*) Azyumardi Azra
Serangan teroris terhadap dua simbol adidaya Amerika, World Trade Center di New York dan Markas Pentagon, Washington, DC, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudahnya telah menempatkan Islam dan kaum muslimin kembali ke dalam sorotan. Masalahnya, mereka yang dituduh sebagai para pelaku serangan ala "kamikaze" tersebut adalah orang-orang yang berasal dari Timur Tengah dengan nama-nama Arab muslim. Bahkan mereka kemudian dikaitkan tidak hanya dengan Usamah bin Ladin dan organisasi Al-Qaidah, tetapi juga dengan pemerintahan Taliban Afganistan. Kelompok-kelompok ini kemudian disebut kalangan Barat sebagai kaum fundamentalis Islam yang menghalalkan segala macam cara untuk melawan Amerika dan Barat.
Lebih jauh lagi, kaum muslimin moderat, yang setelah serangan AS terhadap Afganistan mengekspresikan oposisi dan sentimen anti-Amerika dan Barat, juga dituduh sebagai muslim "fundamentalis". Padahal kelompok muslim terakhir ini tidak otomatis mendukung Bin Ladin dan Al-Qaidah atau rezim Taliban. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang mengekspresikan sikap anti-Amerika juga sangat kritis terhadap Bin Ladin dan Taliban, yang mereka pandang sebagai kelompok "Khawarij"—atau tepatnya "neo-Khawarij", yakni kelompok sempalan yang dulu menyatakan keluar dari barisan mainstream umat Islam di tengah konflik antara para pengikut Ali bin Abi Thalib dan Mu`awiyah bin Abi Sufyan pada masa Al-Khulafa al-Rasyidun. Kaum Khawarij kemudian mentransformasikan diri mereka menjadi kelompok ekstrem dan bahkan "ultra-ekstrem" yang siap melakukan berbagai tindakan kekerasan atas nama Tuhan (la hukma ilallah) dan menuduh kaum muslimin lain yang tidak mau mengikuti mereka sebagai kafir (wa man lam yahkum bima anzalallah fa'ula'ika hum al-kafirun).
Pada akhirnya, terjadi banyak mispersepsi dalam masyarakat Barat umumnya dan bahkan di antara kaum muslimin sendiri tentang apa yang disebut sebagai "fundamentalisme" Islam. Mispersepsi itu sebagian berasal dari warisan historis tentang konflik antara Islam (atau kaum muslimin) dan Kristen di bawah bayang-bayang Perang Salib (Crusade). Mispersepsi itu juga bersumber dari ketidakpahaman atau pemahaman yang keliru tentang pandangan dunia muslim dan sekaligus tentang tipologi dan anatomi gerakan-gerakan radikal di kalangan kaum muslimin. Di kalangan dunia Barat, terdapat pandangan bahwa Islam dan kaum muslimin adalah monolitik sehingga berbagai gejala dan fenomena gerakan radikal dan militan dipandang identik dengan Islam dan kaum muslimin secara keseluruhan.
Karen Armstrong, mantan biarawati Katolik Roma, adalah salah satu dari sedikit sarjana Barat yang secara konsisten berusaha menghapuskan mispersepsi tentang Islam dan fundamentalisme. Ia sebaliknya berusaha memberikan gambaran lebih akurat tentang Islam dan kaum muslimin serta kaitannya dengan kecenderungan radikalisme di kalangan muslim. Mantan biarawati Katolik Roma ini sekarang mengajar di Leo Baeck College, sebuah Seminari Judaisme Reformasi di London, ia juga menjadi anggota kehormatan Asosiasi Ilmu-Ilmu Sosial Muslim. Tiga karya utamanya, yang dibahas dalam kolom ini yang dua di antaranya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Mizan, adalah Muhammad: A Biography of the Prophet, New York: Harper Collins, 1992; A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam, New York; Ballantine, 1993; The Battle for God, New York: Alfred A. Knopf, 2000.
Dalam ketiga buku ini, terdapat konsistensi yang menonjol dalam wacana yang dikembangkan Karen Armstrong tentang Islam. Berbagai tema pokok yang diangkatnya tentang Islam didasarkan pada pendekatan komparatif yang melibatkan tiga agama Nabi Ibrahim (Abrahamic religions), yakni agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Tidak banyak sarjana Barat dan muslim yang melakukan kajian komparatif di antara ketiga agama ini.
Padahal ketiga agama ini memiliki banyak afinitas karena memang bersumber dari tradisi keagamaan Nabi Ibrahim (millah Ibrahim). Afinitas itu seperti dibahas Armstrong bahkan mencakup anatomi tentang gerakan-gerakan fundamentalis di dalam ketiga agama. Afinitas di antara ketiga agama ini memang sering disinggung sebagian sarjana Barat dan muslim, tetapi pembahasannya cenderung parsial; dan bahkan sebaliknya, yang lebih sering muncul dalam berbagai pembahasan adalah perbedaan-perbedaan dan bahkan konflik di antara ketiga agama tersebut.
Pendekatan Armstrong dalam menjelaskan ketiga agama, yang kini juga disebut dalam kajian sosiologi agama sebagai "Western religions"—sebagai bandingan kategorisasi "Eastern religions" seperti Hindu, Buddha, Shinto, dan lain-lain—adalah pendekatan empati. Sederhananya, pendekatan ini didasari keinginan untuk mengungkapkan ajaran dan gejala keagamaan sesuai dengan doktrin agama itu sendiri sebagaimana dipahami dan dipraktekkan para penganutnya. Ia tidak menggunakan pendekatan prakonsepsi, apalagi prasangka. Dengan pendekatan ini, peneliti dan penulis seperti Karen Armstrong bertitik tolak dari prinsip "let facts speak for themselves", biarkan fakta berbicara dengan dirinya sendiri, tanpa dicampuri prakonsepsi dan kerangka si peneliti itu sendiri, yang pada gilirannya bisa menghasilkan mispersepsi dan distorsi.
Dengan pendekatan komparatif-empati itulah Karen Armstrong, misalnya, menjelaskan fenomena yang sering disebut sementara kalangan sebagai "fundamentalisme" Islam, seperti diaktualisasikan orang atau kelompok seperti Usamah bin Ladin dan organisasinya, Al-Qaidah, serta Taliban.
Dalam penjelasannya mengenai Usamah bin Ladin, Karen Armstrong mengaitkannya dengan "Wahhabisme", yang merupakan ideologi keagamaan resmi Arab Saudi. Armstrong sepenuhnya benar ketika menyatakan bahwa Wahhabisme, yang muncul di Semenanjung Arabia sejak abad ke-18, dengan pendirinya Muhammad ibn Abd al-Wahhab, menyeru kaum muslimin agar kembali kepada ajaran Islam yang murni sebagaimana dipraktekkan Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Dengan prinsip Islam yang murni itu, kaum Wahhabi menolak berbagai bentuk bid`ah, khurafat, dan takhayul, yakni tambahan-tambahan yang dilekatkan kepada kepercayaan dan praktek-praktek Islam. Untuk memurnikan Islam dari berbagai semua bid`ah itu, kaum Wahhabi dalam sejarah juga melakukannya dengan cara-cara radikal dan kekerasan.
Tetapi, Karen Armstrong keliru ketika mengaitkan Bin Ladin dengan Wahhabisme, yang kadang-kadang juga menggunakan kekerasan. Dalam segi tertentu, mungkin Bin Ladin juga menekankan Islam yang murni—kalau perlu dengan cara-cara kekerasan—dan, dengan demikian, memiliki afinitas dengan Wahhabisme. Tetapi, hemat saya, Bin Ladin lebih memegangi ajaran dan praktek Kharijisme (Khawarij) ketimbang ajaran atau paham keagamaan lainnya. Kekeliruan Armstrong ini juga terlihat pada kalangan Barat lainnya, yang mengidentifikasi Bin Ladin dan gerakan radikalnya dengan Wahhabisme. Dewasa ini juga terdapat banyak gerakan Islam yang menekankan dan berusaha mengembangkan Islam yang murni, tetapi mereka tidak menggunakan cara-cara kekerasan, melainkan secara damai melalui usaha-usaha dakwah dan pendidikan.
Namun, Karen Armstrong benar dengan menyatakan bahwa asal-usul radikalisme dan fundamentalisme Usamah bin Ladin berkaitan dengan praktek politik Arab Saudi, yang dipandangnya korup dan sangat dikendalikan AS dan Barat, khususnya sejak masa Perang Teluk pada 1990. Padahal, menurut Bin Ladin, Barat—khususnya Amerika Serikat—bertanggung jawab atas penindasan dan ketidakadilan yang dialami bangsa Palestina dalam perjuangan mereka melawan Israel. Ketidakadilan itu juga, menurut Bin Ladin, terlihat pada perlakuan AS dan Barat terhadap Irak, yang telah mengorbankan banyak rakyat dan anak-anak Irak. Meski jelas Bin Ladin tidak menyukai ideologi politik sosialis Baathisme yang dianut Saddam Husein, ia lebih memilih untuk membela Irak sehingga semakin menyalakan semangat perlawanannya terhadap AS dan Barat umumnya serta sekutu-sekutu terdekat mereka di Timur Tengah, khususnya pemerintah Arab Saudi dan Mesir.
Karen Armstrong membahas secara panjang-lebar dalam berbagai tulisannya bahwa kaum fundamentalis—termasuk Bin Ladin—mengklaim bahwa mereka melakukan perang (jihad) untuk Tuhan (the battle for God). Padahal, demikian ditulis Arsmtrong, kaum fundamentalis adalah kaum "nihilis", karena mereka sebenarnya menolak nilai-nilai pokok yang krusial dan suci dari agama Islam. Ideologi Bin Ladin tidak Islami, karena Islam mengutuk segala bentuk kekerasan, agresi, pembunuhan; Al-Quran mengajarkan kebolehan jihad, perang dan kekerasan (qital) hanyalah sebagai "pembelaan diri" (self-defense).
Dengan argumen seperti ini, Karen Armstrong sangat menekankan bahwa kemunculan fundamentalisme keagamaan—yang ada pada setiap agama di muka bumi ini—merupakan revolusi dan perlawanan terhadap modernitas dan masyarakat sekuler, khususnya dalam kehidupan politik. "Modernitas" dan "sekularisme" politik di kalangan entitas politik muslim terlihat, misalnya, ketika rezim-rezim Arab Saudi atau Mesir melakukan persekutuan dengan Amerika sambil mengesampingkan prinsip-prinsip Islam, seperti ukhuwwah Islamiyyah di antara kaum muslimin. Kelompok-kelompok fundamentalis dalam agama mana pun meyakini bahwa persekutuan seperti ini pada akhirnya melumpuhkan agama.
Melihat asal-muasal, perkembangan, dan aksi-aksi mereka, Karen Armstrong sampai pada kesimpulan bahwa kemunculan kelompok-kelompok fundamentalis dalam ketiga agama Abrahamik sangat politis (highly political) dan, karena itu, lebih merupakan fundamentalisme politik (political fundamentalism) yang cenderung melakukan cara-cara radikal dan kekerasan politik, termasuk teror. Tetapi, seperti juga disimpulkan Armstrong, tidak semua kelompok fundamentalis menggunakan kekerasan. Ternyata banyak juga kelompok fundamentalis yang lebih berorientasi murni keagamaan (religious fundamentalism), yang bertujuan tidak lain kecuali untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan agama, serta kesejahteraan umatnya. Wallahu a'lam bish-shawab.
*Guru besar sejarah dan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini