Di sebuah ruangan seminar di Bradley, sejarah Tuhan dibentangkan. Para pengunjung, para peminat lintas agama di AS, saat itu duduk menyimak dengan tertib dan rapi. Seorang wanita keturunan Irlandia berambut pirang, berumur sekitar 50 tahun, menuturkan sejarah Tuhan dengan bahasa yang memikat. Topik yang diketengahkan menantang dan membutuhkan perhatian serius: Masa depan Tuhan. Lulusan sastra Inggris dari Universitas Oxford Inggris dan mengajar di Leo Baeck College for the Study of Judaism London bernama Karen Armstrong itu memang namanya tengah berkilau di kalangan akademik di dunia. Dan nama itu semakin berkilau sejak peristiwa tragedi 11 September, karena dialah seorang warga non-Islam yang sibuk menjelaskan wajah Islam yang damai.
Pemikiran Karen Armstrong menarik perhatian lantaran tema-tema yang disodorkan. Bukunya yang laku keras dan membuatnya populer berjudul History of God, yang sudah diterjemahkan oleh penerbit Mizan menjadi Sejarah Tuhan. Di kolokium itu ia hadir dengan sebuah pertanyaan provokatif: apakah Tuhan memiliki masa depan? Di situ ia bersemangat menjelaskan bahwa masyarakat modern membutuhkan cara baru untuk memahami Tuhan, jika kita tidak ingin agama ditinggalkan. Kontroversial? Jelas gagasannya sempat menuai pujian dan cemooh. Tapi itu membuatnya supersibuk. Laris. Hari ini ia di London. Minggu depan sudah di New York. Pekan depannya memberi kuliah lagi di kota lain.
Untuk berkomunikasi dengannya melalui surat elektronik luar biasa sulit. Tak dibalas-balas. Apalagi mencoba telepon. Pernah dalam sebuah seminar Islam dan Kosmologi di New York yang dihadirinya beberapa waktu lalu, korespoden Tempo berusaha mencegatnya, tapi ia terlalu sibuk. Setelah hampir beberapa lama majalah ini melakukan kontak dengan penerbit bukunya serta panitia-panitia seminar, akhirnya "nasib baik" itu datang. "Saya masih memberi kuliah di Harvard, tapi sebentar lagi balik ke London. Jadwal perjalanan saya bulan Desember padat. Waktu saya hanya sedikit. Sewaktu-waktu saya pergi," tiba-tiba sebuah surat elektronik meluncur dari perempuan kelahiran Birmingham 1945 itu kepada Purwani Diyah Prabandari dari TEMPO, yang berhasil "menjerat" dan mewawancarai pemikir terkemuka yang bergerak bak bayangan ini.
Tak terhitung pemikir yang menggeluti sejarah agama. Apa yang membuat pembicaraan mengenai Tuhan dari Armstrong kini begitu penting didengar dan dipelajari? Pertama, karena latar belakangnya yang "dramatik". Dia adalah seorang mantan biarawati. Selama tujuh tahun sejak umur 17 tahun ia hidup dalam lingkungan tertutup ordo Society of the Holly Child Jesus. Tapi ia kemudian keluar karena merasa tidak menemukan Tuhan di sana. Kedua, ia menyumbangkan pemahaman yang jernih atas fundamentalisme dan ateisme modern. Menurut perempuan lajang ini, masyarakat sekuler masa kini adalah masyarakat yang belum pernah ada presedennya dalam sejarah.
Sekularisme di masa kini menghasilkan dua hal yang kontras sekaligus. Ibarat dua sisi mata uang yang sama, di satu pihak muncul gejala fanatisme dan radikalisme agama di mana pun yang menganggap Tuhan dalam penafsiran eksklusif mereka adalah satu-satunya Tuhan yang hidup dan memberi penyelamatan. Di lain pihak di belahan dunia tertentu terlihat fakta baru: sebuah trend masyarakat yang meninggalkan Tuhan karena Zat Mutlak itu dianggap sebuah "pengertian kosong" yang tak memberi makna lagi dalam kegiatan sehari-hari. Armstrong bersaksi sekarang banyak gereja di bilangan London kosong dan berubah menjadi gedung teater atau gudang.
Buku The Battle for God karya Armstrong membedah soal fundamentalisme. Menurut Armstrong, istilah fundamentalisme di era modern semula dipakai kaum Protestan Amerika setelah Perang Dunia I. "Saat imigran Katolik dari Irlandia, Polandia, dan warga Eropa lainnya berbondong-bondong datang dengan jumlah besar ke Amerika, hal itu memicu tumbuhnya militansi Protestan di Amerika," katanya dalam sebuah wawancara dengan Los Angeles Times. Bagaimana pengertian fundamentalisme yang mereka praktekkan? Ia mengutip sebuah definisi Curtis Lee Laws, seorang evangelis Northern Baptist Convention—sebuah sekte Protestan Amerika pada 1920. Seorang fundamentalis, menurut Laws, adalah seseorang yang siap merebut kembali wilayah yang jatuh ke anti-Kristus dan melakukan pertempuran agung untuk membela dasar-dasar agama.
Untuk merebut area-area itu kembali, menurut Armstrong, mereka bersiap melakukan pertempuran tertutup yang tak memiliki jalan keluar. Kaum Protestan Amerika saat itu merasa keimanannya terancam dan kemudian lahirlah ketakutan-ketakutan semu. Mereka mengembangkan semacam teologi kemarahan yang berciri xenobis, cemas terhadap pengaruh asing dan senantiasa berprasangka bahwa konspirasi terjadi di mana-mana. Mereka lazimnya menggalang gerakan budaya defensif, menyatukan kekuatan ofensif, serta puncaknya melakukan perlawanan dengan organisasi yang diselenggarakan dengan kesadaran. Pada tingkatnya yang paling ekstrem, hal itu melahirkan ideologi kekerasan.
Istilah fundamentalisme ini kemudian yang dinisbahkan kepada kelompok-kelompok dari Islam, Hindu, Buddha, Yahudi, Sikh, bahkan Khong Hu Cu, yang memiliki kecenderungan sama. Jasa Armstrong adalah memperlihatkan semacam kesamaan ciri fanatisme pada panggung politik kontemporer berbagai gerakan agama yang memiliki varian sesuai dengan pengalaman agama masing-masing. Misalnya, di masa kini, kita mengenal adanya paranoia akan berulangnya Hollocaust, prasangka berlebihan pada komunis, prasangka pada zending atau prasangka pada demokrasi. Jejak-jejak fundamentalisme Kristiani Amerika, misalnya, menurut Armstrong bisa dilihat pada Timoty McVeigh, tertuduh pengebom bangunan Oklahoma pada 1994.
Armstrong berusaha mencermati konsepsi Tuhan yang dihayati kaum fundamentalis. Menurut Armstrong, ciri utama kaum fundamentalis ialah memaksakan pada penganutnya agar bisa mengalami pengalaman kebertuhanan sama dengan yang dialami penganut saleh terdahulu. Singkatnya, kaum fundamentalis cenderung ingin membawa umat untuk mengulangi masa silam. Padahal, itu sama sekali tak mungkin. Itulah pemikiran yang diutarakan Armstrong dalam The History of God. Secara gamblang Armstrong menjelaskan bahwa pengertian Tuhan yang diterima sekelompok umat dalam sebuah sejarah pada dasarnya bisa berbeda dengan yang dipahami pada periode waktu lain. Persepsi mengenai Tuhan antargenerasi tidaklah sama. Armstrong menganggap semangat zaman generasi sekarang cenderung pragmatis, empiris, dan historis. Semua ditakar dengan rasionalitas dan keilmiahan. Ia menganggap apabila pemaknaan tentang Tuhan di masa silam dipaksakan secara tidak luwes pada era sekarang, terjadilah anakronisme.
Ia menulis dalam History of God: ... "Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja tidak bermakna pada generasi lain." Dan dalam The Battle for God, lebih tegas ia mengatakan: ... "Kita tidak bisa menjadi religius dalam cara yang sama seperti pendahulu kita di dunia pramodern yang konservatif, ketika mitos dan ritual agama membantu manusia menerima batasan-batasan yang sangat penting bagi peradaban agraris. Kita kini berorientasi ke depan, dan orang-orang dari generasi kita yang telah dibentuk oleh rasionalisme dunia modern tidak mudah memahami bentuk spiritualitas masa lampau...."
Buku-buku Armstrong tapi tidak menjelaskan bagaimana kekhasan pengalaman keberagamaan yang dijalani generasi sekarang. Ini kekurangan Armstrong. Ia lebih suka membuat uraian yang panjang tentang sejarah pemikiran dan politik agama. Tetapi ia tak menyajikan contoh konkret yang basah dengan memotret salah satu segmen kehidupan masyarakat kontemporer yang berubah pandangan keagamaannya itu, misalnya kehidupan yuppies di Jepang atau anak muda di London yang merasa rileks menjalani hidup tanpa konsep Tuhan. Atau penjelasan bagaimana Tuhan adalah suatu figur yang kabur bagi mereka. Studi Armstrong memang bukan sebuah kajian antropologis, sehingga pembaca tidak bisa meraba secara persis apa yang digundahkan, kepekaan religius apa yang hilang, hukum-hukum agama mana yang tak bisa dimaknai oleh generasi masa kini.
Sebuah resensi atas buku Armstrong berjudul Islam: A Short History di majalah Newsweek, misalnya, juga mengkritik mengapa Armstrong dalam menjelaskan persoalan religiositas tidak berangkat dari pengalaman keseharian masyarakat Islam biasa seperti tukang sepatu di Pakistan, penjaga toko di Mesir, pemrogam komputer di India. Itu membuat bukunya terlalu melayang di awang-awang.
Ada lagi pendapat Armstrong yang lain yang mengundang debat keras. Ia menganggap bahwa masyarakat masa kini tak mungkin mengalami sesuatu yang kudus, sebab ini bertolak belakang dengan keyakinan para sarjana yang menggeluti studi perenialis (keabadian). Memang, pada zaman industri masa kini, manusia susah mengalami epifani—atau memiliki sensibilitas membaca tanda-tanda kegaiban Tuhan di alam (teofani). Tapi, menurut pemikir seperti Sayyed Hosein Nasr, jejak-jejak penemuan pengetahuan yang kudus (Scientia Sacra) masih bisa dilacak dan dialami dari berbagai hal, misalnya bahkan dari studi fisika kuantum.
Lantas apa yang membuat Armstrong menyimpulkan bahwa manusia kontemporer memiliki gejala keberagamaan yang sama sekali lain? Dan apa yang menyebabkan Armstrong menyimpulkan kita harus menemukan visi ketuhanan yang baru? Ukurannya adalah kegelisahan pribadinya sendiri, terutama pengalaman pribadinya—sebagai manusia modern yang pernah tinggal dalam biara. Ia mengenang bahwa semakin ia dididik untuk menghayati Tuhan, keimanannya terhadap Tuhan semakin surut. Melalui bukunya Through the Narrow Gate, Armstrong menceritakan betapa setiap hari secara ketat ia belajar apologetika, kitab suci, sejarah gereja, dan doa-doa para rahib. "Tapi, setiap kali saya berdoa, saya merasa selalu gagal. Saya tidak bisa membayangkan Tuhan sebagaimana digambarkan oleh para nabi," kata Arsmtrong.
Akibat dari bukunya itu, Armstrong mengaku ia dibenci kalangan Katolik di London. "Saya dianggap najis," katanya. Setelah itu, dalam sebuah tulisan ia pernah mengaku dirinya memilih menjadi seorang freelance monotheist, yang artinya mempercayai Tuhan tapi tidak memeluk agama. Betul demikian? "Ya, sekarang saya tidak menganut agama apa pun. Tetapi saya mempelajari semuanya," jawabnya kepada Purwani Diyah Prabandari dari Majalah TEMPO.
Dalam hal inilah ia berbicara tentang ateisme dengan cara lain. Ateisme dalam pengertian Armstrong bukan sesuatu yang tidak religius. Ateisme dalam pandangan Armstrong adalah juga suatu sikap yang dapat memahami Tuhan. Selama ini gambaran umum dalam dunia intelektual dan religius, seorang ateis adalah seorang yang menyangkal keberadaan Tuhan. Armstrong menolak simplifikasi ini. Menurut dia, ateisme adalah suatu kondisi transisi; suatu sikap transisi di luar agama formal lantaran merasakan "konsep Tuhan" yang disediakan agama-agama dianggap tidak memadai lagi. Menurut Armstrong, penganut Yahudi, Islam, dan Katolik pun pada suatu masa pernah dicap ateistik oleh orang-orang Pagan. Itu karena gagasan ketuhanan dan transendensi yang dibawa oleh Islam, Yahudi, dan Katolik saat itu berlawanan dengan konsepsi mayoritas Pagan tentang Tuhan. "Ateisme bukan menyangkal agama atau Tuhan," kata Armstrong, "tapi menyangkal pengertian tentang keilahian tertentu."
Nada Armstrong dalam "meninggalkan" agama ini juga bukan karena kebencian sementara para kaum ateis di negara-negara Barat setelah menolak agama, lalu seolah "jijik" terhadap agama, tak mau lagi bersentuhan dengan agama. Mereka menganggap mustahil untuk bisa menerima konsep ketuhanan sejak tragedi Hiroshima dan Auschwitz. Armstrong bukan dalam posisi dendam seperti itu.
Dengan berposisi "tidak beragama", ia justru semakin intens melakukan perjalanan lintas agama. Sisi ateisme dalam dirinya—kalau boleh dibilang begitu—diambil justru karena ia ingin leluasa mereguk berbagai pancaran kebenaran. Posisi Armstrong ini bagi sebagian orang mungkin berlebihan. Tapi bagi mereka yang membaca buku-buku Armstrong tentunya menemukan kearifan subtil. "Dia telah masuk wilayah mistisisme," demikian penilaian Budy Munawar Rahman, salah seorang staf Yayasan Paramadina.
Kenyataannya, dengan posisi transisional seperti itu, Armstrong justru mampu lebih bersimpati dan empati pada Islam, yang sering disalahpahami masyarakat Barat. Ia sangat rajin dan produktif menulis agar pembaca Barat dapat mengapresiasi secara baik Islam dan Nabi Muhammad. Ketika Tragedi World Trade Centre meletupkan ekses rasisme pada umat Islam, Armstrong adalah pemikir yang paling sibuk membela Islam. Wanita ini aktif menulis kolom di majalah Time, Newsweek, harian The Guardian dan The Economist. Dalam kolomnya di majalah Newsweek, Armstrong menjelaskan (pada khalayak AS dan Barat) bahwa Islam bukan agama teroris, sebaliknya sejak permulaan penyebarannya, Islam adalah agama damai. Salah satu buktinya, demikian Armstrong menulis, begitu muncul, Islam berusaha menghapus tradisi vendetta—saling balas dendam, bunuh-membunuh yang telah menjadi tradisi ratusan tahun di kalangan suku-suku Arab.
Islam, menurut Armstrong, adalah agama yang unsur modernisme di dalamnya sudah mendahului zaman. Nabi Muhammad datang dengan segala prinsip demokratis. Muhammad adalah seorang jenius. Armstrong melansir bahwa ketika dalam dunia Islam tumbuh toleransi luar biasa, justru di Barat tengah bersemai intoleransi beragama dalam bentuk inkuisisi dan persekusi. "Kalangan tertentu di Eropa pernah memprotes melawan pembakaran novel Satanic Verses karya Salman Rushdie. Mereka lupa seolah-olah kebudayaan Katolik tidak pernah membakar buku yang mereka anggap bidah," kata Armstrong. Adalah salah juga menganggap Islam sebagai agama yang bersikap misigonis atau merendahkan perempuan. Justru Muhammad selalu mendorong agar perempuan berperan aktif dalam urusan-urusan ummah. Justru dalam Islam, menurut Armstrong, turun wahyu yang menyapa kaum perempuan. "Al-Quran cukup sering menyapa kaum wanita secara eksplisit, sesuatu yang jarang terjadi dalam kitab suci Yahudi maupun Nasrani," demikian tulis Armstrong. Adapun Taliban, menurut Armstrong, adalah suatu kasus penyimpangan.
Jadi, adakah Tuhan masih memiliki masa depan? Meski tidak berbicara eksplisit, Armstrong tampaknya berharap ini adalah pekerjaan rumah bagi teolog atau kaum agamawan mana pun agar tak henti-hentinya mencari gambaran Tuhan yang mampu menampung semangat pluralisme keberimanan. Mengubah gambaran Tuhan dan keilahian versi masa lalu yang terlalu abstrak, berjarak, dan sulit dihayati oleh masyarakat kini. Setiap individu sejatinya, bagi Armstrong, memiliki pengertian tentang Tuhan. Homo sapiens adalah homo religius. Tuhan adalah sesuatu yang personal. "Tuhan dalam pengertian Armstrong adalah portable God, Tuhan yang dapat dibawa ke mana-mana, setiap orang punya gambaran tentang Tuhan," demikian tutur Lutfhie Assyaukanie, aktivis yang kini menyerukan Islam liberal.
Pernah suatu kali dalam hidupnya, Armstrong beranggapan bahwa penampakan dan kekhusyukan yang dialami orang-orang suci dahulu tak lebih dari gangguan mental. Sebagai penderita epilepsi ia sering mengalami kilasan-kilasan, entah apa. "Beberapa tahun saya menderita efek halusinasi. Saya seperti orang gila. Saya merasa pengalaman suci para nabi semata pengalaman neurologis. Tapi kemudian saya sadar bahwa antara epilepsi dan pengalaman kudus adalah berbeda. Letak perbedaannya adalah pada perasaan keterharuan. Penampakan-penampakan neurologis tidak memiliki efek keterharuan," tutur Armstrong.
Kini kita tidak bisa mengalami mukjizat atau pewahyuan seperti itu. Tapi, menurut Armstrong, keterharuan ini masih dapat menjadi etos atau sikap dasar etika pluralisme. Jika kita mengamalkan perasaan haru atau empati pada hal apa pun tiap hari, itu membuka pintu apresiasi dan toleransi menyelami berbagai jenis "penghayatan pribadi" setiap orang. Bagi Armstrong, tak menjadi soal seorang kemudian memilih "beragama dua" menjadi misalnya Christian Buddhist atau Jewish Buddhist. Seorang penulis menyebut Karen Armstrong adalah seorang ateis yang saleh, suatu istilah yang ter-dengar paradoks. Tapi mungkin saja itu benar.
Seno Joko Suyono, Purwani Diyah Prabandari, Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini