Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Lat denyut budaya melayu

Kartunis malaysia, mohamad nor khalid alias lat, datang ke jakarta dan surabaya. karya kartunis kesohor itu orisinil, daya rekamnya sangat baik terhadap keadaan masyarakat disekelilingnya.

11 April 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA bukan lalat. Tapi namanya mirip seranggga: Lat. Tubuhnya juga tidak kecil seperti lalat, bahkan gembrot. Hidungnya pun bulat. Lelaki berkulit sawo matang kecokelatan ini memang aneh. Dulu, namanya Mohamad Nor Khalid. Tapi kenapa kini menjadi Lat? Rupanya memang ada ceritanya. Sekitar 30 tahun lampau, karena tubuh si Khalid yang subur itu bulat, dipanggillah ia si Bulat. Belakangan sampai sekarang ketika usianya 41 tahun, jadilah nama panggilannya: Lat. Lucunya, ayah empat anak ini sehari-hari tidak lucu. Ia malah santaisantai saja. Dan anehnya, wajahnya bahkan tampak selalu serius. Si Lat dari negeri jiran, Malaysia, inilah yang pekan lalu ngeloyor ke Jakarta dan Surabaya. Dia ini kartunis kesohor, yang karyanya sering nongol di majalah HumOr. Di Malaysia, Lat menjadi "raja" di antara para kartunis. Kartun-kartun lucu itu di sana rupanya sangat digemari. Ada lima majalah yang khusus memuat kartun. Apa yang menarik dari goresan-goresan Lat? "Ia punya semangat dan akar Melayu yang utuh," kata kartunis G.M. Sudharta. "Gambarnya selalu konsisten, tidak dibuat-buat. Caranya mengkritik pun khas Melayu," tambah kartunis, yang melahirkan tokoh Oom Pasikom ini. Gaya Lat memang orisinil. Itulah yang juga dilihat oleh kartunis Dwi Koen. "Garis-garisnya naif dan pribumi. Kartunnya mencerminkan denyut budaya Melayu," ujar Koen. Di mata karikaturis Priyanto S., Lat mempunyai keistimewaan yang lain, yaitu daya rekamnya yang sangat baik terhadap keadaan masyarakat di sekelilingnya. Ia pandai menangkap situasi secara fotografis dengan pengambilan sudut pandang yang unik. "Ini membuat tokoh-tokoh kartunnya jadi sangat lucu," katanya. Ia juga berani "merusak" bentuk tokoh-tokohnya. "Inilah kekuatan karyakarya Lat," tutur dia lagi. Kekuatan Lat itu rupanya sudah berbenih sejak ia kecil. Sejak masih kanak-kanak ia memang sudah suka melukis -- dibimbing ayahnya sendiri, yang konon berdarah Bugis. Ketika berusia 13 tahun, kartun-kartun karyanya sudah dimuat di sebuah majalah film. Ia masih sangat belia ketika bukunya, Tiga Sekawan, terbit. Buku itu segera disambut anak-anak seusianya. Karirnya sebagai kartunis menanjak ketika ia berusia 17 tahun. Ketika itu ia melukis seri kartun Keluarga si Mamat, dimuat setiap pekan di Berita Minggu. Ceritanya mengenai si Mamat, adik bungsunya, tengah alam kanak-kanak. Tahun depan kartun seri itu berusia 25 tahun dan Lat akan merayakannya dengan menerbitkan kembali karyanya pada tahun 1968 itu. "Ketika saya baru mulai melukis, lukisan saya cantik-cantik. Lama-kelamaan lukisan saya sederhana," kata Lat. Ia suka melukis kartun karena, katanya, kartun dapat membuat orang tertawa. Dengan kartun pula ia dapat melukis kawannya yang bergigi tongos atau meledek gurunya yang lagi marah-marah. "Saya kan tidak berani berhadapan dengan guru yang tengah marah. Jadi, saya lukis saja dia", tuturnya. Kesukaannya meledek itulah yang mungkin mendorongnya menjadi kartunis. Sejak tahun 1974, ia melancarkan kritik sosial lewat kartun-kartunnya. Dengan kartun pula ia bercerita mengenai dirinya sendiri, dengan latar belakang masyarakat Melayu, yang tentu sangat dikenalnya. "Sebaik-baik cerita digali dari diri-sendiri. Kita bisa mengetahui seluruh adegan sekecil apa pun dengan tepat," katanya. Ada tiga buku kartun mengenai dirinya sendiri. Kampung Boy, terbit pada tahun 1979, bercerita tentang kehidupannya sejak Lat lahir hingga ia berusia 10 tahun. Lalu, Town Boy, tentang riwayat hidup Lat sejak usia 11 tahun hingga 17 tahun dan Mat Som, melukiskan seorang pemuda yang tiada lain Lat sendiri, yang berkelana ke Kuala Lumpur mencari pekerjaan. Kedua buku itu terbit pada tahun 1989. Setiap tahun bukunya terbit. Di antaranya Lat and his Lot, La's Lot, Lots of Lat, The Kampung Boy, Budak Kampung, With a Little Bit of Lat, Lots More Lat, dan sebagainya. Lat semata-mata hidup sebagai kartunis. Itulah hebatnya. Untuk Mat Som seharga 6 ringgit (sekitar Rp 4.500), misalnya, ia mendapat royalti 10%. Ratarata bukunya dicetak sekitar 70.000 eksemplar, misalnya Kampung Boy. Juga buku-bukunya yang lain, yang dicetak berulang kali. Jadi, untuk sebuah buku saja, Lat dapat mengantongi lebih dari Rp 30 juta -- angka yang dapat membuat iri para kartunis Indonesia. Padahal, beberapa karikaturnya cukup pedas meskipun tetap dengan sindiran gaya Melayu yang cukup halus. "Saya tidak takut mengkritik masyarakat karena masyarakat juga tidak selalu benar," katanya. Ia juga berani mengkritik tokoh-tokoh masyarakat, bahkan pejabat penting. "Kalau orang sekarang makin tamak, saya harus gambarkan kenapa menjadi tamak dan bagaimana hidupnya dulu yang tidak tamak," katanya lagi. Mengapa sekarang tidak ada lagi kartunis Indonesia yang menggali "denyut masyarakatnya sendiri"? Padahal, dulu ada kartun Gareng-Petruk, PutOn, atau Si A Piao. Kartunis Priyanto S., yang juga dosen kartun di FSRD ITB itu, tahu sebabnya. Jawabnya, tentu khas kartunis, "Sebenarnya sekarang juga masih ada, misalnya, Doyok di Pos Kota Minggu. Tapi saya nggak tahu, kenapa sekarang tidak ada lagi kartun lucu yang bagus. Saya kira mungkin masyarakat kita sudah tidak lucu lagi. Atau mungkin justru semakin lucu hingga tidak perlu lagi melucu." Budiman S. Hartoyo, Sitti Nurbaiti, dan Dwiyanto Rudi S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus