Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dari satu kasus positif Covid-19 di Indonesia, tak sampai empat orang yang dilacak dan kemudian diisolasi.
Lebih dari 12.500 orang yang terkonfirmasi positif di Jakarta tak diketahui keberadaannya.
Dinas kesehatan terkendala dana dan sumber daya manusia.
BEBERAPA kali berkontak erat dengan pasien Covid-19 dalam dua bulan terakhir membuat Jo—sebut saja demikian—khawatir dan bingung. Dokter yang sedang menempuh program pendidikan dokter spesialis di Jakarta itu belum pernah dites untuk mengetahui apakah ia tertular penyakit itu atau tidak. “Saya sudah isi formulir kontak erat, bahkan mengajukan surat ke rumah sakit bulan lalu, tapi sama sekali belum dites swab,” katanya pada Jumat, 4 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Program pendidikan dokter spesialis yang dilakoninya mengharuskan Jo berpindah praktik dari satu rumah sakit pendidikan ke rumah sakit pendidikan lain dalam beberapa bulan. Ia kini sudah pindah ke rumah sakit lain tanpa tahu apakah ia membawa virus SARS-CoV-2 atau tidak. “Padahal saya masuk ke lingkungan baru dan menangani pasien. Itu kan membahayakan,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesulitan mengakses pengetesan sebenarnya sudah Jo alami sejak awal pandemi. Salah seorang kerabat dekatnya yang juga dokter meninggal akibat virus corona baru itu pada Maret lalu. Rumah sakit yang menanganinya berjanji melakukan uji usap kepada anggota keluarga terdekat, termasuk Jo. Namun, setelah menunggu berhari-hari, mereka tak kunjung dites. Mereka baru di-swab setelah seorang rekannya mengontak langsung pegawai dinas kesehatan kenalannya. Pusat kesehatan masyarakat atau puskesmas akhirnya turun tangan mengetes mereka.
Juli lalu, kata Jo, ibunya juga dirawat di sebuah rumah sakit swasta karena penyakit lain. Dari hasil uji usap, sang ibu dinyatakan positif Covid-19, tapi tak ada satu pun petugas kesehatan menindaklanjuti hasil tes tersebut. Tak ada penelusuran kontak, apalagi mendatangi keluarga untuk tes swab. “Saya bingung apakah harus kontak lagi ke dinkes,” katanya.
Kacaunya penelusuran kontak erat tersebut juga dicatat Kawal Covid-19. Menurut data mereka, hanya sedikit daerah yang melakukan pelacakan dan isolasi cukup baik. “Misalnya Riau, Kalimantan Barat, dan Jambi,” ujar Koordinator Data Kawal Covid-19 Ronald Bessie.
Adapun angka rasio lacak dan isolasi di daerah lain masih sangat minim. Di Jakarta, misalnya, angkanya terus merosot sejak Juni lalu. Saat ini, rasio lacak dan isolasi DKI hanya 2. Artinya, dari satu kasus positif Covid-19, hanya ada dua orang yang kemudian dilacak dan diisolasi. “Padahal tinggal tunjuk keluarga dalam satu rumah untuk kontak dekat itu sudah dapat empat orang,” ujarnya. Sedangkan angka rasio lacak dan isolasi nasional pun hanya 3,9.
Problem lain, kata Ronald, adalah banyaknya kasus positif yang tak diketahui keberadaannya. Di Jakarta saja, lebih dari 12.500 orang yang terkonfirmasi positif belum diketahui berada di mana. Salah satu sebabnya adalah masalah koordinasi antara rumah sakit yang melakukan tes dan dinas kesehatan. Lebih dari 50 persen kasus positif di Jakarta ditemukan dari tes mandiri di rumah sakit dan tak dilakukan pelacakan kontak, seperti yang dialami ibu Jo.
Padahal panduan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan minimal 80 persen orang yang memiliki kontak dengan pasien positif Covid-19 harus sudah ditemukan dalam waktu kurang dari 72 jam. Mereka harus segera dites dan selama menunggu hasilnya harus diisolasi. WHO juga mensyaratkan ada lebih dari 30 orang yang dilacak untuk setiap kasus positif. “Itu yang paling bagus,” kata epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono.
Jika dilakukan dengan masif, kata Ronald, pengetesan, pelacakan kontak, dan isolasi bisa menekan laju kenaikan Covid-19. Cara ini juga akan membuat mereka yang positif bisa ditemukan sedini mungkin saat gejalanya belum parah. “Kita lihat semua rumah sakit di Jabodetabek sudah penuh. Padahal, kalau mau bendung kenaikannya, justru dimulai dari hulu,” ujarnya. Namun, kata dia, masalahnya tak ada angka minimal jumlah pelacakan kontak yang harus dipenuhi petugas pelacakan di lapangan.
Petugas pelacakan kontak dari Puskesmas Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Ahmad Tantowi, membenarkan hal ini. Ahmad bekerja berbekal buku Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease (Covid-19) yang diterbitkan Kementerian Kesehatan pada Juli lalu. “Saya bisanya melacak sepuluh orang dari satu pasien positif,” tuturnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam, Kepulauan Riau, Didi Kusumarjadi, juga mengatakan tak ada kuota yang harus dipenuhi petugas di lapangan. Ia juga tak hafal jumlah rata-rata pelacakan kontak yang dilakukan petugasnya. “Enggak pernah menghitung kayak gitu. Repot,” ujarnya.
Juru bicara Gugus Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan pemerintah tak menetapkan kuota minimal penelusuran kontak untuk setiap orang yang positif. Sebab, setiap orang memiliki mobilitas yang berbeda sehingga jumlah pertemuan dengan orang lain pun tak sama.
Tapi, kata dia, pelacakan kontak bukanlah masalah sederhana. Pelacakan merupakan kegiatan mendeteksi segera orang yang mungkin tertular setelah diketahui adanya kasus positif. Masalahnya, hasil uji usap baru bisa diketahui satu hari hingga sepekan setelah tes.
Pada masa menunggu tersebut, orang yang dites itu belum mendapat kepastian hasil sehingga merasa tak positif. Ia bisa pergi ke mana pun dan bertemu dengan siapa pun. Makin lambat hasilnya keluar, potensi berkontak dengan orang lain makin besar. “Ketika kemudian hasilnya positif dan dia diminta mengingat siapa saja yang ditemui, mungkin dia sudah lupa sebagian,” tutur Wiku. Ini yang kemudian menyulitkan petugas dan membuat hasil pelacakan jadi tak sesuai dengan standar WHO.
Wiku mengatakan, jika seseorang baru diketahui positif setelah menjadi pasien di rumah sakit, pihak rumah sakit harus melaporkannya ke dinas kesehatan setempat agar dilakukan penelusuran kontak. Dinas kesehatan kemudian mendatangi satu per satu orang yang berkontak itu untuk memastikan dan mengecek kondisinya.
Jika satu pasien bertemu dengan 20 orang sebelumnya, ke-20 orang tersebut harus ditemui. Sedangkan saat ini angka peningkatan kasus nasional sekitar 3.000. “Apakah dinas punya dana untuk pelacakannya, petugas yang paham caranya, dan kepala daerah yang kreatif untuk mengatasi pandemi di daerahnya? Tak semuanya punya,” kata Wiku.
Menurut Ahmad Tantowi, kendala utama pelacakan kontak di lapangan adalah tak semua orang mau blakblakan menjawab pertanyaan petugas. Banyak di antara mereka ogah bercerita ke mana saja pergi dan dengan siapa saja bertemu. “Ada keluarga yang menutupi riwayat perjalanannya,” ujar Ahmad. Jika kondisinya begitu, biasanya nama kontak yang dia dapat tak sampai sepuluh.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor Sri Nowo Retno mengatakan banyak pasien yang tak mau terbuka karena khawatir dirisak orang di sekitarnya. Sebab, penderita Covid-19 masih mendapat stigma buruk di masyarakat. “Mereka rela berbohong,” ucapnya.
Seperti diakui juru bicara pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk penanganan Covid-19, Berty Murtiningsih, kemampuan sumber daya manusia juga tak optimal. Pelacakan kontak membutuhkan keahlian khusus. “Kami berusaha mengatasi kendala itu dengan mengupayakan pelatihan,” ujarnya.
Adapun Kepala Dinas Kesehatan Jawa Tengah Yulianto Prabowo mengakui perihal keterbatasan anggaran. Mereka harus membagi anggaran Rp 400 miliar untuk tahun ini. Duit itu dipakai untuk semua penanganan pandemi Covid-19, termasuk karantina, alat pelindung diri untuk petugas, pembelian alat kesehatan, dan pelacakan. “Kalau habis sekarang, nanti bagaimana?” tuturnya.
Untuk meningkatkan pelacakan kontak, Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan Vensya Sitohang mengatakan Kementerian sudah menyusun modul pelacakan kontak bersama Badan Pangan dan Pertanian (FAO). Kementerian juga menyiapkan relawan dan dukungan pendanaan serta sedang mengembangkan aplikasi untuk pencatatan dan pelaporan pelacakan. “Aplikasinya sudah diujicobakan di Banyuwangi,” ujarnya.
NUR ALFIYAH, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), JAMAL A. NASHR (SEMARANG), NOFIKA DIAN NUGROHO (MADIUN), YOGI EKA SAHPUTRA (BATAM), MURTADHO (BOGOR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo