Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seminar di London School of Economics itu baru separuh jalan ketika tiba-tiba kegaduhan pecah di depan ruangan. Ratusan pengunjuk rasa meminta diskusi itu dihentikan. Mereka menuntut delegasi pemerintah Indonesia—yang hadir dalam seminar itu—menuntaskan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di negerinya. Mereka menyasar ketua delegasi Indonesia, Ali Moertopo—yang sedianya akan berbicara seputar perkembangan politik dan strategi pembangunan Orde Baru.
Waktu itu, Ali didampingi Benny Moerdani, A.R. Soehoed (Menteri Perindustrian), serta Joseph Halim (dokter militer). Hadir juga beberapa pendiri Centre for Strategic and International Studies, seperti Jusuf Panglaykim, Jusuf Wanandi, dan Sofjan Wanandi.
Tak puas berorasi di luar ruangan, pengunjuk rasa mencoba menerobos ke ruang seminar. Petugas keamanan bergerak cepat mencegah mereka—dan segera mengunci pintu dari dalam. Bukannya mundur, para pendemo "menyandera" peserta seminar. Sejumlah perwakilan pemerintah Inggris ikut tertahan.
Di tengah kepungan demonstran, Benny menghubungi kenalannya di dinas intelijen Inggris. Pihak keamanan Inggris lantas menawarkan petugas khusus mereka untuk memecahkan kerumunan massa. Tapi Ali menyarankan mereka membubarkan pengunjuk rasa tanpa kekerasan.
Pasukan keamanan Inggris akhirnya hanya membuat koridor agar rombongan Indonesia bisa meninggalkan ruang seminar. Ali, Benny, dan Halim masuk ke taksi pertama yang dapat membawa mereka keluar dari tempat itu. Tapi pengunjuk rasa berupaya menahan taksi itu. Mereka memekik-mekik, menanyakan Ali Moertopo.
Duduk di samping Ali, Benny memberikan isyarat bahwa Ali ada di mobil belakang. "Kami lolos dari kepungan massa. Rombongan Sofjan yang kena," kata Halim kepada Tempo mengenang peristiwa pada akhir 1970-an itu. Kini berusia 86 tahun, Halim di masa itu juga salah satu perwira Operasi Khusus kepercayaan Ali Moertopo.
Di awal masa Orde Baru, Soeharto memerlukan juru bicara yang bisa menjelaskan ke dunia luar bahwa dia tidak pernah mengudeta Sukarno. Tapi Soeharto belum sepenuhnya mempercayai pegawai di Kementerian Luar Negeri. Dia menganggap kementerian itu belum steril dari para pengikut tokoh PKI, Soebandrio. Soeharto pun meminta bantuan Ali mencari orang-orang yang bisa menjalankan tugas tersebut.
Ali sendiri tak pernah mendapat tugas resmi sebagai pejabat hubungan luar negeri. Namun, sebagai tentara intelijen dan asisten pribadi Soeharto, tanggung jawab Ali kerap melampaui batas-batas teritorial Indonesia. Sewaktu mengawali misi-misi penting, Ali biasa menunjuk orang-orang yang dia percayai. Tapi, pada tahap tertentu, dia kerap "turun gunung" bersama timnya.
Misi diplomatik penting yang dia emban antara lain ketika Indonesia berupaya mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia, membebaskan Irian Barat, dan menyatukan Timor Timur. Tugas diplomasi Ali belum berakhir bahkan ketika konfrontasi dengan Malaysia selesai. Masih ada kecurigaan dari pihak Malaysia bahwa Indonesia bisa saja melanggar perjanjian. Untuk menunjukkan iktikad baik, sekaligus mengajak negara lain menjaga stabilitas di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menggagas pendirian Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).
Selama persiapan deklarasi ASEAN, Ali menunjuk orang-orang yang dia percayai. Salah satunya Ventje Sumual, perwira yang pernah menjadi tahanan politik karena terlibat pemberontakan PRRI/Permesta. Ali meminta Ventje menemani delegasi Indonesia ke Bangkok pada Agustus 1967. Ventje berangkat bersama Benny Moerdani dan Yoga Soegomo.
Bukan anggota tim resmi di meja perundingan, tugas Ventje adalah melobi di balik layar agar usul pembentukan ASEAN bisa gol. Pada malam terakhir menjelang penandatanganan Deklarasi Bangkok, Benny membangunkan Ventje. Malam itu, perundingan semestinya sudah selesai dan delegasi dari lima negara menandatangani deklarasi. Entah kenapa, delegasi Filipina tak mau memberikan tanda tangan. "Kalau Filipina enggak mau teken, perundingan bisa gagal," kata Benny.
Ventje lantas teringat pada kenalan lama dia, Jenderal Vargas dari Filipina. Waktu itu Vargas menjabat Sekretaris Jenderal Southeast Asia Treaty Organization. Bekas panglima di Filipina ini juga salah satu penasihat presiden negara itu.
Malam itu Ventje menelepon Vargas dan berbicara panjang-lebar. Dia menanyakan alasan Filipina tak bersedia meneken perjanjian. "Saya mengatakan ke Vargas, 'You do something'," ujar Ventje dalam satu wawancaranya dengan Tempo. Setengah jam setelah perbincangan telepon tersebut, Vargas memastikan Menteri Luar Negeri Filipina Carlos Romulo tak akan hadir dalam deklarasi, tapi Filipina akan diwakili sekretaris jenderal kementerian luar negerinya. Keesokan paginya, lahirlah ASEAN.
Profesor hubungan internasional di London School of Economics, Michael Leifer, menyebut Ali Moertopo sebagai tokoh visioner sekaligus pragmatis dalam melakukan tugas diplomatik. "Dia penganjur perubahan pola diplomasi sentimental dan emosional menuju (diplomasi) rasional dan obyektif," kata Leifer dalam buku Sekar Semerbak. Buku itu dibuat untuk mengenang satu tahun wafatnya Ali Moertopo.
Leifer antara lain mencatat upaya Ali mempromosikan gagasan Segitiga Asia-Pasifik pada awal 1970-an. Gagasan itu melibatkan hubungan kerja sama ASEAN, Australia, dan Jepang. Menurut Ali, sebagai negara yang pernah terisolasi dan perlu menjalin kontak dengan Asia, Australia mesti menjalin hubungan baik dengan Indonesia dan ASEAN. Untuk berhubungan dengan negara-negara Asia Tenggara, Jepang pun menjalin hubungan lebih dekat dengan Indonesia.
Leifer menduga gagasan itu merupakan upaya Ali mengantisipasi kebangkitan dan ancaman dominasi Cina di Asia. Dalam sebuah kesempatan, Ali pernah mengungkapkan, ASEAN dan Cina akan saling melihat sebagai lawan. Keduanya akan bersaing dalam menarik investasi dan modal asing, mengimpor teknologi, serta mengekspor komoditas ke negara maju. Karena itu, Ali menekankan, ASEAN harus segera menyiapkan infrastruktur Segitiga Asia-Pasifik.
Baik Australia maupun Jepang tak antusias menyambut gagasan tersebut. Pada awal 1970-an, Australia justru mempromosikan hubungan lebih luas dengan negara Asia, termasuk Cina. Hal itu tak mengurangi semangat Ali mendengungkan berbagai ide tentang hubungan antarnegara.
Sampailah pada suatu waktu, Ali diundang berpidato di hadapan National Security Council Thailand. Seperti biasa, dia hanya mengungkapkan garis besar rencana pidatonya. Teks pidato berbahasa Inggris selanjutnya disiapkan Soedjati Djiwandono, ahli hubungan internasional yang turut mendirikan Centre for Strategic and International Studies.
Pagi hari sebelum Ali naik podium, Halim menyerahkan naskah itu. Rupanya, Ali tak sempat memeriksa lagi naskah tersebut. Di podium, ia tiba-tiba menghentikan pidatonya. Di depan mikrofon yang masih menyala, Ali pun bergumam. "Edan iki, kurang siji. (gila ini, kurang satu)." Ali langsung menutup pidatonya, "I hope you understand what I mean." Meski pidato itu tanpa kesimpulan, Hadirin tetap bertepuk tangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo