Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia itu seperti cecak. Ia negeri yang luka, ekornya putus. Tapi kita pun tahu, waktu akan menunjukkan, dari bekas luka itu akan tumbuh ekornya yang baru.
Dalam poster berlatar putih, Luba Lukova, seorang desainer Bulgaria, melukiskan makhluk melata itu dalam warna hitam, seraya meletakkan kata ”hope” di antara ekor dan badan yang telah terpisah. Dan, karya Lukova itu, Hope for Indonesia, bersama 66 poster lainnya yang mencoba memperlihatkan sosok Indonesia yang punya harap dan punya masa depan itu, dipamerkan di Jakarta Convention Center, 7-11 September.
Itulah poster-poster yang disatukan oleh sebuah tajuk, Light of Hope for Indonesia. Poster buah kreasi sejumlah nama besar seperti David Carson, Milton Glaser, Seymour Chwast, Uwe Loesch, Thomas Ockerse, dan Kan Tai Keung. Sedangkan dalam negeri sendiri, muncul karya Ardian Elkana, Sakti Makki, Danton Sihombing, Hermawan Tanzil, dan Prijanto S. Semua, tanpa kecuali, dicetak panitia di atas kertas foto 120x80 sentimeter.
Para peserta mengirimkan karyanya dalam bentuk file digital—sebuah perkembangan maju dalam dunia poster. Tapi, dari pameran ini, barangkali kita bisa menangkap betapa medium yang satu ini telah berjalan jauh.
Awal abad ke-20, lewat karya-karya seniman Prancis Henri de Toulouse-Lautrec, poster ikut mengisi perkembangan seni rupa modern Barat. Posternya untuk panggung hiburan Moulin Roug’ (1898) dengan stilisasi sosok gemulai artis Jane Avril, bernuansa warna cerah dalam bidang-bidang lebar, dianggap memberikan pembaruan pada poster: masuknya cita rasa artistik seni rupa modern ke bidang komunikasi massa.
Saat industri niaga naik daun pada dekade 1970, pengamat desain grafis Irvan Noe’man menambahkan, fungsi poster semakin luas. Poster bukan hanya media propaganda politik seperti masa Perang Dunia I dan II, melainkan media korporasi dalam berkomunikasi. ”Bisa dalam bentuk iklan atau company profile,” kata Irvan Noe’man. Produksi poster melimpah, tapi tak banyak pencapaian artistik yang dihasilkan. ”Perkembangan poster, terutama di Indonesia, akibatnya hanya memenuhi gairah konsumerisme,” jelas Irvan.
Dan pameran light of hope for Indonesia barusan memperlihatkan: ada aspek estetika dalam selembar poster. Nilai sebuah poster tak berhenti pada titik komersialnya belaka. Kali ini, ”Pameran itu mencoba menyuarakan harapan positif bagi Indonesia yang terpuruk melalui media poster,” ujarnya.
Coba simak poster karya Milton Glaser, 76 tahun, dari Amerika. Desainer senior kawakan yang masyhur lewat desain logo ” I Love New York” itu menyuguhkan gumpalan awan hitam menutupi matahari. Seberkas sinar kuning keemasan menyembul dari balik awan dan tampak menyirami warna biru di bawahnya. Sementara di atas matahari yang tertutup awan itu tertera tulisan Light of Hope for Indonesia—sekaligus menjadi judul karyanya. Lewat karyanya itu, Milton mengungkapkan bahwa di balik awan hitam masih ada matahari yang bersinar. Di balik musibah masih ada secercah harapan.
Milton mengerjakan karyanya itu secara manual di studionya, Milton Glaser Studio, di New York. Ia melukis posternya itu di atas kertas, kemudian hasilnya dipindai untuk dibikin format digital. Nah, hasil pemindaian itulah yang dikirim Milton ke panitia. Milton juga mengirimkan karya aslinya yang dikerjakan secara manual itu.
Sedangkan desain grafis top, David Carson, 49 tahun, hadir dengan karya bertajuk ”Tsunami Indonesia”. Mengusung konsep desain antikelaziman, Carson yang juga fotografer itu mengkolase robekan foto-foto ombak hasil jepretannya. Di atas gulungan ombak ganas berwarna putih keruh itu (sebagai simbolisasi tsunami) tampak gumpalan awan yang melayang berwarna cokelat. Di antara ombak dan awan, Carson menyapukan warna putih. Nah, di atas sapuan warna putih itulah ia bermain-main tipografi: ”Hell is Going, Help is Coming”.
Seperti halnya Milton, karya me narik itu dikerjakan Carson secara manual. Dari penggalian ide hingga jadi selembar poster, Carson membutuhkan sekitar dua pekan. Ia mengkolase robekan foto, kemudian membubuhkan huruf-huruf di atasnya. Setelah itu, peselancar profesional asal Texas, Amerika, itu memindainya untuk dijadikan format digital. Hasil proses digitalisasi itulah yang dikirm ke panitia pameran di Jakarta via Internet.
Yang tak kalah menarik adalah poster Divina Nathalia dari DesignLab, Jakarta. Posternya bertajuk ”IndONEsia” itu lahir dari sebuah ide yang tak sengaja. Suatu hari, sekitar sepekan menjelang tenggat dari panitia pameran, Divina menemukan kata ”one” dari tipografi kata Indonesia. Kata ”one” yang berarti satu itu begitu menggelitiknya. Ia pun terlecut membuat poster tentang persatuan Indonesia. ”Lewat poster itu, saya mencoba menyerukan harapan agar bangsa Indonesia tetap bersatu,” kata lulusan sekolah desain Portfolio Center, Atlanta, Amerika itu.
Divina melangkah. Di layar komputernya, ia mencoba bermain-main dengan tipografi kata Indonesia. Setelah mengutak-atik beberapa jenis huruf, ia memutuskan untuk memakai Universe. ”Agar jelas terlihat dari jarak yang cukup jauh,” ujarnya menerangkan.
Perempuan 31 tahun itu kemudian menyapukan warna merah sebagai latar belakang posternya. Untuk huruf ”IND” dan ”SIA”, ia menggunakan warna putih. Sedangkan huruf ”ONE” ditulis dengan warna hitam. Menurut Divina, ”Itu untuk memberikan efek kontras, sehingga kata ”ONE” lebih menonjol.”
Mehdi Saeedi dari Iran tampil beda. Desainer kelahiran Teheran 26 tahun lalu itu hadir dengan gaya kaligrafi bertajuk End of Dark Night is Light. Hal serupa ditampilkan desainer Timur Tengah lainnya, Tarek Atrissi. Pria yang kini menetap di Belanda itu hadir dengan posternya A Typographic Whisper of Hope.
Poster-poster memang bisa menjadi karya seni. Ada permainan komposisi, permainan warna, dan tipografi. Meski, menurut Irvan Noe’man, dikhawatirkan pesan-pesan yang disampaikan poster-poster itu tak mengena. ”Kami justru ingin menggelitik ruang imajinasi para pengunjung pameran,” katanya.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo