Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ROBBY Sumampow begitu mengenal Benny Moerdani. Pengusaha yang pernah menjadi Komisaris Utama PT Citra Marga Nushapala Persada ini mengaku tidak akan pernah bisa melupakan sosok intelijen tangguh tersebut. Saking dekatnya mereka, Benny memberi julukan Kethek-dalam bahasa Jawa berarti "monyet", yang merujuk pada shio tahun kelahirannya-kepada lelaki yang sekarang berusia 70 tahun ini dan nama itu melekat sampai sekarang.
Robby mengaku sempat memprotes pemberian julukan itu karena Benny ternyata memiliki shio yang sama. "Lah, emange nek aku kethek, sampeyan opo (Memangnya kalau aku monyet, Anda apa)?" Benny enteng menjawab, "Kalau aku, Hanoman. Kamu monyet, pakai ogleng."
Bagi Robby, Benny, yang terkenal dengan "gaya" seram, juga memiliki banyak canda. Selama 30-an tahun "pertemanan" keduanya, bapak lima anak ini mengerjakan begitu banyak "operasi" Benny. Di antaranya membuka perekonomian di Timor Timur yang bablas lama, memegang monopoli berbagai bisnis, serta membangun tempat penampungan pengungsi Vietnam di Pulau Galang. Jumat sore dua pekan lalu, di restoran Rise di lobi Marina Bay Sands Hotel, Singapura, Robby buka-bukaan tak hanya mengenai kedekatannya, tapi juga tentang berbagai "persekutuan" bisnis dengan mantan Panglima ABRI itu.
Sejak kapan Anda mulai dekat dengan Benny?
Waktu itu Pak Benny ditugasi ke Malaysia, kemudian ke Korea. Kalau dia pulang ke Indonesia, saya ditelepon. Itu 1970-an, on-off. Akhirnya, sewaktu peristiwa Malari terjadi, pada 1974, dan beliau tetap di Indonesia, dari situlah saya sering menemani. Dia itu tidak pakai sopir. Saya yang jadi sopirnya.
Bagaimana Benny mengajak Anda masuk ke Timor Timur?
Dia bilang, "Kalau kamu mau jadi pengusaha, jadilah pengusaha yang ikut berjuang. Jangan hanya dagang." Ada visi-misi di situ. Lalu dia bilang, "Aku butuh pengusaha untuk ke Timor Timur."
Anda masuk saat daerah itu dalam keadaan perang?
Pak Benny meyakinkan saya dengan mengatakan, "Nomor satu, pokoknya kamu bersedia dulu masuk ke Timor Timur. Pokoke kamu di sana di-back up, tidak akan diganggu tentara. Tentara akan jaga."
Apa yang diinginkan Benny?
Dia mau ekonomi jalan untuk meramaikan kota. Selama ini tegang terus. Untuk menjalankan roda ekonomi, orang yang sudah bekerja harus dipulihkan. Misi ini akhirnya diserahkan ke saya untuk buka toko-toko.
Jadi kapan pertama kali membuka toko?
Akhir 1976. Pak Benny juga ikut menentukan barang yang harus dibeli. Disuruh beli jaring, pacul, sepeda. Semula saya ragu usaha di Timor Timur akan laku. Namun Pak Benny meyakinkan dan tetap meminta saya jalan: "Pokoknya, kamu beli dulu."
Akhirnya, benar saja, barang yang kami beli itu menumpuk selama lima tahun. Waktu Pak Benny ke sana, saya bilang, "Pak, barang yang Anda suruh beli masih menumpuk." Beliau hanya menjawab singkat, "Itu risiko dagang."
Adakah cerita lucu saat di Timor Timur?
Waktu acara 17 Agustus, Benny mau ada bendera yang banyak serta foto Pak Harto dan wakil presiden waktu itu. Karena diminta, saya membeli satu gudang dengan tujuan bisa dijual. Namun, hingga 17 Agustus lewat, dagangan itu enggak laku. Pak Benny bilang, daripada menumpuk di gudang, dibagikan saja. Rupanya ada peninjauan dari utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan mereka terkejut saat melihat banyak terpasang bendera Merah Putih. Pak Benny kemudian memberikan sebuah foto ke saya. "Lho, itu benderamu," katanya sambil tertawa. Senang dia bisa ngibulin saya.
Dari bisnis di Timor Timur, Anda mendapat untung besar?
Tidak mungkinlah untung banyak. Di sana itu tenaga kerja dan bahan dari Jawa. Kalau pikir untung-untungan, saya tidak mau ke sana.
Setelah Timor Timur, proyek apa lagi yang Anda kerjakan dari Benny?
Pengungsi Vietnam. Dia bilang ke saya, "Kamu sanggup apa enggak dalam tiga bulan menampung 30 ribu orang?" Waktu itu dalam posisi semua belum ada di Pulau Galang. Pokoknya, kami berusaha bagaimana caranyalah. Tukangnya naik pesawat semua. Didesain dulu, digarap di Pulau Jawa. Nanti di situ tinggal pasang-pasang. Akhirnya berdiri dan bisa terlaksana. Sampai-sampai dipuji oleh UNHCR (badan PBB urusan pengungsi).
Bagaimana dengan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB)?
Soal SDSB, Menteri Sosial ketika itu, Sudharmono, mencari saya melalui Pak Benny dan melalui siapa saja. Waktu itu saya pulang dari Asian Games, pertandingan menembak. Pak Benny sebenarnya sudah tidak suka saya di judi. (Robby berbisnis kasino di Australia.) Pak Benny bilang, "Udah, enggak usah!" Tapi, ketika saya pulang, malah diminta lagi. Saya bilang tidak mau. Akhirnya Pak Benny yang meminta-minta. Pak Benny tanya, "Kowe iso opo ora (Kamu bisa atau tidak)?" Saya tidak tahu. Ini kan scope-nya nasional. Akhirnya berhasil. Tapi di jalan dipotong. Kalau di Timor Timur, Pak Benny konsekuen.
Selama menjalin hubungan pertemanan dengan Benny, pernah dimarahi habis-habisan?
Soal Timor Timur. Entah itu isu dari orang yang tidak suka atau apa. Pokoknya, kapal kami berhenti di Surabaya untuk menurunkan barang. Waktu itu soal radio. Saya dilaporkan menurunkan radio di pelabuhan. Kapal saya dibilang menyelundupkan begini, begini. Wah, Pak Benny marahnya minta ampun. Sampai saya anggap hubungan kami putus. Ngomong-nya kasar banget. Sebab, dia sudah berpesan dari awal, "Kalau kamu macam-macam, pokoknya kamu enggak usah lagi berhubungan dengan saya."
Bagaimana kemarahannya ketika itu?
Saya ditelepon, dia marah-marah. Saya mendengarkan saja. Saya bilang, "Sudah cukup, Pak." Mungkin Pak Benny juga bingung, kenapa saya tidak ada reaksi. Saya enggak kontak lagi.
Yang Anda lakukan?
Saya panggil orang-orang saya, dong. Eh, brengsek betul. Krunya turun untuk mengisi air di Surabaya. Turun membawa satu-dua radiolah. Mereka itu kru yang pulang. Bukan sengaja nurunin radio yang banyak. Informasi itu enggak bener. Kami sudah brief habis-habisan tiap berangkat, "Kamu sampai nyeleweng, tak gantung!"
Bagaimana hubungan membaik setelah itu?
Akhirnya, saya dipanggil Pak Benny. Tapi saya tidak datang. Kalau nanti dimaki-maki lagi, saya enggak enak, kan. Saya sudah tahu watak Pak Benny. Kalau habis, enggak usah banyak cinconglah. Saya bilang ke anak buahnya, "Aku lagi di Solo." Anak buahnya bilang, "Pak, ini penting!" Saya tetap tidak mau datang. Ngapain? Sudah memakinya luar biasa. Saya pikir itu orang marahnya kebangetan betul. Akhirnya, Pak Benny menelepon saya. "Thek…." "Yo, Pak." "Kamu posisi di mana? Ini hari ada acara apa?" Saya bilang di rumah. "Ada waktu enggak?" katanya. Pak Benny bilang, "Thek, sorry yo. Itu brengsek laporannya. Jalan terus, sorry yo."
Benny gampang meledak?
Banget. Pernah dia memukuli satpam-satpam di bandara karena Ibu ditowel tidak sopan. Waktu itu mereka mau ke Singapura.
Apa dia juga suka bercanda?
Saya pernah dia telepon dari Australia dan dia minta dijemput ke bandara. Dia meminta saya menunggu di tempat barang. Permintaan itu aneh karena biasanya saya menunggu di ruang VIP. Saya kaget, saat saya menunggu, tiba-tiba saja dia keluar dari lubang barang sambil tertawa. Belakangan saya tahu, dia memilih jalan itu guna menghindari orang-orang yang ingin bertemu di ruangan VIP.
Apa pengaruh Benny terhadap Anda?
Dengan keberadaan Pak Benny, saya besar. Sama Pak Benny kan ada pamornya. Itu menguntungkan. Saya tahu Pak Benny orang yang paling susah. Tapi saya bisa lulus dari situ. Kan, jadi kebanggaan tersendiri. Sekarang tidak ada lagi. Saya terpengaruh tidak bekerja sangat keras.
Ia juga terjun berbisnis dengan Anda?
Tidak.
Bagaimana Anda melihat sosok Benny?
Dia sangat serius menjalankan tugas negara. Benny all-out. Hidup dia untuk Merah Putih. «
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo