Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Komando Seribu Mata-mata

DIA dikenal sebagai tangan kanan Soeharto sejak dari Kodam Diponegoro. Bertemu lagi di Kostrad, memimpin sejumlah operasi intelijen. Menggalang banyak orang dan menjadikan mereka hidup dalam dunia mata-mata. Jejaknya ada di Irian Jaya, Malaysia, hingga Timor Timur. Seperti pisau bermata dua, operasi istimewanya memberi warna sekaligus prahara.

14 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Intel 17 Juta Dolar
Ali Moertopo melaksanakan Operasi Khusus di Papua tanpa dana pemerintah. Uang dari penyelundupan.


KOMANDO merebut Irian Barat dari tangan Belanda diucapkan Presiden Sukarno di bawah guyuran hujan deras. Di hadapan taruna Akademi Militer Nasional pada 19 Desember 1961 di Alun-alun Utara Yogyakarta itu, Bung Karno memaklumatkan Tri Komando Rakyat alias Trikora.

Pertama, kata Bung Karno, "Gagalkan pendirian negara Papua itu." Kedua, "Kibarkan Sang Saka Merah Putih di Irian Barat." Terakhir, "Mobilisasi umum yang mengenai seluruh rakyat Indonesia membebaskan Irian Barat sama sekali daripada cengkeraman imperialisme Belanda." Bung Karno menambahkan, "Jalankan komando saya ini!"

Pada 2 Januari 1962, Bung Karno menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1962. Keppres itu menjadi dasar pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Komando militer ini bertugas melaksanakan operasi di Irian. Mayor Jenderal Soeharto, Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat dan komandan pasukan Tjadangan Umum Angkatan Darat, ditunjuk sebagai Panglima Mandala. Markasnya di Makassar.

Panglima Mandala lalu menyiapkan tiga tahap operasi. Pertama, fase infiltrasi sampai akhir 1962 untuk menerjunkan sekitar 10 kompi pasukan—sekitar 2.000 tentara. Kedua, fase eksploitasi, yang menargetkan sebelum 1963 pasukan sudah bisa menyerang Kota Biak, yang jadi sasaran utama. Setelah operasi militer, fase ketiga dilaksanakan, yaitu mengkonsolidasi kekuatan Indonesia di seluruh Irian Barat.

Soeharto menempatkan Ali Moertopo sebagai perwira yang bertugas menyiapkan penyusupan. Ali memang spesialis intelijen. Sebelum operasi Mandala, di Tjadangan Umum Angkatan Darat—kemudian menjadi Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat—Ali menjabat Asisten Intel Komando Tempur II.

Aloysius Sugiyanto, kelak menjadi asisten Ali semasa Operasi Khusus dan di Departemen Penerangan, juga diberi tugas meretas jalan ke Irian. Menurut Sugiyanto, dalam operasi Mandala, Ali mendiami pos di sebuah pulau tenggara Maluku. "Pulau yang menghadap Kaimana," Sugiyanto mengingat-ingat. Ali, kata Sugiyanto, merekrut dan melatih pemuda setempat untuk dikirimkan ke Irian. "Dilempar ke garis depan."

Menurut Sugiyanto, pada saat itu belum ada Operasi Khusus—operasi intelijen untuk tugas khusus. Komando Mandala sepenuhnya di bawah Kostrad. Operasi Khusus baru dibentuk pada 1964, ketika Indonesia ­berkonfrontasi dengan Malaysia. Ali Moertopo memimpin Operasi Khusus sampai pertengahan 1970-an, ketika lembaga tersebut dileburkan ke Badan Koordinasi Intelijen Negara.

Di Irian, bulan-bulan pertama infiltrasi hasilnya mengecewakan. Jumlah pasukan yang diterjunkan pesawat C-47 Dakota terlampau sedikit. Mereka seolah-olah raib di daratan Irian yang luas. Menyusup lewat laut, pasukan hanya mengandalkan sampan kayu. Upaya ini pun kerap dihadang cuaca buruk.

Mengevaluasi kegagalan tersebut, Mayor Jenderal Ahmad Yani, Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi, meminta infiltrasi dilakukan oleh pasukan yang cukup besar. Pada Mei 1962, rencana dirancang. Salah satunya menyiapkan Operasi Naga, yang dipimpin Kapten L.B. Moerdani. Operasi dilancarkan pada 24 Juni 1962 dinihari. Benny dan puluhan tentara dari Resimen Para Komando Angkatan Darat terjun dari lambung Hercules di Merauke.

Setelah pengiriman 10 kompi dan tim Benny diterjunkan, Komando Mandala menyiapkan Operasi Jayawijaya. Pasukan gabungan—brigade parasut 7.000 orang, brigade angkatan laut 4.500 orang, dan empat brigade infanteri 13 ribu orang—bersiap memukul Belanda di jantungnya, di Biak.

Menjelang penyerbuan pada 14 Agustus 1962, tiba-tiba Soeharto mendapat kabar bahwa di New York, Amerika Serikat, pemerintah Indonesia dan Belanda membuhul kesepakatan. Irian Barat diserahkan Belanda kepada Indonesia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa per 1 Oktober 1962.

Perjanjian New York itu menyebutkan Belanda harus angkat kaki paling lambat 1 Mei 1963. Pada hari itu pula Indonesia menerima Irian Barat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun Irian Barat tak otomatis menjadi bagian dari Indonesia. Kesepakatan New York mengamanatkan agar pemerintah menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian Barat paling lambat akhir 1969 dengan opsi: bergabung dengan RI atau merdeka.

Sebelum itu terjadi, Ali Moertopo kembali beraksi. Menurut Joseph Halim, dokter sipil yang di­rekrut dalam Komando Mandala, Ali menugasinya masuk ke Irian dengan kedok sebagai wakil direktur rumah sakit di Jayapura. Itu masih 1962, setelah Belanda menyerahkan Irian ke PBB. "Kamu masuk bersama PBB," Halim menirukan instruksi Ali, ketika ditemui pada akhir September lalu.

Halim masih ingat instruksi Ali. "Anak-anak di sana sering mengi­barkan bendera Bintang Kejora. Kamu saya beri waktu tiga bulan. Kalau bendera masih dikibarkan, kamu yang akan saya kerek," kata Ali. Untuk menarik simpati penduduk Irian, Halim mengubah nama rumah sakit dengan nama lokal, bukan nama Jawa. Ia juga membuka kursus kebidanan dan perawatan.

Ketika Soeharto menjadi penjabat presiden pada 1967, Ali Moertopo sempat diperbantukan pada Ketua Presidium Kabinet RI bagian intelijen luar negeri. Di sini Ali banyak memberi masukan kepada Duta Besar RI untuk PBB, Roeslan Abdulgani, perihal Irian Barat. Sejak 1964, Ali ditunjuk Soeharto sebagai Komandan Operasi Khusus, yang tugasnya termasuk membereskan masalah Irian.

Dalam buku Shade of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia 1965-1998, salah satu pendiri lembaga kajian Centre for Strategic International Studies, Jusuf Wanandi, mengisahkan tekad rezim Soeharto mempertahankan Irian. Kepada Jusuf, Ali Moertopo mengatakan, "Bagaimana mungkin Irian yang direbut pada saat Soeharto memimpin Komando Mandala Trikora lepas ketika Soeharto menjabat presiden? Tidak mungkin. Tidak akan terjadi."

Pada Mei 1967, Jusuf diutus Ali memantau kondisi Irian. Jusuf kemudian melapor kepada Ali, perekonomian Irian betul-betul buruk. Penduduk kekurangan makanan. Barang-barang kebutuhan rumah tangga sudah lama raib dari toko dan gudang. Papua seperti habis dijarah sepeninggal Belanda. "Tak mengherankan bila mereka betul-betul membenci kita," kata Jusuf.

Setelah Ali menerima laporan Jusuf, ia meminta Soeharto memulihkan ekonomi Papua. Sayangnya, ketika itu Indonesia tak punya uang. Menurut Jusuf, Ali kemudian putar otak mencari anggaran. Dia bekerja sama dengan sebuah perusahaan pengapalan untuk menyelundupkan karet dan produk-produk lain ke luar Indonesia. Aloysius Sugiyanto menyebut pengusaha pengapalan ini bernama Jerry Sumendap.

Menurut Jusuf, dari usaha itu, terkumpul dana hingga US$ 17 juta, yang disimpan di bank di Singapura dan Malaysia. Seluruh uang itu di bawah kendali Ali Moertopo atas seizin Soeharto. Dengan uang itulah Ali mendanai Operasi Khusus serta membeli barang-barang kebutuhan pokok untuk dikirim ke Irian.

Barang yang dikirim ke Papua termasuk tembakau merek Van Nelle de Weduwe dan bir. Ini kesukaan orang Papua sejak zaman Belanda. Barang-barang itu dibeli dari Singapura, lalu dikirim ke Papua dengan kapal-kapal besar. Sugiyanto ingat salah seorang pedagang di Singapura bernama Njo Han Sang. Di Irian, barang-barang itu selanjutnya dibagikan kepada para kepala suku dan wakil rakyat.

Hari yang ditunggu-tunggu tiba juga. Pada 1969, Pepera dilaksanakan oleh wakil-wakil penduduk Papua—yang kerap menerima bantuan. Ali Moertopo bertugas memastikan agar pemungutan suara dihadiri oleh orang Irian yang prointegrasi. Hasilnya sudah diduga. Pada Agustus tahun itu, hasil Pepera menunjukkan penduduk Irian ingin bergabung dengan Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus