Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SABTU, 11 Februari lalu, dengan tas punggung dan topi rimba, Philipus Dellian Agus Raharjo atau akrab dipanggil Pippo Agosto menyambangi kompleks pemakaman Bergota, tak jauh dari Simpang Lima, Kota Semarang. Langkah kakinya terhenti di depan batu nisan beraksara di antara ratusan jajaran batu nisan. Lokasinya berada di bawah rimbunan pepohonan dan rumpun bambu di tanah yang agak miring. Tak jauh dari petilasan Pangeran Puger.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Batu nisan makam atau bongpay yang ia temui saat itu sudah terbelah. “Mungkin tertimpa batang pohon yang jatuh," ujar Pippo kepada Tempo, Kamis, 23 Februari lalu. Kondisi nisan yang terbelah itu menyulitkannya mengidentifikasi pemilik nama makam tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari sisa tulisan yang tersisa, ia menaksir usia pembuatan makam tersebut dan marga si empunya makam. "Masih terbaca tahunnya: 1723 Masehi, tahun kelinci, dari marga Yap (Yap…Goan)," ujarnya. Sementara itu, nama depan di nisan itu tak terbaca karena berada pada patahan bongpay. Bentuk bongnya pun sederhana, "miskin" ornamen. Makam itu dibangun oleh keturunannya, dua anak laki-laki bernama Zhen atau Tin atau Chin dan Gai atau Kai.
Pemakaman Tionghoa di kawasan Karanggawang, Semarang, 22 Januari 2023/Dok. Pippo Agosto
Bongpay itu, kata Pippo, bukan satu-satunya makam Cina tua yang ada di permakaman Bergota. Dia memperkirakan ada sekitar 20 makam serupa di kompleks tersebut. Salah satunya berada di dekat makam Habib Assegaf. Makam-makam itu kondisinya bervariasi, ada yang masih terawat dan ada yang beberapa terbengkalai tertutup tanaman liar. Ada pula yang terpendam tanah atau hancur tertimpa pohon.
Lokasi makam yang berdampingan dengan permukiman warga juga menyebabkan bangunan telah beralih fungsi. "Kondisinya bervariasi, ada yang sudah jadi fondasi rumah, ada yang sudah jadi anak tangga, yang utuh juga ada," ucap pria 40 tahun itu.
Aktivitas keluar-masuk permakaman tersebut telah Pippo jalani dalam tiga tahun terakhir. Awalnya dia mengunjungi mausoleum permakaman keluarga Thio Sing Liong, warga Semarang yang memiliki usaha ekspor-impor. Mausoleum itu berada di Jalan Sriwijaya, Kota Semarang. Makam di dalamnya berbalut marmer utuh yang didatangkan langsung dari Genoa, Italia.
Menurut Pippo, makam keluarga itu tergolong baru. Dia memperkirakan makam tersebut dibangun pada abad ke-20. Kondisinya juga megah dan terawat karena keturunan keluarga yang dikebumikan di sana masih ada. "Waktu itu saya belum mencari makam kuno. Hanya jalan-jalan lihat makam yang unik," ucapnya.
Mausoleum pemakaman keluarga Thio Sing Liong di Jalan Sriwijaya, Semarang/Tempo/Jamal Abdun Nashr
Pippo lantas mengunggah kunjungannya di mausoleum itu di media sosial. Unggahannya tersebut kemudian mempertemukan Pippo dengan Bram Luska untuk pertama kali. Bram meminta Pippo menemaninya kembali mengunjungi mausoleum.
Bram mengatakan ia menemukan batu nisan bertulisan aksara Cina di Tlogorejo, Kota Semarang. Bram meminta Pippo mengidentifikasi batu nisan temuannya tersebut. "Karena dia tidak bisa membaca, saya yang diminta membaca," tutur Pippo. Berbekal kemampuan bahasa Jepang dan menguasai huruf Cina, ia pun membaca nisan-nisan tersebut. Kebetulan hurufnya menggunakan gaya tradisional. Hal itu memudahkannya mengidentifikasi informasi dari bong dan bongpay tersebut.
Saat Tempo melihat bong di Sriwijaya tersebut, terlihat kompleks makam ini cukup terawat dengan halaman yang ditumbuhi rumput. Di sela-sela rumput terpasang ubin berbentuk persegi mengarah ke pintu bangunan dan prasasti. Sisi depan bangunan diteralis besi. Di dinding atasnya terdapat tulisan Mandarin, sedangkan atap bangunannya berbahan beton dengan bentuk melengkung. Prasastinya terlihat berada di ujung halaman sebelah kanan bangunan. Adapun di belakang bangunan makam terdapat nisan dengan pahatan bertulisan Mandarin. Di bagian belakang terdapat jalan masuk ke mausoleum yang semua pintunya terkunci.
Pippo dan Bram lantas menjadi teman seiring-sejalan. Mereka rutin berburu makam tua di Kota Semarang. Pippo mengaku hampir rutin tiap pekan blusukan mencari makam kuno. Sejumlah daerah pernah mereka datangi. Di Semarang barat mereka mendatangi Kelurahan Simongan di sekitar Kelenteng Sam Poo Kong. Sementara itu, di wilayah Semarang timur mereka mengunjungi Kedungmundu.
Ia bersama beberapa anggota komunitas Graveyard menelusuri makam Cina kuno di Semarang untuk mengetahui sejarah masa lalu dan leluhur keturunan Tionghoa yang pernah tinggal di Semarang melalui jejak makam mereka. Selama ini, ujar Pippo, sebagian besar orang melihat jejak keturunan Tionghoa di suatu wilayah hanya dari bangunan tempat ibadah dan permukimannya. "Orang tahunya Semarang tentang Tionghoa hanya Pecinan lalu kelenteng. Soal makam belum ada yang tertarik ke situ," katanya.
Selama hampir tiga tahun berburu, Pippo mengaku telah menemukan ratusan makam kuno. "Kalau bong atau makam hampir seratus. Kalau bongpay atau batu nisan lebih dari seratus," tuturnya. Ada yang ditemukan di pinggir jalan, dekat di perkampungan, kompleks makam tua, dan lainnya.
Ratusan kuburan tersebut kondisinya beragam, ada yang masih terawat dan ada banyak yang terbengkalai ditumbuhi semak belukar. "Ada yang tulisannya masih jelas terbaca. Ada yang sudah tidak terbaca karena aus lantaran cuaca," tuturnya.
Altar Dewa Bumi tanpa tulisan di makam cina di Karanggawang, Semarang, 8 Januari 2023/Dok. Pippo Agosto
Beberapa lokasi makam yang berdampingan dengan permukiman warga juga menyebabkan makam beralih fungsi. Di jalan-jalan kampung dan gang sempit di daerah Mrican, Jomblang, Cinde, Tandang, Lampersari, serta Sendangguwo dijumpai pula banyak bantu nisan dan sisa ornamen. Ada yang terawat dengan cara dicat, ada pula yang menjadi penutup selokan dan jalan titian atau penggilasan cucian. "Kondisinya bervariasi, ada yang sudah jadi fondasi rumah, ada yang sudah jadi anak tangga, yang utuh juga ada," kata pria 40 tahun itu.
Dari foto yang diunggah di media sosialnya, saat tahun baru Imlek, Januari lalu, ia bersama kawannya, Fajri dan Wan Fajar, blusukan ke daerah Karanggawang, Semarang timur. Sebagian besar bong atau kuburan Tionghoa ini sudah direlokasi untuk dijadikan kawasan perumahan, niaga, dan pendidikan. Ada yang masih belum direlokasi tapi dibiarkan begitu saja. Mereka melanjutkan penjelajahan ke daerah Sendang Asri Raya hingga Pemakaman Krutuk yang tak jauh dari Universitas Muhammadiyah Semarang.
Mereka menjumpai singa batu atau shishi yang kepalanya bergaya shishi Tiongkok selatan, tapi badannya bergaya singa Eropa. Mereka juga menemukan siupan atau peti jenazah khas Tiongkok yang berbentuk bunga cengkih. Petinya terbuka, tak ada jenazah atau sisa tulang, hanya sisa kain lapuk dan ditemukan benda semacam paku penutup peti yang beratnya sekitar satu kilogram.
Dari penelusuran makam, Pippo menyebutkan dapat diidentifikasi sejak kapan imigran keturunan Tionghoa tinggal di suatu daerah. Dari tulisan di nisan itu bisa diketahui tahun, sio saat pemakaman, dan marga orang yang dimakamkan. Sebagian besar makam yang ditemukan berasal dari abad ke-18 hingga ke-19 Masehi. "Masa-masa Kaisar Guangxu dari tulisan di batu nisan, Dinasti Qing. Dinasti terakhir sebelum berubah menjadi republik," ujarnya. Ia menuturkan, mungkin mereka adalah loyalis Dinasti Ming yang keluar dari Cina saat terjadi peperangan.
Mausoleum pemakaman keluarga Thio Sing Liong di Jalan Sriwijaya, Semarang/Tempo/Jamal Abdun Nashr
Pippo mengaku pernah dihubungi oleh seseorang dari Denmark. Orang tersebut mengaku keturunan Goei Poen Kong yang makamnya mereka temukan di Srinindito, Kota Semarang. Keturunan Goei Poen Kong yang ada di Semarang ataupun di Denmark mengetahui makam leluhur mereka dari unggahan media sosial Pippo dan Bram.
"Mereka bilang itu leluhurnya dan berterima sudah dikunjungi," katanya menirukan ucapan keturunan Goei Poen Kong tersebut.
Ketika ditemukan, makam tersebut kondisinya terbengkalai pada 2021 lalu. Akses ke makam tersebut juga melewati jalan setapak di tengah permukiman. "Waktu kami temukan kondisinya banyak sampah," ucapnya.
Bersama Bram Luska, berbekal peta 1908-1909 di masa Hindia Belanda, dari pengalaman penemuan makam-makam kuno Tionghoa ini, mereka memetakan sebaran bong-bong itu. Pippo menjelaskan, pencarian tinggal mencocokkan dengan keterangan pada peta zaman VOC dan Hindia Belanda yang ada di lokasi. Ada yang masih bertahan, tapi ada pula yang tak utuh lagi karena lahannya beralih fungsi.
Persebaran itu terdapat di perbukitan barat, tengah, dan timur. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mereka mengidentifikasi persebaran bong. Di perbukitan barat ditemukan bong bertarikh tua sekitar abad ke-16. Makin ke tengah dan timur, tarikhnya lebih muda.
Perbukitan barat hingga timur antara lain dari Gunung Mlaya, Gunung Kadut, Gunung Jatiwayang atau Srinindito, Gunung Wadan (Ngemplak Simongan), Gunung Stonen, Tumpang, Penggiling, Karangkumpul, Karangkempel, Gunung Petompon, Trenggulun, Gunung Sawo, Gunung Brintik, Bergota, Mugas, Gergaji, Gunung Pandan, hingga daerah Gunung Cinde, Lamper Tengah, Gunung Alap-alap, Gayamsari, Jurubanteng, dan beberapa tempat lain. Pippo menyebutkan beberapa daerah belum ada dalam peta kuno tersebut, tapi juga terdapat sejumlah temuan.
Peneliti situs Kapitan Lim di Lasem dan budaya Tionghoa, Agni Malagina, mengatakan apa yang dikerjakan Pippo cukup untuk mengidentifikasi kapan suatu makam didirikan atau dipugar dan mengidentifikasi nama mendiang yang dimakamkan, termasuk asal daerahnya di Tiongkok. Penjelasan juga memuat nama anak atau keturunan berikutnya. “Yang disampaikan Mas Pippo dengan berbagai ornamen cukup lengkap," katanya.
Ihwal marga, ucap dia, asal dan marga di Tiongkok sangat tersebar dan beragam. Namun, jika dihubungkan dengan diaspora Tionghoa di Semarang, kebanyakan marga berasal dari Guangdong atau Fujian. ”Mayoritas dari sana, ya,” ujarnya.
Kuburan Tionghoa di kawasan Karanggawang, Semarang, 22 Januari 2023/Dok. Pippo Agosto
Berdasarkan data yang dilihat dari dokumentasi Pippo, sulit memperkirakan kedatangan mereka. Bisa jadi yang dimakamkan adalah totok yang datang dari Tiongkok lalu meninggal di Semarang atau bisa jadi keturunannya, semacam generasi kedua atau ketiga. Namun nisannya menggunakan sistem rancang-bangun nisan Tiongkok.
Indonesianis asal Prancis, Claudine Salmon, menulis buku berjudul Loyalis Dinasti Ming di Asia Tenggara: Menurut Berbagai Sumber Asia dan Eropa. Salmon meneliti pengaruh peradaban dan budaya Cina di Asia Tenggara dari periode peralihan kekuasaan di Cina dari Dinasti Ming ke Dinasti Qing. Menurut dia, pada pertengahan abad-17, sejumlah pendukung Dinasti Ming memilih menyelamatkan diri ke luar negeri akibat situasi sosial-politik.
Ini terjadi beberapa saat sebelum dan setelah terjungkalnya Dinasti Ming oleh bangsa Manzu yang kemudian mendirikan Dinasti Qing. Mereka tidak saja memberikan guncangan hebat di Cina, tapi juga pengaruh signifikan bagi masyarakat Asia Tenggara yang menampung pelarian yang dinamakan loyalis Ming ini. Ia memaparkan dengan teliti berbagai strategi para loyalis tersebut yang didapat dari berbagai sumber di Asia dan Eropa, seperti kisah perjalanan, catatan perniagaan, silsilah keluarga, prasasti, peta, gambar kuno, temuan arkelogis, dan riset tokoh utama di Melayu. Menurut Salmon, para imigran ini terdiri atas mantan pejabat, pedagang, cendekiawan, dan biksu.
Adrianus Waworuntu, sejarawan dan mantan Ketua Program Studi Cina Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, menjelaskan, buku Salmon ini sangat kuat sumbernya dari berbagai bahasa dan sumbangan besar untuk historiografi Asia Tenggara yang mengisi kekosongan sejarah Indonesia, terutama di awal masa kolonialisme.
Nisan yang telah patah atau dipatahkan di kawasan Bergota, Semarang, 26 Januari 2023/Dok. Pippo Agosto
Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah hingga saat ini belum mempunyai data tentang makam-makam atau nisan kuno Tionghoa di Semarang. Mereka baru mempunyai data di beberapa tempat, itu pun tidak sedetail yang ditemukan Pippo. Pamong Budaya Ahli Muda BPCB Jawa Tengah, Bagus Ujianto, menjelaskan, makam tua Cina termasuk benda atau situs cagar budaya yang dilindungi.
Namun hingga saat ini belum ada data tentang makam kuno di Semarang. Ada pendataan tentang makam tua di Cilacap guna diinventarisasi untuk pendaftaran obyek yang diduga cagar budaya dan studi teknis untuk makam kuno Belanda dan Cina. “Bongnya ada, tapi didominasi kerkhoff (makam Belanda),” ujar Bagus kepada Tempo, Jumat, 24 Februari lalu.
BPCB baru mendata ragam hias dan gaya makam. Bila ada pahatan yang tertulis dalam huruf Latin mereka akan mencatatnya. Tapi bila pahatan itu dalam tulisan kanji, mereka mengaku kesulitan untuk menindaklanjutinya. “Walau tetap ada progres dengan tanya ke sana-kemari secara pelan,” tuturnya.
Bagus pernah mendatangi bong Tan Gee Tjhiang yang berbentuk seperti kura-kura dengan prasasti bertarikh 1915 yang berada di Salatiga, Jawa Tengah. Makamnya masih terpelihara baik. Bentuk makamnya memiliki sedikit sentuhan budaya Eropa dan cukup mewah dengan berbagai ornamen keramik dan altar pemujaan Dewa Bumi. Di situ dimakamkan Tan Gee Tjhiang, istri, dan anaknya. Menurut Bagus, keluarga keturunannya ada di Semarang, tapi ia belum pernah bertemu dengan mereka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo