Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dugaan pungutan liar di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang itu disampaikan seorang keluarga narapidana.
Kepala Lapas Tangerang masih berfokus menangani narapidana yang menjadi korban kebakaran.
Pungutan liar di dalam penjara sudah menjadi rahasia umum.
TANGERANG – Dugaan pungutan liar di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang muncul setelah tragedi kebakaran yang menewaskan 47 narapidana. Dugaan itu paling tidak disampaikan oleh Angel, bibi dari Petra Eka Suhendar alias Ectus, narapidana yang ikut menjadi korban dalam tragedi tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ectus menjadi narapidana karena tersangkut perkara narkotik. Ia diganjar hukuman 6 tahun 8 bulan penjara. Ectus sudah menjalani hukuman selama 4 tahun 6 bulan di Blok Chandiri 2.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama keponakannya berada di Lapas Tangerang, Angel rutin mengirim uang kepada Ectus. Setiap bulan, ia selalu mentransfer Rp 500 ribu. “Katanya biaya untuk sewa kamar,” kata perempuan berusia 41 tahun itu, Ahad lalu. Uang itu ditujukan ke rekening Saripah dan Siti Baruroh secara bergantian. “Saya tidak tahu apakah itu petugas ataukah tahanan pendamping di sana.”
Beberapa bulan lalu, kata Angel, Ectus mendapat potongan harga sewa kamar menjadi Rp 300 ribu. Potongan itu diberikan karena Ectus dipindahkan sementara keluar dari Blok C2 karena terjangkit Covid-19. Keponakannya harus menjalani isolasi di kamar khusus.
Suatu kali, kata Angel, Ectus meminta dikirimi duit Rp 1,5 juta. Ectus mendapat tawaran pembebasan bersyarat dari seorang petugas lapas. Petugas itu akan membantu jika uang sudah ditransfer. Tanpa pikir panjang, Angel buru-buru mengirim uang tersebut. Namun, setelahnya, petugas itu tidak pernah terlihat lagi. Belakangan, Ectus mendapat kabar bahwa petugas itu ternyata sudah dimutasi ke tempat lain. “Kami tertipu,” kata perempuan yang tinggal di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan, itu.
Angel juga masih ingat ketika suatu pagi Ectus meneleponnya sambil menangis. Ectus mengatakan bakal dipindahkan ke lapas di Palembang, Sumatera Selatan. Ia bisa tetap tinggal di Lapas Tangerang asalkan membayar Rp 5 juta. Angel pun kebingungan. “Mana ada uang segitu (Rp 5 juta) subuh begini,” kata Angel, mengulangi ucapannya kepada Ectus. “Lalu saya bilang, ‘Tante hanya ada Rp 1 juta. Coba Ectus bilang ke petugasnya’.”
Tak lama kemudian, Ectus mengabarkan bahwa petugas bersedia menerima uang Rp 1,5 juta itu. Ectus meminta Angel segera mengirimkan uang tersebut. “Ya, akhirnya dia tidak jadi dipindah,” ujar Angel.
Gerbang Lapas Dewasa Tangerang Klas 1 A di Tangerang, Banten, 8 September 2021. TEMPO/Magang/Daniel Christian D.E
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, mengatakan pungutan liar di dalam penjara sudah menjadi rahasia umum. “Pungli ini sering terjadi dan sistemik,” kata Asfinawati ketika dihubungi, kemarin.
Ia mencontohkan, urusan penempatan kamar tahanan di dalam lapas saja sudah ditentukan dengan rupiah. Ibarat hotel, semakin banyak duit yang disetorkan, semakin bagus pula kamar tahanan yang didapat. “Salah satu klien kami pernah tidak dipindah ke kamar karena tidak bayar,” kata Asfinawati. Namun ia tidak bersedia menjelaskan secara detail ihwal kliennya itu. Asfinawati menduga uang pungutan liar di dalam lapas mengalir hingga ke pejabat atas. “Cuma kamu tidak tahu sampai mana. Buktinya, praktik seperti ini merata dan aman-aman saja.”
YLBHI mendesak pemerintah agar berupaya keras menghapus praktik suap dan pungutan liar di dalam penjara. Salah satunya dengan mengusut aliran duit haram tersebut mengalir sampai mana saja.
Cara kedua, mendesak petugas hingga kepala lapas melaporkan harta kekayaannya. Menurut Asfinawati, pengawasan ketat terhadap harta kekayaan bisa menekan risiko tindakan pungutan liar di balik penjara.
Sementara itu, Kepala Ombudsman Banten, Dedy Irsan, mempersilakan keluarga korban yang menjadi korban pungutan liar melapor kepada Ombudsman. Menurut Dedy, Ombudsman berkomitmen mengusut permasalahan pungutan liar di instansi mana pun. “Pungli termasuk tindakan pelanggaran administrasi,” kata Dedy.
Dalam dua tahun terakhir, kata Dedy, Ombudsman Banten belum pernah menerima laporan atau aduan dari masyarakat ihwal praktik pungutan liar di Lapas Tangerang. Karena itu, Dedy berharap keluarga korban bisa melaporkan dugaan pungutan liar kepada Ombudsman. “Ombudsman akan menindaklanjuti laporan sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan yang ada pada kami,” ujar dia.
Adapun Kepala Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, Viktor Teguh Prihantoro, belum bersedia menanggapi tuduhan pungutan liar yang terjadi di penjara yang ia pimpin. Dia menyebutkan belum bisa mendalami tuduhan tersebut. “Konsentrasi kami adalah menyegerakan proses identifikasi dan mengantarkan jenazah ke keluarganya,” kata Viktor kepada Tempo, Ahad lalu.
AYU CIPTA | INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo