Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penumpang Gelap Malari

Ali Moertopo dituding merekayasa Peristiwa Malari untuk menjebloskan kelompok yang kritis terhadap pemerintah. Diwarnai persaingan dengan Soemitro dan pembelotan anak didiknya sendiri.

14 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMBIL menenteng pistol, Mayor Jenderal Ali Moertopo bersiap menemui massa mahasiswa. Mereka berteriak-teriak dengan nada mengejek di depan kantor Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Tanah Abang III, Jakarta Pusat, pada 15 Januari 1974. Kepala Operasi Khusus yang juga asisten pribadi Presiden Soeharto itu ngotot ingin menjumpai Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, pemimpin demonstran. "Memangnya saya takut?" katanya.

Para mahasiswa itu menuding Ali dan asisten presiden lainnya sebagai antek Jepang. CSIS menjadi sasaran karena lembaga pemikir yang didirikan Ali Moertopo dan Mayor Jenderal Soedjono ­Hoemardani pada 1971 itu disebut-sebut sebagai otak dan pelobi utama di balik kebijakan ekonomi Soeharto, yang cenderung lunak terhadap korporasi asing.

Ali marah mendengar ejekan itu. Jusuf Wanandi, yang bekerja di CSIS, berusaha menyabarkannya. "Bukan begitu, Pak. Saya dulu pernah di posisi mereka, dan mereka sangat kuat. Kita bisa digilas," ujarnya. Peristiwa itu diceritakan Jusuf kepada Tempo pada Oktober 2010, dan diulang pada September lalu.

Unjuk rasa itu memanfaatkan momen kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Sebagian besar protes mahasiswa menyuarakan anti-modal asing. Pada hari yang sama, di beberapa sudut Jakarta, sekelompok orang membakar dan menjarah toko milik warga keturunan Cina serta merusak pabrik Coca-Cola dan dealer mobil Toyota. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Malapetaka 15 Januari atau disingkat Malari.

Dalam buku Hariman dan Malari: Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing, disebutkan bahwa sepanjang 1970-1974 hampir tidak pernah sepi dari aksi unjuk rasa. Berbagai demonstrasi itu dilatari ketidakpuasan yang beragam. Arief Budiman pada Agustus 1970 mendirikan Komite Anti Korupsi. Ada juga gerakan untuk tidak ikut memilih menjelang Pemilihan Umum 1971, yang dikenal sebagai Golongan Putih alias Golput.

Selanjutnya, pada 1972, beberapa aktivis mengusung tema menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) senilai Rp 10,5 miliar. Proyek yang digagas Ibu Negara Tien Soeharto ini ditentang karena pemerintah sedang dililit utang. Ali dan Soedjono pasang badan membela Tien. Adapun Jenderal Soemitro, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), menilai proyek ini tidak tepat, tapi tidak melakukan protes secara terbuka.

Pada akhir 1973, demonstrasi anti-TMII meredup. Gelombang protes bergeser ke isu penolakan Rancangan Undang-Undang Perkawinan, yang dimotori organisasi Islam, dan anti-modal asing, yang diusung komite mahasiswa.

Soeharto dan Ali tahu betul potensi kelompok protes itu bisa membesar. Melalui Operasi Khusus (Opsus), Ali giat menjalankan politik wadah tunggal bagi kalangan terdidik. Mereka menyasar kelompok mahasiswa, wartawan, pegawai negeri, hingga istri pegawai negeri dan militer.

Operasi itu dimulai dengan mendirikan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Tujuannya mengendalikan Angkatan 1966, yang banyak berasal dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Ali juga mendorong berdirinya National Union Student (NUS), yang diharapkan menyedot dewan mahasiswa dari semua kampus. Hariman Siregar digadang-gadang menjadi pemimpin NUS. Masih dalam buku Hariman dan Malari, menurut Gurmilang Kartasasmita, temannya di Fakultas Kedokteran UI itu terlihat makin lengket dengan kelompok Ali dan CSIS.

Pembentukan NUS tidak mulus karena ditentang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang memiliki banyak kader di dewan mahasiswa. Ali mengubah taktik dengan sasaran menguasai organisasi mahasiswa berlatar profesi. Sebagai proyek percontohan, Hariman diusung menjadi pemimpin lewat Kongres Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia (IMKI) di Makassar.

Pola baru itu sukses. Hariman terpilih sebagai Sekretaris Jenderal IMKI. Judilherry Justam, aktivis HMI sekaligus teman Hariman di Kedokteran UI, membenarkan ada peran Ali dalam Kongres. Menurut Judilherry, posisinya sebagai pesaing kuat Hariman dalam pemilihan itu pun hasil rekayasa Ali. Kendati mengubah sasaran, Gurmilang melanjutkan, Opsus tetap berencana merebut UI dari dominasi HMI.

Pada 1973, salah satu agenda penting mahasiswa UI adalah pemilihan Ketua Dewan Mahasiswa. Dalam buku Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980: Dari Pemilu sampai Malari, yang ditulis Heru Cah­yono, disebutkan ada peran Kelompok 10 di situ. Anggotanya antara lain Aulia Rahman, Posdam Hutasoit, Freddy Latumahina, dan Leo Tomasoa. Nama-nama itu dikenal sebagai "binaan" Ali Moertopo. Kelompok 10 sukses mengantarkan Hariman menjadi Ketua Dewan Mahasiswa, mengalahkan Ismeth Abdullah, calon HMI.

Tapi, setelah terpilih sebagai ketua, Hariman mulai menunjukkan gelagat membandel dengan memilih Judilherry sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Mahasiswa UI. Hariman melawan keinginan Ali, yang hendak menyingkirkan HMI. Di bawah Hariman, Dewan Mahasiswa UI makin keras mengusung isu anti-modal asing. Hariman makin sulit dikendalikan setelah terang-terangan menyerang Ali, Soedjono, asisten pribadi presiden, dan CSIS.

Kolonel Aloysius Sugiyanto, anak buah Ali, membenarkan adanya pembelotan Hariman. "Dia mbalelo, malah mendemo Ali di Tanah Abang," ujarnya kepada Tempo, September lalu. Menurut Heru ­Cahyono, Opsus kemudian menggerakkan Kelompok 10 untuk menyebarkan mosi tidak percaya atas kepemimpinan Hariman.

Akhir 1973, suhu politik memanas. Soemitro mulai berkeliling kampus-kampus, kecuali UI—karena tahu betul kampus jaket kuning itu sedang digarap Opsus. Soemitro makin waspada setelah muncul desas-desus bakal terjadi kerusuhan yang digalang dirinya. Dalam buku biografinya yang ditulis Ramadhan K.H., Soemitro merasakan kejanggalan dengan kehadiran Ali dan Soedjono di kantornya menjelang Peristiwa Malari. "Bahkan Soedjono menginap bersama saya," katanya.

Upaya Soemitro menjaga keamanan jebol juga. Demonstrasi mahasiswa 15 Januari 1974 ditunggangi kelompok penyusup yang melakukan kerusuhan. Belakangan penumpang gelap itu diketahui dari kelompok preman hingga aktivis Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang didrop pada sore hari dari luar Jakarta.

Dalam buku Hariman dan Malari, yang memuat kesaksian Soemitro, aksi penunggangan didalangi jaringan intelijen lepas Opsus, CSIS yang berjaringan Opsus, dan beberapa tokoh Gabungan Usaha Pembaruan Pendidikan Islam (GUPPI). Komando operasi pembakaran disebut-sebut dipimpin Bambang Trisulo, anggota Opsus.

Setelah pecah Malari, Soeharto melalui kaki tangan perwiranya punya seribu alasan melakukan penangkapan. Anehnya, mereka yang ditangkap tidak mesti berhubungan dengan Malari. Mereka yang giat memprotes pemerintah sejak 1970 hingga 1974 juga dijaring. Kelompok Partai Sosialis Indonesia dan pendukung Sukarno, bahkan mereka yang mendukung Soeharto pada 1966, ikut dibabat.

Proses penangkapan terpecah antara Soemitro dan Ali, yang sudah lama berseberangan. Kubu Soemitro berusaha menangkapi pendukung Ali, begitu pula sebaliknya. Untuk keperluan pemeriksaan, tahanan Malari dibagi dalam tiga kelompok dengan kode sandi masing-masing. Kelompok mahasiswa dan sosialis dimasukkan ke Grup Kelinci, kelompok Sukarnois ke dalam Grup Geladak, dan kelompok Islam dimasukkan ke Grup Kembang Sepatu. "Saya lihat dan bertemu dengan mereka. Alasan penangkapannya aneh-aneh," ujar Hariman dua pekan lalu.

Dampak Malari menjalar juga di tubuh militer. Soemitro menjadi korban. Jabatannya sebagai Panglima Kopkamtib dilucuti. Mayor Jenderal Sutopo Juwono, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), juga dilengserkan. Kedua jenderal ini disebut-sebut satu kubu melawan Ali. Soetopo "dilempar" menjadi duta besar di Belanda. Adapun Soemitro menolak tawaran sebagai duta besar di Amerika Serikat.

Di kubu Ali, Soeharto hanya membubarkan institusi asisten pribadi. Ali sendiri naik pangkat menjadi letnan jenderal dan diberi jabatan Wakil Kepala Bakin. Pasca-Malari, gelombang protes berhenti bak ditelan bumi. Peristiwa Malari dimanfaatkan dengan sukses untuk menyikat kelompok yang berpotensi merongrong kekuasaan.


Tom dan Jerry di Tubuh Militer

KEDATANGAN Jenderal Soemitro, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, dari Konferensi Tingkat Tinggi Nonblok di Aljazair disambut laporan rencana kerusuhan dalam waktu dekat. Saat itu September 1973. Tapi informasi dari Mayor Jenderal Soedjono Hoemardani, orang kedua di tim Operasi Khusus (Opsus), itu tidak terlalu dihiraukan.

Setelah laporan Soedjono dibenarkan Mayor Jenderal Sutopo Juwono, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), Soemitro baru percaya. Dia tersentak karena laporan berupa dokumen itu menyebut dalang kerusuhan adalah dirinya sendiri. Tujuannya melengserkan Soeharto.

Dalam biografi yang ditulis Ramadhan K.H., Soemitro bertanya kepada Sutopo apakah Soeharto mengetahui dokumen itu. Koleganya ini menjawab bahwa Presiden tidak percaya begitu saja. Mendengar itu, Soemitro merasa tenang.

Laporan yang menyudutkan Soemitro itu dikenal sebagai "Dokumen Ramadi". Ramadi adalah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Golongan Karya pada 1971. Pria kelahiran 12 Maret 1912 itu juga penasihat Gabungan Usaha Pembaruan Pendidikan Islam (GUPPI), organisasi yang dimanfaatkan Ali Moertopo, Kepala Opsus, untuk menarik kelompok Islam ke dalam Golkar. Di GUPPI, Soedjono aktif sebagai pelindung organisasi.

Soemitro, menurut biografi itu, baru mengetahui rincian "Dokumen Ramadi" setelah pensiun. Menurut dia, Ramadi menyebutkan bakal ada revolusi sosial pada 4 April dan 6 Juni 1974. "Revolusi sosial mesti meletus dan Pak Harto mesti jatuh dan akan diganti oleh seseorang yang bernama 'S', maksudnya Soemitro."

Dalam buku Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980: Dari Pemilu sampai Malari, yang ditulis Heru Cahyono, "Dokumen Ramadi" disebut merupakan salah satu bukti yang menggambarkan persaingan Soemitro dan Ali. Dokumen itu disebut-sebut dibuat Opsus untuk menggasak Soemitro.

Benang merah "Dokumen Ramadi" dengan Ali terlihat dari kesibukan rahasia yang meningkat di kantor GUPPI. Terjadi penggalangan aktivis Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yang tidak ada hubungannya dengan aktivitas ­GUPPI sebelumnya. Bukan rahasia di kalangan elite militer bahwa bekas aktivis DI/TII berhubungan erat dengan Ali.

GUPPI dimanfaatkan untuk menggalang massa demonstran. Penggalangan itu berjalan tertutup dan hanya diketahui segelintir elite organisasi. Dalam wawancara Heru Cahyono dengan Maizir Achmaddyns, politikus Masyumi yang ikut rapat kelompok Ramadi di GUPPI, disebutkan dokumen itu bukan ditulis oleh Ramadi. "Ada intelijen tak dikenal yang mengantarkan ke kantor GUPPI," katanya. Dokumen diterima Ramadi, lalu diserahkan kepada Soedjono Hoemardani.

Kendati Soemitro sudah diberi tahu, kerusuhan meletus juga. Pembakaran pabrik dan pasar menyertai demonstrasi mahasiswa pada 15 Januari 1974, yang dikenal dengan Malapetaka 15 Januari (Malari). Pasca-Malari, Soeharto memanggil Soemitro dan mengungkap kembali dokumen panas itu. Jabatan Soemitro dilucuti. Sedangkan Ali naik pangkat menjadi Wakil Kepala Bakin.

Soemitro curiga pencopotannya bagian dari skenario Ali Moertopo. Dalam buku biografinya, Soemitro mengatakan tawaran Soeharto kepadanya menjadi duta besar di Amerika telah didengarnya tiga hari sebelumnya dari Kepala Kepolisian Jakarta Widodo Budidarmo. Menurut Widodo, kabar itu disampaikan Bambang Trisulo, anak buah Ali Moertopo di Opsus. Anehnya, kedua anak Soemitro, Mely dan Nieke, juga mengetahuinya.

Ketika tawaran itu disodorkan, Soeharto menyangkal telah membicarakannya dengan orang lain. Soemitro pun kesal. "Aneh ya, Pak. Saya ini bintang empat, kok, nasib saya ditentukan orang di tepi jalan." Ujung rivalitas itu pada akhirnya ditentukan Soeharto, yang memilih Ali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus