Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Ilusi-ilusi Seorang Juggler

Cinematique karya Adrien Mondot dan Claire B. dari Prancis adalah pentas terbaik yang disajikan di Indonesian Dance Festival lalu. Panggung menyuguhkan permainan digital yang menyenangkan mata.

18 Juni 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Garis-garis digital yang disemprotkan ke lantai panggung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, pada 7 Juni lalu itu bergerak. Adrien Mondot dan Satchie Noro kemudian berjalan maju dan mundur layaknya berjalan di atas eskalator datar. Begitu nyata.

Tak lama, mereka melompat masuk ke sebuah lorong digital hitam yang diterangi dinding-dinding elektronik. Seperti masuk gua yang penuh stalaktit, mereka melompat, menggapai-gapai, menyentuh ujung-ujung stalaktit-stalagmit itu. Hingga mereka berhenti dan layar panggung menjadi putih, pasi. Tiba-tiba di panggung tercipta semacam rakit, biduk. Mereka mendayung dan Cinematique pun dimulai.

Sedari awal, karya ini memukau penonton. Adegan berikutnya, Mondot memainkan tiga bola di tangan seperti layaknya seorang juggler di sirkus. Ia bergerak masuk ke garis yang menjelma jadi tirai-tirai elektronik. Tangannya bergerak seperti menghapus garis. Tirai itu memendarkan cahaya. Dan pendar cahaya berubah jadi seperti hujan meteor. Ia seperti diguyur hujan.

Cahaya-cahaya lalu memunculkan tulisan "Satchie?". Mondot terlihat memegang senter. Dengan gerak yang lentur, Mondot memainkan tulisan itu dengan senternya. Ajaib, kemudian keluar ribuan huruf, seperti asap yang mengepul, membentuk lingkaran besar yang menggulung bak topan tornado, mengisap Mondot.

Yang mencengangkan adalah ketika huruf-huruf itu memendar dan menciptakan suatu bentuk dinding yang kokoh. Mondot mundur ke belakang dinding itu. Ia berdiri sejenak sambil memandanginya. Ia kemudian seperti melemparkan sesuatu ke dinding itu dan edan… dinding huruf puisi itu langsung rontok. Dinding bolong dan hurufnya bertaburan, bertebaran di panggung. Satchie kemudian masuk memainkan taburan huruf ini. Huruf-huruf itu diciprat-cipratkan seperti ia bersenang-senang dengan air. Huruf-huruf itu kemudian bergerak melingkupi penari Prancis ini.

Mondot lalu seolah-olah menyorotkan senternya sekali lagi ke arah huruf-huruf, dan kumpulan huruf itu masuk ke dalamnya. Keduanya lalu memainkan bola-bola sebesar bola tenis itu. Seperti pemain akrobat, mereka bergerak dalam ritme yang sama dengan posisi berbanjar. Mereka menjaga bola agar tak jatuh sambil terus bergerak dalam posisi berbaring. Saat bola jatuh, saat itu pula pertunjukan usai.

Para seniman dari Prancis ini menyuguhkan koreografi berbasis teknologi multimedia. Gerak koreografi mereka mungkin sederhana: berjalan, berguling, melompat, melenting, dan menggerak-gerakkan tangan seperti mencipratkan air atau menulis. Tapi kita lihat dituntut presisi tinggi bagi tubuh mereka untuk berinteraksi dengan garis-garis maya itu. Tubuh mereka harus secara tepat menyesuaikan diri dengan ilusi-ilusi visual itu. Sekali meleset, pasti pentas akan jelek.

Lihatlah bagaimana Satchie bergerak melambat seperti kehilangan tulang penopang dan melebur dalam "air kolam" jadi-jadian itu. Atau saat Satchie melompat di "bebatuan" yang disusun Adrien Mondot. Penonton seperti terseret dalam ilusi permainan proyeksi digital yang interaktif dan menyenangkan mata.

Adrien Mondot sejatinya adalah ahli informatika dan juggler. Dia menggabungkan ilmu informatika dengan seni keterampilan juggling—atraksi permainan bola sebesar bola tenis yang dipelajarinya di jalanan, sebuah keterampilan kuno seorang badut sirkus. Koleganya, Claire Barbane, adalah seniman visual, desainer grafis, dan skenografer. Dia memfokuskan diri pada keahlian visual yang mencari hubungan antara tanda dan ruang.

Keduanya berkolaborasi menciptakan sebuah "tari". Meski beberapa penonton bertanya, apa arti tubuh dalam kecanggihan digital demikian, mereka menyuguhkan sesuatu yang berharga pada Indonesian Dance Festival. Sesuatu yang sampai saat ini tak pernah disajikan dan terpikirkan oleh koreografer kita.

Dian Yuliastuti, Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus