Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERSAMUHAN itu akhirnya berlangsung di Hotel Amarin, Bangkok, Juli 1965. Duduk di kursi, Letnan Kolonel Ali Moertopo mengenalkan lelaki berwajah datar, Leonardus Benjamin Moerdani, kepada Des Alwi. "Ini Benny Moerdani, orang Garuda, orang kita," kata Ali kepada Des. Seorang lagi yang dikenalkan Ali adalah Ngaeran, perwira operasi khusus yang ikut Ali dari Jakarta.
Singkat kata, Ali menyampaikan tujuannya memburu Des Alwi hari itu di Bangkok. Mayor Jenderal Soeharto, Wakil Panglima Komando Mandala Siaga, memintanya ikut tim operasi khusus penghentian konfrontasi Indonesia-Malaysia. "You disuruh jadi penghubung. Pak Harto bilang you bisa langsung kontak Wakil Perdana Menteri Malaysia," ujar Ali.
Ali lalu memberikan gambaran singkat rencana. Termasuk membocorkan penugasan Benny Moerdani, wakil asisten intelijen komando tempur satu, sebagai awak Garuda bagian ticketing di Bangkok. Mayor Benny sudah lama di Bangkok, menyiapkan operasi.
Kisah ini diceritakan Des dalam memoarnya yang ditulis Tempo, 25 November 2007. Des adalah anak angkat Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia. Lelaki Banda Naira ini bermukim di Malaysia setelah terasing akibat tudingan pemerintah Indonesia saat itu bahwa dia terlibat PRRI/Permesta.
Soeharto sudah lama tahu Des berkarib dengan sejumlah pejabat di Malaysia. Dia kawan kuliah Tun Abdul Razak, Tunku Abdul Rahman, dan Tan Sri Ghazali Shafie di Raffles College, London, Inggris, pada 1947. Des bahkan pernah mengenalkan Soeharto dengan Razak saat keduanya ke Yogyakarta pada 1948. Kala itu, Soeharto masih mayor.
Setelah pertemuan, sore itu juga Des mengontak tiga sahabatnya itu. Abdul Rahman sudah jadi perdana menteri, Razak wakilnya, dan Sri Ghazali Shafie menjabat kepala intelijen Malaysia. Kebetulan pula, sejak awal 1965, Des sudah sering berbicara dengan Abdul Rahman soal upaya penghentian konfrontasi itu.
Ganyang Malaysia adalah garis Presiden Sukarno terhadap Malaysia saat itu. Dia menyerukannya saat apel besar sukarelawan di Jakarta, 3 Mei 1964. Komando yang disebutnya Dwi Komando Rakyat (Dwikora) menetapkan: perhebat ketahanan revolusi Indonesia dan bantu perjuangan revolusioner rakyat Sarawak dengan menggagalkan pembentukan negara boneka Malaysia.
Sasaran utama Sukarno saat itu adalah penghapusan penjajahan—yang masih mendera Malaysia—sekaligus menolak pendirian pangkalan militer asing di Âkawasan Asia Tenggara. Di balik itu, Sukarno tak nyaman dengan demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, sebagai ekses atas penentangan Sukarno terhadap penyatuan Malaysia dengan wilayah Sabah dan Sarawak, yang masih dalam genggaman Inggris.
Sukarno serius dengan operasi ini. Pada Februari 1965, atau lima bulan setelah dibentuknya Komando Siaga dengan Omar Dhani sebagai panglimanya, Sukarno menunjuk Soeharto sebagai wakil panglima. Soeharto ditunjuk lantaran Sukarno ingin sukses operasi Irian Barat di bawah Soeharto terulang di Malaysia.
Namun operasi Dwikora ini, menurut Soeharto dalam buku Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, sangat berbeda dengan Trikora atau Irian Barat. Pola infiltrasi ala Trikora tak bisa diterapkan menyusul jatuhnya pesawat Kapten Djamaluddin asal Gorontalo di Laut Cina Selatan. Sekitar 100 tentara khusus di pesawat yang akan diterjunkan ke Malaysia itu tewas. "Karena itu, saya ubah dengan membentuk kantong-kantong dengan menghubungi orang Malaysia prorepublik," kata Soeharto dalam bukunya.
Salah satunya membangun pos komando gelap di Bangkok, dengan jalur logistik lewat laut dan udara Jakarta-Bangkok. Inilah yang dilakukan Benny di Bangkok. Semula tugasnya memonitor agar bisa menginfiltrasi Malaysia melalui Thailand tapi berubah merintis.
Ali, dalam pengantar Memori Jenderal Yoga, menyebut operasi khusus ini bersifat rahasia. Hanya tiga orang yang terlibat dalam penggodokan ide dan strateginya: Soeharto sebagai Wakil Panglima Komando Mandala Siaga, Yoga Soegomo sebagai Asisten Intelijen Kostrad, dan Ali Moertopo, wakilnya.
Mereka berbagi tugas. Sebagai panglima, Soeharto bergerilya ke atas atau elite tentara dan kekuasaan. Yoga bergerilya ke sebelah atau sesama komandan tentara.
Ali kebagian tugas operasional, yakni merekrut, menyamar, dan menjalankan taktik negosiasi di lapangan. Termasuk merancang aneka rupa gerakan di Kuala Lumpur. Benny, Des, juga sejumlah tokoh, seperti Jerry Sumendap, Welly Pesik, dan Daan Mogot, ikut membantu. Sebagian lagi adalah para perwira Operasi Khusus, seperti Ngaeran dan Aloysius Sugiyanto.
Sebelum tim Ali bergerak, Kepala Stad AD Jenderal Ahmad Yani sebenarnya sudah merintis jalan damai. Ia mengirim tim khusus bertemu telik sandi Malaysia. Tapi gerakan Yani bocor ke telinga Presiden Sukarno. Berpidato di radio, Bung Karno marah dan menyebut ada jenderal dagang yang mendekati Malaysia untuk menghentikan konfrontasi.
Menurut Des, operasi Yani masih penjajakan. Kesalahan Yani adalah ia melibatkan Soekendro, perwira intelijen BPI di bawah Soebandrio. Soebandrio mendukung habis garis Sukarno untuk mengganyang Malaysia. Belakangan, Yani tak jadi bergerak karena keburu menjadi korban Gestapu atau Gerakan 30 September.
Tapi justru akibat Gestapu itulah tim Ali bergerak cepat. Benny ditarik pulang ke Jakarta untuk Âbriefing. Sebuah pertemuan, seperti dituturkan Ali dalam Memori Jenderal Yoga, digelar di kantor Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX di Jalan Merdeka Selatan. Ali menyebutnya "sidang cabinet ndelik" atau ngumpet. Benny ikut rapat yang dihadiri Soeharto, Sultan, dan Menteri Luar Negeri Adam Malik itu. Ali mengaku diminta Soeharto memaparkan rencana operasi penghentian konfrontasi.
Pada November 1965, pertemuan perundingan digelar di Hotel Irawan, Bangkok. Salah satu yang memfasilitasi, menurut Des, adalah Kepala Staf Angkatan Bersenjata Thailand Marshal Dawee. Pertemuan berlangsung sukses. Tun Razak memuji Benny dan A.R. Ramly, utusan Ali.
Sejak itu, pertemuan susul-menyusul digelar di Malaysia. Agar operasi khusus berjalan sukses, tim Ali tak lagi menempuh rute Bangkok-Kuala Lumpur, tapi wajib berbelok via Hong Kong. "Ini supaya Benny tidak dikenal orang," kata Sugiyanto, perwira Opsus yang jadi tangan kanan Ali, kepada Tempo, akhir September lalu.
Sugiyanto sendiri ditugasi mengontak Jerry Sumendap, Daan Mogot, dan Welly Pesik yang wira-wiri Jakarta-Hong Kong-Bangkok. Jerry Sumendap dan Daan Mogot adalah tokoh Permesta yang kemudian menjadi usahawan. Mogot menikah dengan putri jenderal Taiwan.
Hong Kong tak hanya menjadi tempat transit, tapi juga poros berkumpulnya tim Ali. Pada 24 Mei 1966, misalnya, Des menjemput Ali dan Ramly yang sudah standby di Hong Kong untuk masuk ke Kuala Lumpur bersama Benny dan Daan Mogot. Hanya dalam beberapa jam perundingan berhasil. Dua negara setuju rujuk. Ali kembali pulang ke Jakarta melalui Bangkok.
Di Hong Kong, Jerry Sumendap mengirim keberhasilan itu dalam bentuk berita keluarga via RRI sebagai kode misi telah berhasil. Isinya: Daan Mogot harus menunggu di lapangan terbang Mapanget untuk menyambut kedatangan keluarga dari Jakarta.
Tiga hari kemudian, 27 Mei 1966, Indonesia mengirim misi muhibah yang dipimpin Laksamana Muda O.B. Syaaf, Kolonel Yoga Soegomo, Brigjen Kemal Idris, dan sejumlah petugas lain. Menumpang Hercules milik Angkatan Udara Republik Indonesia, mereka mendarat di Bandar Udara Internasional Subang, Kuala Lumpur.
Disambut Tun Abdul Razak dan Tan Sri Ghazali, inilah pertemuan resmi pertama sebagai hasil pertemuan-pertemuan rahasia itu. Kedua utusan sepakat maju ke meja perundingan.
Pada 1 1 Agustus, Tun Razak bertemu dengan Soeharto di Bangkok. Soeharto ditemani Menteri Luar Negeri Adam Malik, Dr J. Leimena, dan Sultan Hamengku Buwono IX. Dokumen rujuk kedua negara diteken. "Soeharto berdiri di belakang menyaksikan penandatanganan itu," kata Des.
Menurut Sugiyanto, demi memelihara perdamaian, Benny selanjutnya ditunjuk sebagai perwakilan Indonesia di Malaysia. Adapun A.R. Ramly menjadi perwakilan di Singapura. Pada ulang tahun kemerdekaan, Tun Abdul Razak diundang ke Istana Kenegaraan. Meski kikuk, Presiden Sukarno menerimanya sebagai tamu negara.
Koran Malaysia Terbitan Jakarta
MEDAN, 1965. Jarum jam menunjuk pukul satu malam ketika Herlina Kassim mengetuk pintu rumah Taguan Harjo di Jalan Ketam, Medan. Pelukis komik terkenal ini kaget melihat tamunya malam itu, Srikandi Trikora yang mendapat hadiah pending emas dari Presiden Sukarno.
Di tengah malam buta itu, anggota staf Pembangunan dan Penampungan Daerah Militer II Bukit Barisan tersebut mengangguk menerima tugas Herlina: membuat koran palsu. Herlina ditunjuk Ali Moertopo menjalankan operasi khusus ini. Ia dipilih karena pernah menerbitkan koran Cenderawasih dalam perjuangan merebut Irian Jaya pada 1961. Ali menjadi salah satu asisten intelijen operasi pasukan.
Koran yang diminta Herlina itu bernama Berita Harian, yang terbit di Semenanjung Malaya. Surat kabar itu sengaja dijiplak karena populer di Malaysia dan dicetak dengan huruf Latin, sehingga tidak sulit ditiru.
Koran palsu itu terbit pada akhir September 1965. Hampir seluruh isinya, propaganda antipembentukan Malaysia, didrop dari "kantor pusat" di Jakarta. "Kami menyebarkan di Semenanjung Malaya dan kawasan lain," kata Herlina Kassim dalam wawancara kepada Tempo, Agustus 1981. "Koran dianggap alat propaganda yang paling baik."
Di koran itu, Taguan didapuk menjadi "pemimpin redaksi". Berbekal setumpuk koran Berita Harian asli yang ditinggalkan Herlina, Taguan dan seorang temannya meramu berita. Bahasanya diganti bahasa Melayu koran asli. Klise iklan dan foto dijiplak bulat-bulat. Tanpa istirahat, selama 36 jam koran tersebut dipersiapkan dan dicetak.
Koran dicetak 5.000 eksemplar. Hanya 8 halaman, padahal aslinya 12. Semuanya dicetak secara rahasia di malam hari dengan penjagaan ketat. Sebuah percetakan kecil, Imalon di Medan, dipilih karena tidak mencolok. Ongkos cetaknya Rp 30 juta uang lama. Selesai cetak, klise dan sisa koran dibakar. Semua serba rahasia.
Koran itu diangkut enam tongkang ikan berisi lima "nelayan". Menyamar jadi nelayan, Herlina ikut sampai Pontian, pelabuhan kecil di Perak, Malaysia. Di negeri jiran itu telah siap ratusan kurir berbadan tegap menyebarkan koran tersebut. Koran palsu itu terbit sekali saja. Sebelum edisi kedua terbit, gerakan 30 September meletus. Operasi khusus menerbitkan koran palsu pun dihentikan.
Namun koran bukan satu-satunya alat propaganda mencegah ganyang Malaysia, operasi yang diinginkan Presiden Sukarno waktu itu. Sebelumnya, pertengahan 1964, ribuan selebaran dan pamflet ditebar dari pesawat ke Semenanjung Malaya. Isinya bertolak belakang dengan keinginan sang proklamator kemerdekaan: mengganyang Malaysia.
Seluruh cerita itu sampai ke Sukarno. Presiden, seperti dituturkan Oei Tjoe Tat dalam memoarnya, meradang. Berkali-kali ia menggebrak meja, menanyakan mengapa ada yang mau menyabot perintah operasinya. "Orang goblok macam mana yang menyebarkan ini?" katanya.
Menurut Oei, Sukarno curiga ada upaya sistematis melawan perintahnya mengganyang Malaysia. Oei mendapat instruksi menyelidiki siapa yang menikam Sukarno dari belakang, termasuk menghitung kekuatan musuh dan situasi di perbatasan. Seluruh kegiatan Oei di bawah mentoring Soebandrio dari Badan Pusat Intelijen.
Sukarno menebar jejaringnya untuk mengintip hasil operasi Dwikora yang dipimpin Soeharto itu. Salah satunya mengirim Soekendro, perwira intelijen dari Markas Besar Angkatan Darat, untuk mengawasi tim Soeharto. "Salah satu yang diawasi adalah perilaku kami," ujar Aloysius Sugiyanto, perwira pembantu Ali Moertopo di Operasi Khusus.
Aksi saling intip pun terjadi. Ke perbatasan Kalimantan, Oei menyamar jadi pengusaha dan mengumpulkan informasi soal operasi tim Ali. Soebandrio mengutus Soekendro menempel tim Ali. Namun saling intip itu pun buyar setelah peristiwa Gerakan 30 September meletus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo