Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALI Moertopo mengeluh ketika membuka sidang Majelis Musyawarah Perfilman Indonesia (MMPI) di Gedung Dewan Pers, 10 September 1982. Tien Soeharto menegurnya tentang film Sundel Bolong. Menurut Ibu Negara, film horor yang dibintangi Suzanna itu jorok, tak layak beredar di masyarakat. Penjelasan Ali kepada Ibu Negara, bahwa film itu diangkat dari legenda Indonesia, tidak mempan.
Akibat teguran itu, Ali menghadapi situasi yang dilematis. Sundel Bolong telanjur beredar dan, sebagai Menteri Penerangan, dia ingin menegur Dewan Film Nasional. "Tapi saya sendiri ketuanya," kata Ali, seperti ditirukan Ilham Bintang, yang kini menjadi bos tabloid Cek & Ricek. Kala itu Ilham menjadi wartawan harian Angkatan Bersenjata sekaligus pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya seksi film.
Setelah Ali dilantik menjadi Menteri Penerangan pada Maret 1978, hari-hari yang dilaluinya mulai berubah. Ali, yang sebelumnya berada di "dunia bawah tanah" sebagai Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), kini beralih ke lingkungan selebritas. Dia menyebutnya masyarakat seluloid alias pita—kini jarang dipakai lagi karena tergerus teknologi digital. Toh, tak butuh waktu lama bagi Ali untuk menancapkan pengaruhnya di lingkungan barunya itu.
Sebelum Ali berpindah ke kantor Departemen Penerangan di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat—kini kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika—film nasional sedang gencar-gencarnya digarap. Tercatat 135 judul film lahir pada 1977—tertinggi dalam sejarah. Penyebabnya Mashuri Saleh, Menteri Penerangan sebelum Ali, mewajibkan importir film membuat satu judul untuk setiap lima judul film yang didatangkan dari luar negeri. Itu pun masih ditambah dengan aturan wajib edar dan wajib putar film nasional. Gara-gara itu, banyak film dibuat asal jadi untuk memenuhi syarat impor.
Ali merespons dengan menghapus kewajiban produksi bagi importir film. Produksi film pun jeblok. Pada tahun kedua Ali menjabat, film lokal kurang dari sepertiga rekor 1977. Untuk memperbaiki kualitas perfilman, Ali membentuk Dewan Film Nasional (DFN) gaya baru dengan melibatkan para pakar perfilman dan budayawan. Ali sebagai ketua umum ex-officio, sedangkan ketua hariannya Asrul Sani.
Lewat DFN, Ali mewajibkan importir menyetor dana sertifikat produksi Rp 3 juta untuk setiap judul film impor. Menurut Narto Erawan, mantan Direktur Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dana itu dipakai untuk penyelenggaraan Festifal Film Indonesia (FFI), membiayai tugas Kelompok Kerja Tetap Promosi dan Pemasaran Luar Negeri yang dipimpin Rosihan Anwar, serta membuat film percontohan, seperti Halimun dan Titian Serambut Dibelah Tujuh.
Walhasil, sejak saat itu, FFI digelar megah secara bergantian di kota-kota besar Indonesia. Ketika FFI digelar di Semarang pada 1980, dia menyewa gerbong kereta. Setahun kemudian, di Surabaya, semua peserta diangkut dengan Boeing 747. "Pesawat itu dipaksakan parkir di salah satu landasan karena bandaranya belum bisa melayani pesawat sebesar itu," kata Ilham, yang ikut dalam rombongan.
Pada masa itu juga Ali membentuk tiga asosiasi importir film untuk menggantikan empat konsorsium perusahaan importir film. Kuota film impor berkurang drastis dari 360-an judul menjadi hanya 250 judul. Namun besarnya pengaruh Departemen Penerangan terhadap bisnis mereka membuat asosiasi-asosiasi tersebut ikut menyumbang dana untuk wilayah tugas Kementerian Penerangan di luar industri perfilman, termasuk dunia pers.
Asosiasi importir film Amerika Serikat menyumbang dana untuk revitalisasi Museum Pers Nasional di Solo. Adapun importir film Mandarin mendanai pembangunan Gedung Dewan Pers di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat yang saat itu merupakan kompleks perumahan Departemen Penerangan. "Rumah-rumah dibongkar dan dipindah ke Jalan Radio Dalam, Jakarta Selatan," kata Narto.
Sekilas pengaruh Menteri Ali tampak positif bagi perkembangan industri perfilman serta media massa. Namun, seperti halnya aparatur Orde Baru lainnya, Departemen Penerangan sedari awal adalah alat kontrol pemerintahan Soeharto. Lewat Badan Sensor Film, banyak adegan film yang dianggap berpotensi menyebarkan kebencian terhadap pemerintah harus digunting jika ingin tetap beredar.
Film Yang Muda Yang Bercinta karya Sjumandjaja, misalnya, harus digunting karena ada adegan W.S. Rendra (pemeran utama) membacakan puisi-puisi tentang para cukong. Sedangkan film Koruptor-Koruptor karya Arifin C. Noer tak hanya dipangkas isinya, tapi juga diganti judulnya menjadi Petualang-Petualang.
Begitu pula terhadap pers. Pada pertengahan Juli 1980, misalnya, Departemen Penerangan tak memperpanjang izin wartawan Australian Broadcasting Commission (ABC), Warwick Beutler. "Berita-beritanya, selain mengacaukan bangsa Indonesia, mendiskreditkan bangsa Indonesia dalam kehidupan internasional," kata Menteri Ali kepada Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat.
Dua tahun kemudian, tepatnya 12 April 1982, Departemen Penerangan mencabut surat izin terbit majalah Tempo setelah pemberitaan huru-hara kampanye Partai Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta. Fikri Jufri, saat itu redaktur pelaksana Tempo, masih ingat ketika dia pergi ke Hotel Sanur Beach, Bali, menemui Menteri Ali dan mempertanyakan pencabutan izin tersebut. "Saya tahu Ali sedang di Bali dari Soedjono Hoemardani," kata Fikri.
Dalam pertemuan itu, Ali menyebut banyak orang ingin "membunuh" Tempo. Tapi dia menjamin Fikri dan kawan-kawan bisa terbit lagi, paling lambat dua bulan ke depan. Janji itu dipenuhinya pada awal Juni dengan mengumumkan pencairan izin Tempo lewat pemberitaan TVRI.
Agaknya pidato Ali setelah dilantik pada April 1978 bisa menjawab alasan di balik berbagai tindakannya yang dinilai represif terhadap industri film dan pers. "Departemen Penerangan adalah perangkat negara yang harus melindungi kepentingan negara," kata Ali. "Sudah menjadi tugas kami untuk membela apa pun tindakan yang diambil pemerintah."
Namun komitmen Ali terhadap pemerintahan Soeharto tak berbalas. Hubungan Ali dan Soeharto mulai terusik ketika Sudharmono, Sekretaris Negara, membuat prosedur tetap cara bertemu dengan presiden. Menurut Ali Moersalam, adik Ali, sang kakak pernah mengeluhkan soal sulitnya bertemu dengan Soeharto.
Halim, dokter militer Angkatan Darat, pernah mendengar cerita dari Kepala Bakin Yoga Soegomo soal kegundahan Ali. Menurut dia, Ali merasa ganjil karena tidak lagi diminta Soeharto datang ke Cendana, tapi ke Bina Graha.
Diselimuti tanya, Ali tetap datang ke Bina Graha. Ketika itu, Soeharto sedang membaca koran di ruang kerja. Sang tuan rumah mempersilakan Ali duduk hanya dengan mengacungkan telunjuk ke arah kursi sambil tetap membisu.
Tak tahan berdiam diri, Ali menanyakan alasan diminta menghadap. "Saya sedang ada rapat di Bakin," ujarnya. Soeharto menjawab dengan enteng, "Rapat ditinggal saja."
Jawaban ketus itu membuat Ali semakin gundah. Kepada Yoga, dia menanyakan perubahan sikap Soeharto. "Aku ki salah opo? Kok, begini," katanya.
Pada pengujung karier dan hidupnya yang mulai sakit-sakitan, Ali tampak semakin tersingkir dari lingkaran kekuasaan Orde Baru. Pada awal 1983, namanya memang disebut-sebut menjadi wakil presiden mendampingi Soeharto. Ali menolak dengan alasan usia. "Tak ada ambisi saya untuk ke sana," katanya dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR.
Alih-alih menjadikan Ali sebagai wakilnya, Soeharto mengangkat dia menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Meski dalam pidato pertanggungjawaban Soeharto memuji peran DPA, kala itu banyak yang menjuluki lembaga tersebut sebagai tempat penampungan bagi mereka yang tersisih.
Kepada Halim, Yoga Soegomo pernah bercerita tentang kekhawatiran Soeharto mengenai Ali yang semakin hari semakin populer. Pada masa itu Ali bahkan mulai berani mengkritik kegiatan bisnis anak-anak Soeharto.
"Setelah dipindah ke DPA, Pak Ali betul-betul merasa Pak Harto menghukumnya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo