye, ia menyusun buku SBY dan Islam serta 99 Alasan Memilih SBY Jadi Presiden. ”Pencetakan semua buku itu dibiayai Pak SBY,” ujarnya.
Satu hal yang masih diingat Fuad adalah ketika Yudhoyono mengeluhkan berbagai rumor miring tentang dirinya di Pesantren Tegalrejo, Magelang. Kepada para ulama se-Jawa Tengah dan Yogyakarta yang berkumpul di situ, menurut Fuad, Yudhoyono berkata, ”Jika ingin mengetahui lebih jauh tentang saya, silakan tanyak sama Dik Munawar Fuad.”
Yahya Ombara, mantan anggota tim kampanye SBY-JK, menyebut ada beberapa kelompok di sekeliling Yudhoyono tapi berada di luar tim resmi. Di antaranya staf khusus yang menurut dia baru dibakukan pada saat kampanye pemilihan presiden putaran kedua. Dalam putaran pertama mereka dikenal sebagai Tim Cikeas. ”Sering juga mereka disebut Tim Sirkus, karena mereka selalu berjejalan agar berada dekat-dekat SBY,” ujarnya dalam buku Presiden Flamboyan SBY yang Saya Kenal (lihat Yang Membuntut Sampai Toilet).
PERTANYAANNYA, apakah Rp 150 juta yang diterima Munawar Fuad itu untuk kepentingan kampanye Yudhoyono. Fuad menyatakan duit itu ia terima sebagai biaya survei masyarakat pesisir, yang ia garap bersama Rokhmin sejak 2000. Ia mengatakan uang diserahkan pada 11 Oktober 2004—hampir sebulan setelah pemilihan presiden putaran kedua. ”Itu artinya, tugas saya sebagai staf khusus calon presiden SBY sudah berakhir,” katanya.
Sumber Tempo menyebutkan bahwa Rokhmin berharap bisa bertahan di posisinya jika Yudhoyono menggantikan Megawati. Untuk itu, ia mencoba berbagai jalur agar bisa berhubungan dengan Cikeas, kediaman pribadi Yudhoyono. Di antaranya, ia berusaha memakai jalur Munawar Fuad itu.
Dalam pernyataan tertulis yang diberikan kepada Fuad setelah munculnya kasus ini, Rokhmin menyatakan bahwa uang itu murni untuk kegiatan profesional dan sosial. ”Tidak sama sekali dalam kapasitas beliau sebagai tim sukses SBY,” tulis Rokhmin dalam surat 12 Mei 2007.
Jejak orang dari lingkaran Yudhoyono juga tercatat pada 11 Juni 2004. Di situ tertulis ”Lunch Yasin/SBY” dengan nominal Rp 2 juta. Sumber yang mengetahui soal ini menyebutkan, Rokhmin dan Letjen Yasin ketika itu makan siang di sebuah restoran Jepang di kawasan Kota, Jakarta Pusat.
Dalam pertemuan itu, Yasin kabarnya meminta Rokhmin membantu Yudhoyono. Rokhmin menyatakan oke dan meminta Didi Sadili, yang ketika itu ikut makan siang, melanjutkan kesepakatan itu. Dalam pertemuan berikutnya, menurut si sumber, Didi menyodorkan Rp 150 juta kepada Yasin. Tapi duit itu dianggap ”tak nendang” dan langsung ditolak. Mantan Deputi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan itu kabarnya sempat menyatakan, ”Untuk pilihan lurah saja butuh Rp 1 miliar, masak Anda cuma ngasih Rp 150 juta untuk SBY.”
Yasin membantah informasi tersebut. Ia mengaku baru mengenal Rokhmin tatkala makan siang bersama itu. ”Saya tahu bahwa Pak Rokhmin adalah orang Mega Center, jadi saya nggak mungkin meminta dia membantu SBY,” ujarnya kepada Tempo. ”Lagi pula, saya juga bukan anggota tim sukses SBY.”
Seperti Munawar Fuad, nama Yasin memang tak tercantum dalam daftar tim kampanye Yudhoyono-Kalla. Tapi hampir semua politisi mafhum bahwa alumni Akabri 1973 itu adalah orang dekat Yudhoyono. ”Namanya sering terdengar di tim kami,” kata Yahya Ombara.
Jauh sebelum masa kampanye, Yasin telah menjadi penyokong utama Yudhoyono. Pada Oktober-Desember 2003, ia memimpin tim survei Kantor Menteri Koordinator Politik dan Keamanan untuk mengecek kesiapan pemilu di semua daerah. Meski tak ada pertanyaan tentang Yudhoyono, lawan-lawan politiknya curiga bahwa kuesioner yang dibagikan ke 26 provinsi itu dibuat untuk mengetes popularitas SBY.
Bersama Sudi Silalahi, ketika itu Sekretaris Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Yasin juga ikut menyusun konsep citra Yudhoyono. Di antaranya, ia ikut dalam pertemuan dengan McLeader, lembaga konsultan kampanye yang belakangan membidani kelahiran Blora Center. Hampir setahun setelah Yudhoyono menjadi presiden, ia pun ditunjuk menjadi Sekjen Dewan Ketahanan Nasional.
Yang agak aneh adalah munculnya Imam Addaruqutni dalam daftar penerima dana. Di sana Imam tercatat dengan nama Imam Doruqutni dan Tim SBY/Qudni. Nilai total yang disebut mengalir ke nama itu adalah Rp 225 juta. Kepada Tempo, Imam menyatakan tidak pernah bergabung dengan tim Yudhoyono. ”Sesiluman-silumannya saya, kalau saya bergabung ke tim SBY semua orang pasti tahu,” ujarnya.
Sahar L. Hasan, mantan wakil ketua tim kampanye SBY-JK, menyatakan tak pernah melihat Imam Addaruqutni bergabung ke timnya. Ia menyatakan, justru Nadjamudin Ramly, bawahan Imam di Pemuda Muhammadiyah, yang sering terlihat bersama Jusuf Kalla pada saat kampanye putaran kedua.
Nadjamudin tercatat turut menerima sebagian dana ilegal Departemen Kelautan. Tapi jumlahnya ”hanya” Rp 40 juta. ”Itu duit bantuan Pak Rokhmin untuk kuliah S-3 saya,” kata Nadjamudin, yang sedang umrah ketika dimintai konfirmasi Tempo.
Pada saat kampanye putaran kedua, Nadjamudin mengaku sebagai koordinator Pemuda Bhinneka Tunggal Ika, kelompok eksponen organisasi kepemudaan yang mendukung Yudhoyono-Kalla. Ia menyatakan sering ikut rombongan Kalla karena diundang.
DI sel tahanan Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI, Rokhmin hanya bisa mendengar ingar-bingar bantahan para penerima dana dari media massa. Semula ia berharap pengakuan para penerima dana bisa menepis tuduhan bahwa ia korupsi.
Teman bergaul Rokhmin kini adalah tahanan lain seperti Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan HAM Zulkarnaen Yunus, mantan Direktur Utama Garuda Indra Setiawan, dan Bupati Kendal Hendy Boedoro. Sel tahanan itu dihuni 86 orang meski kapasitasnya hanya untuk 30 orang.
Kepada Tempo, Jumat pekan lalu, guru besar Institut Pertanian Bogor itu berujar, ”Kini saya menyadari, kita memang tidak bisa berharap mendapat dukungan tulus dari politisi.”
Budi Setyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo