Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada pertengahan 1950-an di Star Weekly, majalah keluarga, muncul seri komik Sie Jin Kwie. Komik itu langsung bisa bersaing dengan sejumlah komik Indonesia lain yang inspirasinya dari komik Barat, seperti komik hero Nina Putri Rimba karya Johnlo dan Kapten Komet ciptaan Kok Ong, yang diterbitkan di Medan dan isinya mirip dengan Flash Gordon. Juga Wiro, Anak Rimba Indonesia karya Kwik Ing Hoo, yang mirip Tarzan.
Siauw Tik Kwie (1913-1988) adalah ilustrator komik Sie Jin Kwie tersebut, tapi namanya sering dilupakan orang. Padahal, menurut pengamat komik asal Prancis, Marcel Bonneff, komik ciptaannya saat itu berhasil mengalahkan kepopuleran Flash Gordon dan komik superhero lain. Dan itu membuktikan pengaruh komik Barat bukan tanpa kelemahan.
Tahun ini adalah 100 tahun kelahiran Siauw Tik Kwie. Tempo mengulas agak panjang figur ini. Sebab, di samping komikus tangguh, ia pelukis naturalis yang memikat—seseorang yang dengan gairah tinggi merekam sudut-sudut Jakarta. Satu lagi keistimewaannya: dia juga seorang pemikir spiritual.
Pada 1960-an, ia mengubah namanya menjadi Ki Otto Swastika. Ia dikenal aktif menyebarluaskan pemikiran filsuf Jawa, Ki Ageng Suryomentaram. Di zaman Suryomentaram masih hidup, Siauw sering mengikuti dan menerjemahkan ceramah Suryomentaram ke dalam bahasa Indonesia. Ia kemudian juga aktif mendirikan paguyuban yang membahas ide-ide Suryomentaram. Tanpa dia, pemikiran Ki Ageng Suryomentaram tak akan pernah dikenal luas.
"Ini kamar Papi. Papi kalau melukis di sini."
Potret-potret diri terbuat dari pastel dan arang hitam karya ÂSiauw Tik Kwie tergantung di ruangan kecil di rumah Jalan Penegak Nomor 6, Matraman, itu. Semua bertarikh 1940-an dan 1950-an. Susanti Adityawati Swastika, 63 tahun, putri kedua Siauw, mengajak ke bekas kamar tidur papinya. Di situ juga masih ada "sisa-sisa" lukisan Siauw.
Di rumah kuno sederhana itu, Siauw Tik Kwie meninggal pada 1988. Meski tahun ini tepat 100 tahun hari kelahirannya, tak ada perayaan atau diskusi khusus mengenainya. Padahal Siauw dikenal sebagai komikus ampuh yang membuat seri komik Sie Jin Kwie di koran Star Weekly sejak 1954 sampai 1961—rekor terlama yang belum tertandingi komikus lokal mana pun sampai sekarang. Kini sering kali namanya dilupakan.
Pekan komik Indonesia pun sering alpa menyebutnya. Siauw Tik Kwie pada masa hidupnya adalah seorang ilustrator, pembuat cover, dan pembuat reklame andal. Sebagai pelukis, ia memang tidak seterkenal Affandi, Basuki Abdullah, ataupun Sudjojono, tapi ia disegani dan memiliki penggemar tersendiri. "Saya masih ingat redaksi majalah Varia tiap Minggu nganterin cerpen ke Papi untuk dibuatkan ilustrasinya," kata Susanti.
Nano Riantiarno, yang bersama Teater Koma sukses mementaskan trilogi Sie Jin Kwie selama tiga tahun berturut-turut sejak 2010 sampai 2012 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, mengakui bagaimana pentingnya komik Sie Jin Kwie garapan Siauw Tik Kwie. Kisah Panglima Tang ini melekat di kepala Nano sejak kecil gara-gara saat duduk di bangku sekolah dasar dia sudah membaca komik itu. "Saya pasti nungguin kelanjutan ceritanya," ujarnya. Nano ingat saat ia menggarap skenario begitu lancar. Itu lantaran ia sudah ngelotok dan tinggal menuangkannya. "Skenario saya garap hanya tiga minggu. Jarang-jarang, biasanya untuk satu naskah setahun enggak kelar-kelar," katanya.
Siauw Tik Kwie menggarap komik Sie Jin Kwie saat masih bertempat tinggal di Kramat Sentiong Nomor 30-A. Susanti, sang putri, masih ingat bagaimana cara ayahnya menggambar. "Papi menggambar dengan pensil dulu, lalu baru menggunakan tinta Cina. Goresan pensilnya dihapus. Saya sering bantuin nyetipin." Siauw terampil melukiskan adu tanding di atas kuda atau pertempuran para pesilat menggunakan ruyung, toya, gembolan, pedang, tombak, dan trisula.
"Sejak kecil saya suka komik-komik Sam Kok dan Sun Go Kong terbitan Shanghai. Tapi, begitu melihat komik Om, terasa berbeda, ada terang-gelapnya," ujar Siont Teja, kolektor dan art dealer, yang dulu murid Siauw Tik Kwie. Menurut lelaki yang akrab dipanggil Asjong ini, gaya menggambar gurunya bisa jadi menginspirasi komikus Indonesia sesudahnya. "Ya, Ganes Th., pencipta Si Buta dari Gua Hantu, adalah murid Siauw Tik Kwie. Pasti ia terpengaruh," kata Beng Masmuri, pemilik galeri Arts Longa dan kolektor karya Siauw.
Pada 1960-an, kisah Sie Jin Kwie diadaptasi menjadi kisah kesatria Jawa yang disiarkan Ketoprak Mataram Radio Republik Indonesia Yogyakarta pimpinan CokroÂjiyo. Disiarkan tiap Rabu pukul 20.30-00.00, program ini sangat populer. Entah Cokrojiyo terinspirasi komik karya Siauw Tik Kwie entah tidak.
Yang jelas,sumbangan Siauw tidak hanya di dunia seni rupa, tapi juga di dunia filsafat Jawa. Pada 1960-an, Siauw Tik Kwie mengubah namanya menjadi Ki Otto Swastika. Ia kemudian aktif menyebarluaskan pemikiran Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962).
Suryomentaram dikenal melahirkan pemikiran unik mengenai psikologi Jawa. Ia menggunakan dirinya sendiri sebagai eksperimen untuk mengetahui berbagai perasaan manusia. Psikolog Darmanto Jatman menyebutkan pemikiran Suryomentaram bisa disandingkan dengan teori-teori psikologi modern, seperti teori dari Sigmund Freud dan Abraham Maslow.
"Siauw Tik Kwie dekat dengan ayah saya. Sumbangan Pak Siauw menyebarluaskan ajaran ayah saya luar biasa sekali," ujar Gransang Suryomentaram, 82 tahun, putra Ki Ageng Suryomentaram, saat ditemui Tempo. Toh, di Yogya, para pengikut Suryomentaram sering tak tahu siapa Siauw. "Saya tak begitu mengerti hubungan Siauw Tik Kwie dengan Suryomentaram," kata Prasetyo Atmosutidjo, pengelola Komunitas Pelajar Kawruh Jiwa, forum yang membahas ajaran Ki Ageng Suryomentaram.
Sebagai pelukis, Siauw Tik Kwie bagian dari gerakan Yin Hua, komunitas pelukis Tionghoa yang didirikan di Jakarta pada 1955. Anggotanya adalah pelukis tenar, seperti Lee Man Fong, Wen Peor, dan Kho Wan Gie (pencipta tokoh kartun Put On di koran Sin Po). Mereka berkumpul di Prinsen Park (sekarang Lokasari, Mangga Besar) dan sering berpameran di Chineesche Handels Vereeniging di Gedung Candra Naya—bekas rumah Khouw Kim An, Mayor Cina terakhir di Batavia—Jalan Gajah Mada. Saat komunitas ini bubar, Wen Peor lari ke Hong Kong dan Lee Man Fong ke Singapura.
"Siauw sangat aktif di Yin Hua, tapi tidak menonjolkan diri. Ia wakil Lee Man Fong di kelompok ini," kata Beng Masmuri. Sampai sekarang, sayangnya, belum ada kajian khusus mengenai Yin Hua. Menurut Susanti, ayahnya kadang melukis satu lukisan besar ramai-ramai dengan anggota Yin Hua. "Bapak saya ke Bali bersama Man Fong dan Wen Peor." Tempo menyaksikan foto Siauw Tik Kwie, Le Man Fong, dan Wen Peor bersama Le Meyeur. Salah satu lukisan Ni Polok, istri Meyeur, karya Siauw yang indah, tak kalah mutunya dengan karya pelukis-pelukis Belanda saat menggambar perempuan Bali, misalnya Gerard Hofker.
Tapi, jauh sebelum bergabung dengan Yin Hua, Siauw Tik Kwie sudah menjadi pelukis yang diperhitungkan. Dalam sebuah pameran di Bataviasche Kunstkring pada 1937 bersama Sudjojono, Lee Man Fong, Rudolf Bonnet, Henk Ngantung, dan lain-lain, karyanya Pintu Kecil laku terjual 110 gulden—harga yang cukup tinggi saat itu.
Minat Siauw Tik Kwie terhadap seni rupa tumbuh sedari kecil. Pada usia 12 tahun, dari Solo, ia diajak Liem Too Hien dan Kwik Hway Hien menemui seorang tabib Tionghoa di Desa Rejoagung, Tulungagung, Jawa Timur. Liem Too Hien adalah pelukis tua Solo dan Kwik Hway Hien murid Lauw Tjhing Tee, pendekar kungfu Shaolin yang lari ke Parakan, Jawa Tengah. Petapa di Tulungagung itu bernama Tan Tik Sioe. Gua pertapaannya dihiasi lukisan Cina. Di sinilah, menurut ÂYoest M., penulis di Harian Indonesia, untuk pertama kalinya Siauw terpesona oleh dunia seni rupa silat. Ia kagum pada gambar Nacha bertarung dengan naga.
Pekan lalu, Tempo menyambangi gua di kawasan hutan jati Tulungagung itu. Di gerbang tembok merah terdapat tulisan "Gondo Mayeet" ("Bau Bangkai"). Di balik tembok terdapat relief tulisan tangan Tan Tik Sioe: "Iduook Itoe Atie2. Djangan Moorkah. Zonder Doeweet Djangan Doestak". Sebuah patung harimau putih berdiri di samping pintu pertapaan. Pertapaan itu menyerupai kuil yang disusun dari batu kali dengan ornamen bundar. Ukuran pintu dan jendelanya sangat kecil sehingga memaksa pengunjung merangkak.
Setelah Tempo bersusah payah memasukinya, bau dupa tercium sangat kuat. Di dalamnya ada altar persembahyangan dan dua patung dewa. Di atasnya terpampang foto Tan Tik Sioe yang terlihat memandangi siapa pun di depannya. Rambut panjangnya tergerai bebas. Di luar ruangan ini, terdapat tempat peribadatan lain.
Ada lukisan bergambar Tan Tik Sioe berjubah putih. Tangan kirinya menggendong bayi harimau. Di kaki kirinya berbaring jinak tiga harimau dewasa. Tak jauh dari posisinya, seorang perempuan berjubah hitam memberi sikap hormat. Di gua tersebut, Tempo tak melihat ada lukisan Nacha seperti yang pernah dilihat Siauw Tik Kwie puluhan tahun silam. "Papi tak pernah bercerita tentang itu. Tapi, di masa kecilnya di Solo, ia suka nonton wayang potehi dan belajar silat pada suhu Tjie Gwan Yu," ujar Susanti.
Tampak sedari kecil Siauw Tik Kwie memang suka diajak mengelana. Sampai akhir hayatnya, Siauw suka mengembara ke sudut-sudut dan gang-gang Jakarta. Lukisan pengembaraan Siauw ini sekarang banyak dikoleksi Kartini Collection, Jakarta. "Lukisan Siauw seperti dokumentasi Jakarta. Lihat, misalnya, ia menggambar patung Pangeran Jayakarta. Sekarang di jalan itu sudah tak ada lagi," kata Liong Hauw Ming dari Kartini Collection.
Dan memang lukisan-lukisan itu ibarat "reportase informal" yang cantik. Kita melihat Siauw Tik Kwie melukis naturalis: Glodok: Pintu Kecil, Pemangkas Rambut di Tepi Jalan Theresia Jakarta, Pasar Pramuka, Pasar Senen, Pantai Cikarang, Muara Angke, Gunung Salak Dilihat dari Cigombong, Pedagang Makan Ketoprak di Tepi Jalan Kramat Jakarta, Kalibata, Marunda, Toasebio, Asemka, Pohon Karet di Tepi Kali Kwitang….
"Kami memiliki empat lukisan Siauw yang bergaya agak kubisme. Ini jarang sekali. Jembatan Kota Intan, Pintu Kecil, Belendongan…," ujar Hauw Ming. Kartini Collection juga mempunyai skets-skets Siauw tentang kuda hasil keluyuran di Taman Ria. Ini membuktikan gerak-gerik kuda yang variatif, dari berlari kencang sampai meringkik terluka, di komik itu bertolak dari riset.
Tak jarang, saat berkelana ke gang-gang Jakarta, Siauw Tik Kwie mengajak murid-muridnya. "Di zaman saya, tahun 1980-an awal, Om Siauw paling senang ke Marunda. Kami juga pernah ke PangandaÂran. Yang menyetir adalah murid Basuki Abdullah, Tan Tiong Heng, pemilik pabrik Rheumason," kata Asjong. Murid Siauw terdiri atas beberapa generasi. "Di atas saya ada pelukis Yap Hian Tjai dan Liem Tjoe Ing," ujarnya.
Bahwa dalam menggambar Siauw Tik Kwie selalu menggunakan model, itu dibenarkan Asjong. "Saya kerap mencarikan model," kata Asjong. Bahkan, bila murid-muridnya mencoba berlatih lukisan nude, Siauw tak keberatan. "Pernah saya cari cewek 'grand funk' di Jalan Mangga Besar, lalu kami bawa ke Hotel Ratu. Di sana beramai-ramai kami lukis."
Tentang bagaimana Siauw Tik Kwie selalu menggunakan model, Hauw Ming punya cerita. Suatu kali, ia mendapat lukisan Siauw bergambar kepala perempuan Eropa yang seperti sosok ratu. "Saya bertanya apakah Siauw mengarang-ngarang atau tidak." Dari Tan Poen Nio, istri Siauw, diketahui bahwa ternyata itu digambar dari sebuah patung yang dibeli di Prinsen Park. "Saya cari di gudang dan ketemu patungnya. Artinya, tetap ada model," ujar Hauw Ming. Bahkan, jika Siauw menggambar bunga pun, menurut Susanti, selalu harus ada bunga aslinya. Siauw adalah pelukis yang sangat piawai menggambar bunga seruni.
Bagaimana cara Siauw Tik Kwie mengajar? "Om selalu menekankan komposisi. Warna harus ada dimensi terang-gelapnya," kata Asjong. Menurut Asjong, sementara pelukis lain sering menggunakan biru tua dan hijau tua untuk latar gelap, Siauw suka campuran warna ungu. "Saya pernah bertanya kepada Om, mengapa ungu. Dia jawab, coba lihat, pada alam selalu ada unsur ungu tua." Menurut Asjong, Siauw juga selalu memperhatikan perspektif. "Kalau melukis pemandangan, Om tidak mau horizonnya flat, selalu dipotong pohon atau apa."
"Di kamar ini, Papi sering bermenung pagi-pagi sambil membaca buku Krishnamurti…."
Krishnamurti adalah "anak ajaib India" yang oleh Annie Besant, pendiri organisasi Theosophy, digadang-gadang sebagai maitreya—nabi baru—tapi Krishnamurti menolaknya dan memilih menjadi pemikir spiritual bebas. Menurut Susanti, ayahnya sering mengatakan ada kesamaan antara pemikiran Krishnamurti dan Ki Ageng Suryomentaram.
Sepanjang pengetahuan Susanti, semenjak tenggelam ke dunia kebatinan, papinya tak pernah ke kelenteng. "Kalau Imlek, ya beri angpau saja, tak pernah sembahyang." Siauw Tik Kwie sekali waktu pernah aktif di Majalah Tridharma, Jakarta, pimpinan Kwee Tek Hoay, tokoh agama Tridharma, yang menggabungkan peribadatan Buddha, Konghucu, dan Tao dalam satu kelenteng. Tatkala berumur 19 tahun, Siauw selama tiga tahun tinggal di rumah Kwee Tek Hoay di Mangga Besar Nomor 69. Bahkan pada 1983, komiknya, Sie Jin Kwie, dibukukan ulang oleh penerbit Gabungan Tridharma Indonesia.
Yang menarik, meski Siauw Tik Kwie mengagumi Krishnamurti dan Suryomentaram, bila kita perhatikan, tak ada satu pun lukisannya yang bergambar kedua tokoh itu. "Om Siauw tak pernah menggambar tokoh terkenal, apalagi tokoh politik. Ia suka menggambar orang kecil," kata Asjong. Salah satu potret yang tersisa adalah potret Tan Poen Nio alias Kartini, istri yang dicintainya. Sang istri dilukis saat berusia 25 tahun. Sekarang ia berumur 92 tahun, terbaring lemah, sudah pikun, dan sering mengira Siauw Tik Kwie masih hidup. Ketika kami mendekatkan lukisan dirinya itu, ia berusaha bangkit.
Susanti bertanya, "Mama, sopo iki…?
Perempuan itu menatap. Lama. Matanya berkejap-kejap. Kemudian dari mulutnya terdengar lirih:
"Iki aku."
Seno Joko Suyono, Dian Yuliastuti (Jakarta), Hari Triwasono (Tulungagung), Addi Mawahibun Idhom (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo