Di usia yang begitu belia, 17 tahun, Karen Armstrong memutuskan sesuatu yang besar dalam hidupnya: menjadi biarawati. "Saya benar-benar ingin menemukan Tuhan dan bergabung dengan Society of the Holy Child Jesus," demikian tuturnya kepada TEMPO. Namun, di dalam biara itu, Armstrong mengaku tak menemukan apa yang dicarinya. "Saya masih terlalu muda saat membuat komitmen semacam itu, yang mensyaratkan kehidupan religius. Dan itu menjadi jelas bagi saya bahwa saya tidak akan menjadi biarawati yang baik." Armstrong merasa bahwa dia adalah "seorang biarawati yang biasa-biasa saja", sehingga "dengan berat hati saya memutuskan bahwa saya harus meninggalkan biara".
Lahir 53 tahun silam, Karen Armstrong sebetulnya tidak lahir dari keluarga yang religius. "Keluarga kami adalah penganut Katolik, tetapi hanya pergi ke gereja pada hari Minggu. Itu saja." Armstrong bahkan mengaku kepada TEMPO bahwa orang tuanya sangat ketakutan ketika dia memutuskan menjadi biarawati. Tetapi dia tak pernah menyesali kehidupannya di biara.
Selama tujuh tahun di sana, ia benar-benar mempelajari tiga agama Ibrahim selain juga mempelajari ilmu kesusastraan di Universitas Oxford, Inggris. Ketika itulah dia merasa tidak mampu memenuhi kehidupan monastik yang telah dia pilih, dan dia memisahkan jalan biara dengan damai. Pada 1981 dia menerbitkan bukunya, Through the Narrow Gate, yang menceritakan kehidupannya di biara, yang langsung menjadi bestseller di Inggris. Kemudian langsung disusul dengan buku selanjutnya, Beginning the World.
Pada 1984 dia diundang Channel 4 London untuk membuat serial dokumenter televisi tentang kehidupan dan kerja Santo Paulus, yang menyebabkan Karen Armstrong harus berdiam di Yerusalem beberapa saat. Di sanalah Armstrong mempelajari dan belajar memahami agama Islam. Dalam pandangannya, dia menyadari bagaimana kebanyakan orang Barat bisa memahami Yahudi dan Kristiani dengan baik, tetapi kurang mampu memandang Islam dengan positif. Ia menyimpulkan, "Ada bagian yang dibesar-besarkan dan didistorsi yang telah menodai lembar sejarah dan perlu diluruskan. Islam dan Timur Tengah harus dipresentasikan dengan benar," demikian tulis Armstrong. Dari periode itu, ia melahirkan buku Holy War: The Crusades and Their Impact in Today's World.
Bukunya History of God menjadi pegangan banyak orang di dunia, awam serta pemikir agama, karena kemampuannya untuk menulis dengan jernih. Pada saat tragedi 11 September 2001 pecah, adalah Karen Armstrong yang gigih menjelaskan dan menulis di berbagai media terkemuka seperti majalah Time, harian The Guardian, untuk mematahkan prasangka terhadap Islam. Armstrong percaya bahwa media memiliki tanggung jawab yang besar terhadap opini publik. Dan media bisa berbuat banyak untuk membetulkan kesalahpahaman orang Barat.
Hidupnya, yang sendiri dan tak menikah, diabdikan untuk menulis dan berpikir tentang Tuhan dan agama. "Mungkin saya sedang meraba-raba dengan apa yang saya miliki sekarang," katanya kepada TEMPO. Saat berpikir dan merenung tentang Tuhan dan lintas agama, hidupnya sibuk meloncat dari satu kota ke kota lain untuk berceramah, seminar, diskusi di New York, Boston, lusanya sudah di London. Berikut petikan wawancara wartawan TEMPO Purwani Diyah Prabandari dengan Karen Armstrong melalui surat elektronik.
Anda menulis bahwa banyak masyarakat Barat yang memiliki persepsi yang salah tentang Islam. Anda mengatakan Islam adalah agama yang mengajarkan perdamaian dan kasih sayang. Seberapa jauh kesalahan persepsi Barat tentang Islam?
Masyarakat Barat telah memiliki visi yang telah terdistorsi mengenai Islam sejak masa terjadinya Perang Salib. Sejak itu, mereka yakin bahwa Islam adalah agama yang penuh kekerasan dan fanatisme yang ditegakkan dengan pedang. Ini tidak benar. Al-Quran adalah dokumen yang pluralis, yang menunjukkan penghargaan yang besar terhadap tradisi utama yang lain. Al-Quran mengajarkan umat muslim untuk menghormati orang lain. Di sana juga ditegaskan bahwa tidak boleh ada paksaan dalam urusan agama. Tetapi perlu diketahui bahwa pandangan orang Barat akan Islam berkembang ketika umat Kristiani berperang dengan brutalnya dalam Perang Suci atau Perang Salib, melawan muslim. Mereka memproyeksikan kekhawatiran mereka—yang selama ini terpendam—tentang perilaku mereka sendiri terhadap lawannya. Tetapi gambaran yang tidak benar yang masih dipercayai oleh orang Barat ini masih terpancar melalui media.
Apa dampak terburuk dari kesalahan persepsi itu?
Dampak dari kesalahan persepsi ini adalah bahwa gambaran akan kekerasan dalam Islam yang telanjur menjadi salah satu gambaran yang diterima masyarakat Barat. Banyak orang tidak mengujinya terlebih dulu. Peristiwa seperti yang terjadi pada 11 September lalu seolah membenarkan pandangan ini. Tragedi itu membuat banyak orang berprasangka bahwa Islam adalah musuh peradaban dan harus diperangi seperti saat Amerika memusuhi Soviet. Ini sudah menjadi urusan yang sangat berbahaya. Memang banyak orang Amerika sekarang ini berjuang untuk mendapatkan gambaran akan Islam yang benar. Tetapi tingkat ketidaktahuan mereka (tentang Islam) juga masih sangat besar dan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mengatasi itu.
Bagaimana Islam dalam pandangan Anda?
Islam adalah agama yang baik dengan catatan yang hebat tentang toleransi terhadap penganut agama atau kepercayaan lain. Islam mengajarkan penganutnya untuk mengembangkan kesadaran sosial. Al-Quran mengajarkan sesuatu yang ideal dalam masyarakat yang adil, orang miskin dan lemah diperlakukan dengan hormat. Juga ada pemerataan kesejahteraan yang seadil mungkin yang sangat dekat dengan idealisme Barat. Islam juga memiliki tradisi yang baik dalam filsafat.
Bagaimana Anda menjelaskan fenomena fundamentalisme dalam Islam dan agama lain yang merebak belakangan ini?
Fundamentalisme adalah bentuk kesalehan yang militan yang muncul di semua kepercayaan atau agama besar pada abad ke-20. Fenomena tersebut merepresentasikan menyebarluasnya penolakan modernitas sekuler. Di seluruh dunia, orang ingin melihat Tuhan terefleksi dengan lebih jelas dalam pemerintahan atau negara. Mereka khawatir, masyarakat yang liberal dan sekuler akan menyingkirkan agama dari kehidupan manusia. Jadi mereka ganti menyerang dan menciptakan kebudayaan tandingan. Mereka yakin bahwa hal tersebut memang penting dilakukan agar mereka bisa bertahan. Tetapi hanya sekelompok kecil dari kaum fundamentalis pada setiap agama yang mengambil bagian dalam tindakan teror dan kekerasan. Selebihnya adalah mereka yang lebih berjuang untuk hidup. Apa yang mereka lihat sebagai kehidupan beragama yang bagus di sebuah dunia yang kelihatannya bertentangan atau berlawanan terhadap keyakinan mereka. Gerakan fundamentalisme berkembang di AS setelah Perang Dunia I. Agama Islam adalah agama terakhir dari ketiga agama monoteistik yang mengembangkan kesalehan fundamentalis pada tahun 1960-an. Kelompok fundamentalis Islam ini memiliki keprihatinan yang sama dengan fundamentalis lain di seluruh dunia.
Bagaimana Anda menjelaskan Taliban di Afganistan, apakah mereka fundamentalis Islam atau sebenarnya sekadar kedok politik?
Saya menganggap Taliban sebagai hasil Perang Dingin dan akibat dari kehancuran Afganistan setelah selama beberapa dasawarsa negerinya terus dilanda perang dan kekisruhan, daripada sebagai sebuah gerakan fundamentalisme yang serius.
Apakah Anda memperkirakan akan ada perkembangan fundamentalisme Islam di milenium ini?
Sekali lagi, tolong dicatat bahwa hanya ada sekelompok kecil fundamentalis di semua agama yang melakukan tindakan terorisme. Tetapi fundamentalisme di semua kepercayaan, termasuk Islam, akan terus ada di sekeliling kita pada milenium mendatang. Fundamentalisme kini menjadi bagian dari pemandangan modern, karena ini merepresentasikan pemberontakan terhadap modernitas. Dalam Yudaisme, Kristen, dan Islam, fundamentalisme menjadi lebih ekstrem, jauh lebih ekstrem daripada fundamentalisme tahun 1970-an yang telah jauh di belakang. Ini karena beberapa kaum fundamentalis telah merasa putus asa dan tidak punya harapan akan nasib agama di dunia modern yang mereka lihat menjadi musuh terhadap kepercayaan atau agama mereka. Ini membuat mereka mengadopsi posisi yang lebih keras.
Mengapa di Barat ateisme berkembang pesat?
Ateisme yang Anda maksud sekarang ini hanya berkembang di Eropa Barat. Amerika Serikat adalah negara yang sangat religius. Bahkan ada yang menyatakan, AS adalah negara yang paling religius kedua di dunia setelah India. Di Eropa, masyarakatnya tak percaya lagi terhadap agama setelah melalui horor yang mereka alami pada abad ke-20. Mereka merasa bahwa agama Kristen telah gagal. Dan itu terimplikasi dalam peristiwa mengerikan seperti Holocaust Nazi.
Bagaimana dengan AS sekarang yang lebih religius?
Masyarakat Amerika kini lebih religius. Sebagian orang Amerika adalah kaum fundamentalis. Sekitar 50 persen memeluk agama dengan konservatif. Tetapi 50 persen lainnya tertarik pada pembaruan spiritual dan sangat tertarik untuk mempelajari tradisi lain, belajar dari mereka, dan memperkaya kepercayaan mereka dengan melalui kontak ini. Pemandangan keberagamaan di AS sangat menyenangkan dan sangat menggetarkan. Dan sejak tragedi 11 September, saya banyak mendapat kesan bahwa banyak sekali orang Amerika berjuang untuk mendapatkan apresiasi religius yang lebih baik tentang Islam dan membawanya dalam visi religius mereka.
Sebenarnya apa pandangan Anda tentang agama?
Agama bisa didefinisikan sebagai perjuangan untuk menemukan makna dan nilai tertinggi dalam hidup keseharian kita yang penuh cacat dan tragedi ini. Agama adalah sesuatu yang alamiah dalam perikemanusiaan kita, seperti halnya kesenian yang juga alamiah—karena kita adalah makhluk pencari makna dan jatuh dengan sangat mudahnya ke dalam keputusasaan. Manusia telah lama mengalami sebuah dimensi kehidupan yang terletak jauh di luar pengalaman duniawi dan mereka telah mendefinisikan ini dengan cara yang berbeda dan menyebutnya dengan Tuhan, Nirwana, Brahma, atau juga Roh Kudus. Tetapi apa pun definisinya, dimensi yang kudus telah menjadi bagian dalam pengalaman manusia dan sebuah fakta dari kehidupan manusia.
Tetapi semua kepercayaan besar di dunia menegaskan bahwa idealisme agama yang benar harus terlihat dalam praktek keseharian manusia, praktek mengasihi sesama, sesuatu yang ideal, di mana banyak orang yang belum berbuat sesuai dengan idealisme tersebut.
Ada beberapa buku menarik yang Anda tulis yang belum diterjemahkan ke bahasa Indonesia, yakni In the Beginning: A New Interpretation of Genesis dan Visions of God. Apa inti yang ingin Anda sampaikan?
Semula, tujuan saya hanya menulis sebuah esai pendek tentang Kitab Kejadian (The Book of Genesis), sebuah perenungan. Visions of God adalah terjemahan dan penafsiran empat tulisan mitos Inggris pada abad ke-14 oleh Richard Rolle, Julian of Norwich, Walter Hilton, dan penulis anonim The Cloud of Unknowing.
Mengapa Anda juga menulis Buddha?
Saya mulai sangat tertarik pada agama non-monoteistik dan terpesona dengan apa yang saya pelajari tentang Buddha. Umat Yahudi, Kristen, dan Islam bisa juga mempelajari visi dia tentang keunggulan perasaan atau rasa kasihan, dan tentang bahayanya formulasi doktrin yang rigid atas sebuah kepercayaan.
Anda diminta televisi London untuk membuat film dokumenter tentang kehidupan Santo Paulus (salah satu pendiri jemaat Gereja Katolik yang pertama—Red.), yang menyebabkan Anda harus berdiam di Yerusalem dalam waktu yang cukup lama. Pelajaran apa yang bisa diambil dari kehidupan Santo Paulus?
Pelajaran utama yang bisa saya ambil dari pengalaman tersebut adalah pengetahuan pribadi yang baru akan Yudaisme dan Islam. Hingga saat itu pengetahuan saya akan agama terbatas pada pengetahuan Kristiani. Tetapi di Yerusalem, Anda tidak bisa bertahan untuk tutup mata. Anda pasti akan buka mata. Saya menemukan bahwa pengetahuan baru dari kepercayaan monoteistik lain memperluas dan memperkaya visi keagamaan saya. Sejak itu saya telah mencoba mempertajam atau memperkuat apa yang saya sebut triple vision atau "visi tiga (agama)", yang melihat monoteisme sebagai kepercayaan yang bisa dijalankan dengan tiga cara, dan yang seharusnya dihormati sebagai sebuah keluarga.
Apa pandangan Anda tentang Yerusalem bagi tiga agama monoteistik, Yahudi, Kristen, dan Islam?
Yerusalem telah menjadi kota suci bagi ketiga kepercayaan, yaitu bagi orang Yahudi, Kristen, dan Islam, yang semuanya mengaku merasa sangat dekat dengan Tuhan di kota ini. Maka, setiap solusi politik seharusnya mempertimbangkan masalah tersebut, jika memang menginginkan dunia yang damai.
Banyak perang di dunia ini karena urusan agama. Sebenarnya apa yang terjadi di dunia ini kalau melihat fenomena tersebut?
Perjuangan yang terjadi sekarang sebenarnya adalah perlawanan terhadap sekularisme, yang dipicu dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Sengketa Arab-Israel (sebenarnya urusan sekuler) dan trauma akan modernisasi. Tetapi di kawasan tempat konflik berlangsung begitu lama dan sudah mendarah daging, itu semua terlalu mudah bagi manusia untuk terjebak menjadikannya sebagai konflik agama.
Banyak orang meninggalkan agama karena mereka mempertanyakan keberadaan Tuhan yang dianggap membiarkan semua keburukan ini terjadi.
Untuk berpikir tentang Tuhan sebagai personalitas, yang mengorganisasi semua kejadian, adalah gagasan yang sangat terbelakang tentang Tuhan. Penulis Elie Weisel pernah mengatakan tuhan telah mati di Auschwitz. Tetapi umat Yahudi, Kristen, dan Islam telah mengembangkan berbagai teologi yang berbeda (tentang konsep ketuhanan).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini