KANTUK itu ada induknya. Ini bisa jadi rahmat, bisa pula membuat kiamat. Di bagian kedua ini Anto Robel, 25 tahun, masuk perangkap. Ayah satu anak itu sehari-hari bekerja sebagai buruh bangunan di Medan, Sumatera Utara. Sentana kerja rutin itu sedang sepi, lelaki berperawakan langsing ini kemudian menarik becak. Dari genjot-menggenjot pedal becak itu, Anto mendapat rata-rata Rp 3 ribu sehari. "Lumayanlah untuk makan bersama anak dan isteri," katanya. Pokoknya, Anto paham benar mendapatkan uang secara halal. Bagus. Sampai pada suatu hari mampir hasutan malas dalam dirinya, sementara pekerjaan mengocok semen di proyek bangunan pun sedang sepi. Muncul rasa iseng, ia lalu bergabung dengan konco-konconya di simpang jalan. Waktu itu masih dalam suasana Tahun Baru. Ada latah yang melanda kalangan semacam Anto untuk tak ketinggalan kereta berhura-hura. Ya, dengan cara semampunya pula: mereka hanya berpangkalan di simpang Jalan Pelita IV, Medan, sejak sore. Maunya meniru orang gedongan, ya, mereka pun menenggak minuman botol pula. Cuma kelasnya botol murahan, seperti Step (Stephenson) dan Cap Kamput alias Kambing Putih. Itulah yang silih berganti tumpah di kerongkongan mereka. Suasana makin meriah, karena acara itu dihiasi pula dengan lagu-lagu bernada sumbang. Maklum, yang menyanyi sudah mulut botol. Meski sudah puluhan botol bergeletakan, suasana masih tetap aman dan terkendali. Dengan kata lain, mereka belum sampai jadi urusan petugas keamanan. Bahkan mereka masih bisa pulang ke rumah sekali pun dalam keadaan sempoyongan. Anto sendiri, karena merasa belum apa-apa, tak langsung pulang. Dan mau saja diajak berjalan-jalan oleh Pahala, salah seorang temannya minum. Di tengah asyik mengukur jalan itulah, dengan kesadaran berselimut arak, menurut Anto, Pahala mengajaknya masuk ke sebuah rumah yang mereka lewati di Jalan Durian. "Aku mau saja, padahal aku belum pernah jadi maling," cerita Anto kepada Irwan E. Siregar dari TEMPO. Mereka lalu mencari kayu untuk dijadikan tangga memanjat tembok setinggi 3 meter itu. "Tak payah kami melakukannya," kata Anto. Babak pertama dilewati dengan mulus. Tapi babak berikutnya, mereka tersendat. Sebab, ketika mereka akan memasuki rumah, ternyata tuan rumah -- Tan Guek Bei, bersama keluarganya belum tidur. Maklum, waktu itu baru pukul 8 malam. Mereka timbang-timbang, untuk menerobos masuk mereka tak cukup punya nyali. Untuk balik-lantun saja rasanya buntut belut sudah di tangan. Maka buat sekadar membunuh waktu, mereka putuskan untuk menunggu di teras rumah itu. Sementara menunggu seisi rumah itu sampai ditelan kantuk, eh, malah Anto yang terserang kantuk. Ia berniat keluar saja dari situ. Namun kantuk yang menyerangnya, rupanya, tulen induk kantuk yang tak bisa ditawar-tawar. Apa lagi jika menguap dengan bumbu alkohol, tak tertahankan lagi, Anto pun lena. Mendengkur, mirip mesin disel. Begitu pulasnya, hingga dia tak tahu Pahala meninggalkannya sendirian di situ. Ketika dia terbangun hari sudah terang. Malahan orang sekampung riuh mengepungnya. Para tetangga berdatangan setelah diberitahu Tan Guek Bei. Tuan rumah ini terkesiap melihat pagi-pagi ada orang tidur di teras rumahnya, padahal rumah itu dibentengi dinding tembok tinggi. Babak berikutnya mudah diterka: babak belur buat Anto. Sehabis itu baru dia diboyong ke Polsek Medan Timur. Meski tak terbukti mencuri w kecuali hanya tidur di teras rumah orang w berkasnya diteruskan ke kejaksaan. Puncaknya, pada 17 Maret lalu, setelah dua kali sidang, Hakim Sofyan Tanjung dari Pengadilan Negeri Medan mengganjarnya empat bulan penjara potong masa tahanan. Ini klop dengan tuntutan Jaksa B. Tarigan yang menjitaknya dengan pasal 363 KUHP, dan terbukti melakukan percobaan pencurian. Sementara Anto masih harus mendekam dua bulan di Lembaga Pemasyarakatan Tanjunggusta, Medan, Pahala buron sampai kini. Belakangan baru Anto menyadari sudah terjerumus mengikuti ajakan Pahala yang sama sekali tak jelas pahalanya, kecuali malah masuk penjara. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini