NINA mungkin tak pernah menyangka bahwa kondisi putrinya bisa membaik. Kelainan jantung bawaan yang diderita Sinta, putrinya semata wayang, telah melemahkan fungsi berbagai organ tubuhnya. Napasnya memburu, suhu badan tinggi, dan dia tak sanggup lagi mencerna makanan. Para dokter pun sudah angkat tangan menyerah. "Ibu sebaiknya menyenangkan hatinya. Waktu Sinta mungkin tak lama lagi," demikian Nina menirukan kalimat dokter yang disampaikan kepadanya tiga tahun silam.
Namun, Nina tak menyerah pada keadaan. Atas anjuran seorang teman, dia segera berangkat menunaikan ibadah umrah ke Masjidil Haram di Mekah, Arab Saudi, dengan mengajak serta Sinta kecil—waktu itu berusia tiga tahun—yang tak sanggup berjalan. Dengan ditemani suami, ayah, ibu, dan adiknya, Nina berniat memohon kesembuhan Sinta di Tanah Suci.
Kemudian, setiba di Mekah, Nina menyiapkan segala keperluan. Tengah malam seusai salat tahajud, Nina membawa putrinya ke Masjidil Haram. Gadis kecil yang ringkih itu ia mandikan dengan segayung air zam-zam dengan diiringi doa-doa.
Ternyata, doa-doa yang khusyuk itu terjawab. Esok paginya Sinta bangun, minum susu, dan terpesona memandangi burung yang hinggap di jendela kamar hotel tempat keluarga Nina menginap. Demamnya reda, napasnya sudah normal, dan Sinta pun siap menjalani terapi pengobatan lebih lanjut. "Alhamdulillah, ini keajaiban Tuhan," kata Nina, 28 tahun, mengenang peristiwa itu.
Menurut Profesor Dadang Hawari, psikiater yang berkecimpung dalam pengobatan pecandu narkoba, rangkaian doa seperti yang di-lakukan Nina itu memang memegang peran penting dalam pengobatan. Awal Desember lalu, Dadang juga menyampaikan keampuhan pengobatan spiritual dalam sebuah seminar di Rumah Sakit Internasional M.H. Thamrin, Jakarta.
Sebenarnya doa sebagai bentuk terapi spiritual bukan hal yang baru. Lafal doa, mantra, meditasi—dengan beragam variasi—telah diterapkan selama ribuan tahun di seluruh penjuru dunia. Hanya, selama ini dunia kedokteran cenderung skeptis dan menilai pengobatan spiritual tak punya basis ilmiah yang kuat.
Namun, pandangan skeptis tersebut agaknya mulai berubah semenjak adanya berbagai riset yang menguatkan khasiat doa. Riset yang terbaru digelar Mark Snyder, ahli bedah jantung dari Duke University Medical Center, North Carolina, Amerika Serikat. Snyder merekrut 150 pasien bedah jantung yang terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, grup yang menjalani terapi pijat guna memulihkan kondisi pascaoperasi. Grup kedua melakukan fisioterapi. Sedangkan kelompok ketiga tak menjalani terapi apa pun selain didoakan tiap hari sekali oleh tim dokter. Ternyata, seperti dilaporkan WLWT HealthTeam 5's, awal bulan lalu, kemajuan paling pesat justru terjadi pada grup pasien yang "hanya" mendapatkan guyuran doa.
Sementara itu, di belahan dunia yang lain, Rogerio Lobo, ahli kandungan dari Universitas Columbia, New York, juga berupaya membuktikan khasiat doa. Sepanjang dua tahun, Lobo mengamati 199 perempuan yang sedang menjalani proses pembuahan bayi tabung (in vitro) di sebuah rumah sakit di Seoul, Korea.
Lobo mengirimkan foto sebagian responden itu kepada sekelompok jemaah Kristiani di Kanada, Australia, dan Amerika Serikat. Grup jemaah ini rutin mendoakan responden dari jarak jauh tanpa sepengetahuan responden. Hasilnya, tingkat keberhasilan kehamilan responden yang didoakan dua kali lipat ketimbang rekan mereka yang tak didoakan. "Ini cukup mengejutkan. Saya sendiri tak tahu persis apa artinya," demikian dilaporkan Lobo dalam Journal of Reproductive Medicine, September lalu.
Boleh jadi memang tak seorang pun sanggup memotret persis peranan doa dalam dunia kedokteran. Maklum, seperti pendapat Lobo, ada banyak sisi misterius yang menyertai pengobatan spiritual dan tak punya penjelasan rasional.
Namun, setidaknya berbagai riset tersebut mencerminkan bertiupnya gairah baru. Seperti diungkapkan David Larson, Presiden Lembaga Nasional bagi Penelitian Perawatan Kesehatan (National Institute for Healthcare Research) di Maryland, AS, riset mengenai doa melonjak dua kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir. Bahkan, National Institutes of Health (NIH), Departemen Kesehatan AS, kini tengah menggelar sebuah riset bertema doa yang berskala besar. Padahal, tadinya NIH menolak mentah-mentah proposal riset apa pun yang berurusan dengan doa. Artinya, "Angin telah berganti arah memihak pengobatan spiritual," kata Larson.
Adalah Herbert Benson, ilmuwan dari Harvard Medical School, yang turut mengubah arah angin itu. Selama 30 tahun Benson mengamati efek meditasi pada pasien yang berobat di The Mind Body Medical Institute. Dia merekam citra jaringan saraf pasien selama melakukan meditasi dengan metode magnetic resonance imaging (MRI).
Berdasar rekaman MRI, Benson menyimpulkan bahwa meditasi mengaktifkan bagian otak yang mengatur kesadaran diri, waktu, dan lingkungan sekitar. Meditasi juga mengaktifkan bagian tengah otak, disebut sistem limbic, yang memegang komando keseimbangan emosi psikologis, saraf otonom, irama jantung, dan tekanan darah. Nah, dengan aktifnya sistem limbic, metabolisme tubuh secara total juga bergerak menuju keseimbangan dan mewujudkan kesembuhan.
Benson mengakui, tak semua orang bisa menerima penjelasan pengobatan spiritual itu. Karena itu Benson menawarkan dua sudut pandang yang mungkin. "Jika Anda nonreligius, semua hal itu adalah semata-mata bagian dari proses sel-sel otak. Jika Anda orang yang religius, semua itu datang dari Tuhan," kata Benson.
Dadang Hawari lebih condong mengombinasikan keduanya. Menurut Dadang, yang dalam paket pengobatannya bagi pasien korban narkotik juga memasukkan unsur spiritualitas, pengobatan spiritual bisa dijelaskan dengan pendekatan ilmu psiko-neuro-imunologi. Komunikasi spiritual dengan Tuhan—ter-masuk zikir, meditasi, yoga, dan cara-cara berdoa dalam agama plus kepercayaan yang lain—bekerja mempengaruhi sistem saraf dan hormonal. Rangkaian kalimat teduh yang diucapkan berulang-ulang menurunkan produksi adrenalin alias hormon pemicu stres. Sebaliknya, produksi epinefrin atau hormon penangkal stres meningkat. Jantung pun bekerja lebih lancar, darah mengalir mulus ke seluruh tubuh, dan tekanan darah menuju normal. Walhasil, sistem kekebalan meningkat sehingga tubuh berpeluang melawan penyakit.
Agar hasilnya optimal, doa sebaiknya juga dibarengi pengobatan medis. "Harus gabungan keduanya, medis dan spiritual," kata Dadang. Memang, ada saatnya doa pun bisa berperan sebagai petarung tunggal tanpa bantuan obat-obatan. Tapi biasanya ini hanya berlaku untuk penyakit yang bersumber dari kegelisahan psikis, atau yang disebut psikosomatis. Misalnya, gatal-gatal karena stres. Begitu suasana hati tenang lantaran doa, gatal-gatal pun melayang. Namun, penyakit yang bersumber dari faktor nonpsikis tetap membutuhkan bantuan obat-obatan medis. "Penyakit karena infeksi bakteri, misalnya, harus dibasmi dengan antibiotik sembari tetap diiringi doa," kata Dadang.
Mardiyah Chamim dan Purwani D. Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini