Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pasang-Surut di Lembaga Pemikir

Ali Moertopo turut menggagas pendirian lembaga pemikir Centre for Strategic and International Studies. Pengaruhnya terhadap Orde Baru memudar seiring dengan renggangnya hubungan Ali dan Soeharto.

14 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Abdul Rachman Ramly menyapu seratusan tamu yang duduk di hadapannya dengan matanya. Dari atas podium, dia melontarkan senyum. Sebagian hadirin sudah dia kenal lebih dari empat dekade. "Kita semua berkumpul di sini untuk mengenang Pak Ali," kata Ramly pada malam itu, Senin, 2 September lalu. Keheningan menyaput ruang pertemuan itu selama beberapa jenak.

Malam itu, mereka berkumpul untuk merayakan hari jadi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang ke-42. Acara itu sekaligus merupakan syukuran atas gedung baru CSIS di Jalan Tanah Abang III, Jakarta Pusat. Sejumlah tokoh nasional, seperti Try Sutrisno, Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, dan Wiranto, hadir. "Tugas utama CSIS adalah menyampaikan pikiran-pikiran Pak Ali demi negara," ujar Ramly melanjutkan sambutannya.

Ali Moertopo tercatat sebagai salah satu pendiri dan anggota dewan kehormatan lembaga tersebut. Ramly, mantan perwira Operasi Khusus, pernah menjadi bawahan Ali. Banyak menjalankan misi di luar negeri, Ramly antara lain terlibat dalam operasi mengakhiri konfrontasi Indonesia-Malaysia. Dia pun pernah menjadi deputi kepala perwakilan diplomasi Indonesia di Singapura.

Gagasan mendirikan CSIS muncul setelah Jusuf Wanandi dan kawan-kawan bertemu dengan Soeharto, tak lama sesudah pelantikannya sebagai Presiden RI kedua pada 1968. Saat itu, Jusuf dikenal sebagai tokoh aktivis anti-Partai Komunis Indonesia.

Jusuf menawari Soeharto membentuk think thank—lembaga pemikir—untuk membantu dia menjalankan pemerintahan baru. Soeharto menyambut gagasan itu—bahkan mengusulkan lembaga itu masuk struktur pemerintahan. Jusuf dan kawan-kawan memilih mendirikan lembaga "independen" di luar pemerintah. "Agar bebas meneliti dan menyampaikan pendapat," kata Jusuf kepada Tempo, September lalu.

Turut berperan menaikkan Soeharto ke kursi presiden, Jusuf dan kawan-kawan toh menyadari tak selalu mudah bagi orang sipil untuk menyumbangkan gagasan kepada Soeharto, yang kental dengan watak militer. Mereka pun menggandeng dua asisten pribadi Soeharto, Ali Moertopo dan Soe­djono Hoemardani, sewaktu mendirikan CSIS pada 1 September 1971. "Kami think-nya, Pak Ali dan Pak Djono sebagai thank-nya," ujar Jusuf sembari tertawa.

Pilihan itu ternyata jitu. Ali tidak hanya menjadi pelindung bagi lembaga kajian itu. Dia juga memberikan banyak "kemudahan" agar CSIS bisa berkembang. Di masa-masa awal, Ali kerap membantu mencari dana untuk menutupi biaya operasional dan kegiatan penelitian. Caranya kadang tidak langsung. Ali cukup meminta tolong kalangan pengusaha yang dekat dengan pemerintah. "Tolong dibantu," itulah kata-kata sakti Ali ketika meminta bantuan pengusaha.

Ali juga sempat mengizinkan rumahnya di Jalan Kesehatan III, Jakarta Pusat, menjadi kantor pertama CSIS. Tiga tahun kemudian, CSIS baru bisa berkantor di Jalan Tanah Abang III. Sebelum menjadi kantor CSIS, rumah nomor 27 di Jalan Tanah Abang III itu sering menjadi pusat kegiatan berbagai lembaga yang terkait dengan Golkar.

Misalnya Badan Pemenangan Pemilu Golkar dan Komite Nasional Pemuda Indonesia. Kebetulan, pendiri CSIS pun banyak yang aktif di Golkar. "Banyak orang terkecoh dalam memahami hubungan CSIS dan Golkar," kata salah satu pendiri CSIS, Harry Tjan Silalahi.

Dengan Ali sebagai penghubung, berbagai gagasan dan hasil analisis peneliti CSIS, terutama di bidang politik, relatif mudah dicantolkan ke dalam kebijakan Orde Baru. Diminta atau tidak, Jusuf Wanandi rutin mengirimkan "memo" berupa analisis atas berbagai perkembangan politik langsung ke ruang kerja Soeharto. Ali juga aktif menimba dan menyumbangkan gagasan dalam berbagai pertemuan di CSIS.

Salah satu pendiri lembaga itu, Daoed Joesoef, menyebut Ali sosok yang gemar belajar. Dia amat agresif mengajukan pertanyaan dan kerap mengajak para peneliti berdebat. Biasanya, Ali suka datang pada akhir pekan dan baru pulang setelah larut malam. Bila sudah berdiskusi, menurut Daoed, Ali seperti dialiri energi baru.

Untuk menghindari perdebatan dengan Ali, Daoed kadang sampai mengunci dan mematikan lampu ruang kerjanya. "Saya tahu banyak teman juga bersembunyi di perpustakaan untuk mengelak dari 'gangguan' Pak Ali," tutur Daoed kepada Tempo dalam memoarnya.

Memasuki 1980-an, hubungan Ali dan Soeharto merenggang. Ini setali tiga uang dengan hubungan CSIS dan pemerintah Orde Baru: kian berjarak. Pada titik terburuk, Ali dan CSIS pernah dituduh berkomplot menjatuhkan Soeharto. Setelah Ali meninggal, "pengucilan" atas CSIS berlanjut. Pada 1992, misalnya, CSIS dilarang menghadiri pembukaan pertemuan puncak Gerakan Nonblok. Mereka juga dilarang menghadiri pertemuan pemimpin negara anggota Asia-Pacific Economic Cooperation atau APEC pada 1994.

Dalam memoar politiknya, ­Shades of Grey, Jusuf menuturkan, para menteri diminta tak berhubungan dengan mereka. Para jenderal yang pernah dekat dengan CSIS pun mulai menjaga jarak. Di masa-masa sulit itu, muncul desas-desus bahwa CSIS akan segera mati karena kehilangan pelindung. Faktanya, hingga kini CSIS terus bertahan. "Kami tak bergantung pada individu tertentu. Lembaga ini didirikan bukan untuk mengidolakan tokoh tertentu," ujar Daoed.

Toh, nama Ali Moertopo akhirnya diabadikan sebagai nama satu ruangan di lantai dua gedung baru CSIS. Ruangan Ali bersanding dengan ruangan Soeharto dan Soe­djono Hoemardani. "Kami tetap ingin mengenang jasa mereka di sini," kata Harry Tjan Silalahi. Harry seolah-olah bernostalgia saat mengajak wartawan Tempo berkeliling menengok ruangan-ruangan itu pada awal September lalu.


My Country, My President

Ali Moertopo banyak memberikan masukan bagi arah kebijakan politik Presiden Soeharto. Pandai membaca situasi, jernih menganalisis persoalan, dan jitu merancang taktik untuk kepentingan sang Presiden. Itulah kelebihan Ali di mata teman-teman dekatnya.

Jejak pemikiran Ali itu bisa dilacak pada buku Strategi Pembangunan Nasional. Buku ini ibarat pintu gerbang bagi siapa pun yang ingin memahami landasan dan orientasi kebijakan pemerintahan Orde Baru. Gagasan pemikiran di dalamnya membentang luas, dari persoalan ideologi berbangsa, analisis kondisi masyarakat, sampai strategi kebudayaan. Konsep yang lebih praktis, seperti peleburan partai politik, tata hukum, dan fungsi ganda Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dikupas dalam buku ini.

Semua gagasan itu merupakan antitesis terhadap Orde Lama. Rezim yang bertumpu pada figur Sukarno itu dianggap menyeleweng dari cita-cita kemerdekaan dan gagal menjamin rasa aman. Ali bahkan menuding perselingkuhan Sukarno, lewat ideologi Nasakom, dengan kekuatan Partai Komunis Indonesia sebagai pemicu lahirnya tragedi 1965. Dalam latar sejarah itulah Ali menawarkan pemaknaan ulang ideologi Pancasila dalam praktek bernegara.

Gerakan untuk mengamalkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen—frasa yang pernah sangat populer di sepanjang masa Orde Baru—dalam uraian buku ini punya pijakan cukup dalam. Ali tidak semata memaknainya sebagai norma fundamental dan sistem nilai dalam bernegara. Pancasila, sebagai basis ideologi, mencakup juga pemikiran filsafati yang terkait dengan kajian ontologi (hakikat keberadaan manusia) dan kajian eksistensialisme (relasi subyek di hadapan obyek).

Pembahasan tentang Pancasila pun tidak berhenti pada pendekatan ilmiah. Pada bagian-bagian akhir, perspektif ideologis itu ia hadirkan kembali untuk mendelegitimasi sisa-sisa kekuatan Orde Lama dan menggalang dukungan aksi tumpas kelor kekuatan PKI. Sejarah mencatat, gerakan ini mendapat dukungan luas dari masyarakat dan berakhir dengan diterbitkannya Ketetapan MPRS tentang Ketertiban dan Keamanan Masyarakat, yang jadi dasar untuk mengikis habis kekuatan PKI.

Pada titik itulah Ali mulai memperkenalkan konsep peran ganda ABRI. Tugas ABRI dalam menjamin stabilitas pertahanan dan keamanan sejak itu bermain di dua kaki: sebagai aparatur pemerintah dan wakil di parlemen. Rekayasa pembangunan itu juga ditopang oleh perombakan struktur ketatanegaraan, dengan menjadikan Golkar sebagai lokomotif pembangunan. Itulah, kata Ali, prasyarat akselerasi, percepatan proses modernisasi.

Sekalipun demikian, Ali meyakini proses modernisasi tidak cukup diselesaikan lewat revitalisasi ideologi dan kelembagaan negara. Kebijakan pemerintah tetaplah perlu mempertimbangkan kondisi-kondisi obyektif yang berkembang dalam masyarakat. Potensi sumber kekayaan alam, karena itu, perlu diinventarisasi. Begitu pula dengan kondisi demografi, struktur perekonomian, serta faktor-faktor strategis yang terjadi di dalam dan luar negeri.

Khazanah pemikiran buku ini pernah dijadikan kertas kerja Presiden Soeharto saat menghadiri rapat paripurna di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 1973. Sejak itu, buku ini dijadikan cetak biru sebagai model Strategi Pembangunan Jangka Panjang.

Buku yang terbit pada 1972 ini mengalami revisi besar-besaran pada 1981. Bagian awal buku ini tetap dipertahankan. Pada edisi revisi, Ali memperlebar topik bahasannya yang meliputi problem strategi pembangunan nasional, lembaga negara dalam Orde Baru, Pemilihan Umum 1971, pembinaan kehidupan politik, strategi kebudayaan, dwifungsi ABRI, pembinaan hukum, dan kerja sama internasional.

Tentu banyak yang ragu jika buku dengan bobot akademis ini dibuat oleh tentara yang hanya lulus bangku sekolah dasar. Ide penulisan buku ini sejatinya merupakan sari pati pemikiran Ali yang tertuang dalam berbagai ceramah, diskusi, dan wawancara. Semua bahan tersebut lantas dikembangkan oleh sejumlah ilmuwan yang tergabung dalam Centre for Strategic and International Studies.

Pendiri CSIS, Harry Tjan Silalahi, mengakui kajian buku ini tidak bisa dikerjakan Ali seorang diri. Sebagai orang yang pragmatis, Ali memerlukan dukungan para cendekiawan untuk bekerja sama dan bertukar pikiran.

Bila dalam politik praktis sepak terjang Ali kadang menyimpang dari konsep ideal yang dirancangnya, itu bisa jadi tak terlepas dari sikap pragmatisnya. "Pak Ali itu penganut paham politik right or wrong is my country," kata Harry. "Bagi dia, my country sama dengan my president."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus