Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Karya-karya dalam Sunyi

Tradisi hening dalam pendidikan seminari dan pesantren berperan penting melahirkan sastrawan.

1 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada mulanya adalah Sunyi dan Sunyi itu melahirkan Kata dan Kata menciptakan alam semesta dan alam semesta menyanyikan madah. Dan semua madah kembali ke Sunyi di baris terakhir semua puisi.
--"Surat Untuk Tuhan", Leo Kleden, SVD

Dentang lonceng membelah keheningan Hokeng, lembah subur di kaki Gunung Lewotobi, Flores Timur. Seminari Menengah San Dominggo, kompleks bangunan paling luas di seantero lembah, mematung dalam sunyi. Titik-titik air—sisa kabut dinihari—menetes dari pinggir atap gedung. Sebanyak 313 seminaris (siswa seminari) bergerak perlahan menuju kapel di halaman tengah. Berdiri sejak 15 Agustus 1950, seminari ini telah menghasilkan ribuan murid yang tersebar di seluruh Indonesia dan berbagai belahan dunia.

"Seluruh hari, dari bangun pagi sampai tidur malam, umumnya kami lalui dalam keheningan, kecuali makan, bekerja, dan olahraga," kata Prefek—sebutan bapa asrama—Seminari Hokeng Romo Sirilus Lela Wutun Pr. "Sunyi atau silentium dalam bahasa Latin mendominasi kehidupan di seminari. Para seminaris dilatih untuk berkarya dalam hening," ujar Sirilus kepada Tempo, yang mengun­jungi Hokeng tiga pekan lalu.

Dalam keheningan yang sama, Pastor Leo Kleden, SVD, 63 tahun, belajar di sana pada 1962. "Tidak ada televisi ketika itu. Radio hanya dimiliki para pastor pendidik," kata Leo, filsuf dan teolog yang juga dikenal sebagai penyair. Seperti yang ditulisnya dalam puisi di atas, keheningan menghadirkan kata-kata dan berujung pada puisi.

Saat hening menjadi warna khas seminari dan menjadi sumber kreativitas. Waktu untuk membaca kitab-kitab rohani dan sastra memang dialokasikan, selain untuk studi. Bahasa Latin—satu pelajaran wajib terpenting dalam tradisi formasi seminari—amat berperan melatih ketelitian siswa membaca, menerjemahkan, dan menafsir teks sastra klasik dalam bahasa Latin. Para seminaris pada masa itu beruntung memiliki guru-guru bahasa Indonesia yang mahir mengajar apresiasi sastra dan mengarang, selain tata bahasa.

Perpustakaan dan ruang baca adalah sumber perjumpaan tanpa batas dengan Karl May melalui serial Winnetou yang masyhur, Komedi Manusia-nya William Saroyan, serta karya Alexandre Dumas macam Graf dari Monte Cristo. Leo mengaku, melalui antologi puisi asing, dia melahap karya Longfellow, John Keats, W.H. Auden, R.M. Rilke, dan Edgar Allan Poe di usia remaja. "Saya ingat bagaimana bergairahnya saya menghafal The Raven yang dahsyat itu," tutur Leo kepada Tempo.

Perpustakaan San Dominggo me­ngoleksi sekitar 15 ribu buku yang terdiri atas filsafat, teologi, kitab suci, sastra (novel dan roman, puisi, dan buku sastra lainnya), pendidikan, ekonomi, politik, dan lain-lain.

Eduardus Dosi juga seorang padri dari ordo SVD yang giat menulis puisi di majalah DIAN dan Vox—kedua-duanya diterbitkan di Flores. Saat menempuh pendidikan menengahnya di Seminari St Yohanes Berchmans Todabelu, Matoloko, Flores, Edu Dosi mengakui betapa keheningan seminari amat membantu proses refleksi terhadap aneka bacaan yang telah dia serap, dari spiritualitas hingga sastra.

"Keheningan itu adalah kesempatan memikirkan sesuatu dengan lebih mendalam. Dari sana biasanya datang ide untuk menelurkan puisi atau cerpen," kata Amanche Francis Oe Nino Pr, pastor yang menggerakkan sastra di lingkungan Seminari Santo Rafael, Kupang. Amanche lantas melebarkan gerakannya dengan membuat Dusun Sastra Flobamora (Flores, Sumba, dan Timor) dan menerbitkan buletin sastra Santarang.

Hal ini terutama amat terasa pada hari Sabtu, saat semua seminaris dilarang berbicara. Momen ini disebut silencio magnum (keheningan agung). "Di situ para siswa diminta merenungkan sabda Tuhan. Kami dilarang berbicara, hening saja," kata Amanche.

Penyair Joko "Jokpin" Pinurbo, yang pernah belajar di Seminari Menengah St Petrus Canisius, Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, merasakan hal serupa. Dia bahkan memiliki beberapa tempat sepi untuk merenung dan menciptakan puisi. Tapi tentu bukan di toilet yang di depannya selalu ada tulisan "silentium". Jokpin dan teman-temannya mengartikan silentium sebagai toilet. Padahal arti kata Latin ini adalah tenang.

1 1 1

Keheningan tak hanya melanda seminari. Di pesantren pun kita menjumpai suasana serupa. Acep Zamzam Noor adalah penyair yang lahir dari Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Dia mengaku mensyukuri betul kesunyian tempat dia belajar dulu. Menulis puisi, kata Acep, membutuhkan intensitas dan kekhusyukan yang diperolehnya dari suasana pesantren. "Ini saya sadari setelah puluhan tahun saya masih setia menulis puisi dan mencintai puisi," ujarnya.

Penyair ini menuturkan, sampai sekarang, pengaruh pesantren terhadap dirinya dalam kekhusyukan dan istikamah tidak lekang. "Pengaruh pesantren masih amat kuat saya rasakan sampai sekarang," katanya.

Setiap sastrawan biasanya mempunyai tempat khusus untuk membaca dan merenung. Acep memilih kobong atau kamar tidur santri. Ukuran kobong tak terlalu besar, dengan bentuk memanjang, bisa dihuni belasan sampai 20 santri. Padat sekali. "Pada akhirnya tempat itu hanya untuk menyimpan barang. Hampir semua santri selalu tidur di masjid, yang juga menjadi bagian dari tempat merenung," kata Acep.

Pondok pesantren selalu berada di kampung—dan lazim dikitari sawah dan sungai—tempat favorit Acep merenung. Setelah mandi bersama teman-temannya, dia kerap berlama-lama tinggal di kali, duduk di salah satu batu. "Tanpa disadari ternyata sajak saya banyak mengambil tema alam, seperti sungai dan sawah," ujar sang penyair. Dia menjalin berbagai wajah alam raya dalam syairnya: keindahan, dinamika, bahkan rahasia bunga.

1 1 1

Kurestui mereka yang bercinta. Ikan-ikan/Angin dan gelombang berkejaran dalam matamu:/Jangan layarkan perahu bermuat lampu khianat/Dan biarkan batu-batu semekar mawar/Dalam rahimmu. Telah kunyalakan rahasia bunga-bunga/Untuk melapangkan jalanmu ke muara.

--"Sajak Bulan tentang Sungai",
Acep Zamzam Noor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus