ISLAM:DOKTRIN DAN PERADABAN Oleh: Nurcholish Madjid Penerbit: Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1992, 725 halaman KETIKA buku Islam: Doktrin dan Peradaban terbit, Nurcholish Madjid masih sebagai guru besar tamu pada Universitas Mc Gill, Montreal. Rupanya, di selasela saat mengajar itulah Nurcholish punya peluang menulis kata pengantar "Umat Islam Indonesia Memasuki Zaman Moderen" (113 halaman) untuk buku yang menghimpun 23 artikel ceramah bulanannya pada Klub Kajian Agama (KKA), Yayasan Paramadina. Buku Islam: Doktrin dan Peradaban sebuah karya monumental karena berisi gagasan yang digumuli tokoh pembaharu pemikiran Islam itu dalam rentang waktu lima tahun terakhir. Nurcholish, menurut pengakuan sendiri, tidak berniat tampil sebagai "pembaharu" ketika melontarkan gagasannya Keharusan Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat pada 1970. Lantaran diserang, terutama oleh Menteri Agama RI pertama, Prof. H.M. Rasjidi, dan Endang Saifuddin Anshari, teman segenerasinya, Nurcholish terpaksa menjelaskan berbagai konsep pembaharuan yang dilontarkannya, terutama tentang "sekularisasi". Tahun 1972, Nurcholish diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk menjelaskan gagasannya di Taman Ismail Marzuki. Pada kesempatan itu ia melontarkan pemikiran tentang Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Ummat Islam Indonesia. Lagilagi gagasannya diulas tajam Rasyidi. Nurcholish diserang dari sudut interpretasinya tentang berbagai istilah sosiologis, seperti sekulasisasi, rasionalisasi, dan desakralisasi. Menurut Rasyidi, cara Nurcholish mengartikan istilahistilah itu bersifat arbitrer -- semau gue. Kemudian Rasyidi memperluas kritiknya pada interpretasi Nurcholish tentang berbagai konsep keislaman, seperti iman, amal saleh, akhirat, khalifah, dan rahbaniyah. Serangan Rasyidi memang menyangkut hal-hal yang sangat fundamental. Masyarakat, termasuk generasi muda yang mendukungnya, menunggu jawaban Nurcholish yang lebih tuntas, tapi waktu itu belum muncul. Tahun 1978, Nurcholish berangkat ke Amerika untuk belajar pada Universitas Chicago, setelah sebelumnya mendapat kursus sosiologi dari ilmuwan terkemuka seperti, Taufik Abdullah dan Harsya Bachtiar di Leknas. Di Chicago, Nurcholish banyak berguru kepada Prof. Fazlur Rahman, sarjana muslim kaliber dunia asal Pakistan yang pernah mengalami serangan serupa di tanah kelahirannya sehingga menyebabkannya hijrah ke Amerika. Pada mulanya Nurcholish direncanakan untuk belajar sosiologi agama, tapi belakangan pindah ke filsafat, bidang yang lebih sesuai dengan minat dan pengetahuan dasar yang diperolehnya di Pesantren Gontor dan IAIN. Ketika telah kembali ke Indonesia, Nurcholish banyak memperkenalkan gagasan Fazlur Rahman sehingga terkesan atau dianggap sebagai penganut paham NeoModernisme, yang dikembangkan gurunya. Selama "bertapa" di Chicago, Nurcholish memang banyak belajar dan memperdalam ilmunya. Sebelumnya ia tetap mengembangkan pemikirannya. Sekalipun pemikirannya dianggap sebagian orang "kontroversial", Nurcholish tetap diundang oleh kalangan luas untuk berceramah dan menulis. Ini menunjukkan bahwa dirinya sebenarnya mendapat dukungan luas. Itulah sebabnya Nurcholish akhirnya "dikukuhkan" sebagai tokoh pembaharu pemikiran Islam. Sekembalinya dari Chicago, masyarakat luas menunggu kelanjutan pemikiran Nurcholish, terutama dalam menjelaskan pendirianpendirian terdahulunya. Salah satu yang ditunggu-tunggu adalah jawaban atas pertanyaan: apakah Nurcholish telah berubah dan menarik kembali pemikiran-pemikirannya terdahulu? Seluruh artikel dalam Islam: Doktrin dan Peradaban serta pengantar yang teramat panjang itu, menurut saya, adalah merupakan rekonstruksi pemikiran Nurcholish yang sedang mencari simpul-simpul gagasan ke arah kemajuan (idea of progress) dalam pemikiran keagamaan. Sepuluh artikel pertama dalam Islam: Doktrin dan Peradaban mendalami makna iman dan doktrin tauhid yang disebutnya sebagai paham "monoteisme keras" di antara agama-agama dunia. Dengan interpretasinya yang segar tentang ayatayat Quran yang sangat dikuasainya itu Nurcholish menjelaskan konsep-konsep dasar, seperti takwa, tawakal, dan ikhlas sebagai simpulsimpul keagamaan pribadi dan konsekuensi sosialnya. Dari pembahasan yang mendasar itu Nurcholish mengupas konsekuensi iman dan doktrin tauhid terhadap nilai-nilai universal, seperti kemanusiaan dan keadilan. Salah satu hal yang ingin dikemukakannya bahwa nilai-nilai dasar Islam itu tidak saja kompatibel dengan dunia modern tapi merupakan gagasan yang senantiasa modern. Keterbukaan, kesediaan untuk menerima unsur-unsur budaya dari luar atau kebudayaan setempat, dan suatu zaman serta kemampuan untuk bergaul dalam masyarakat yang majemuk adalah kunci kemajuan. Soalnya, apakah nilai dan paham ini terdapat secara intrinsik dalam ajaran Islam? Itulah yang ingin dikemukakan Nurcholish, tidak hanya dengan melakukan interpretasi dan reinterpretasi terhadap ajaran Islam, melainkan dengan mengemukakan bukti sejarahnya dalam pertumbuhan peradaban Islam di masa lalu, dalam pahampaham teologi, fikih, dan tasauf. Dengan itu, Nurcholish hendak mengantarkan umat Islam, khususnya di Indonesia, memasuki zaman baru yang penuh tantangan. Ia menjelaskan bagaimana, pada masa lalu, Islam telah melakukan peran transformatifnya. Guna menghadapi situasi baru, nilai-nilai budaya yang berakar pada ajaran Islam itu memerlukan reaktualisasi. Dalam proses transformasi sosial ada dua hal yang perlu dijelaskan. Pertama, adalah kaitan organik iman dengan ilmu pengetahuan. Kedua, peran dialog budaya dalam pluralisme masyarakat. Nurcholish dengan buku Islam: Doktrin dan Peradaban sebenarnya masih belum beranjak dari tema yang dilontarkannya pada awal 1970-an. Hanya saja ia sekarang berbicara dalam substansi dan bukan hanya melontarkan konsep umum yang abstrak, seperti sekularisasi, yang memang mudah menimbulkan kesalahpahaman itu. Kini ia menjelaskan gagasan pembaharuannya tersebut dengan bertutur tentang sejarah peradaban Islam dan semangat yang dibawanya sebagai perwujudan doktrin Islam yang universal. Inti dari seluruh gagasannya itu agaknya telah bergeser dari sekularisasi ke pluralisme, baik sebagai doktrin Islam maupun lingkungan budaya yang harus disadari dalam memasuki zaman modern. M. Dawam Rahardjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini