Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama Sie Jin Kwie menjadi Sudiro. Nama putra Sie Jin Kwie, Sie Teng San, berubah jadi Sutrisno. Menantu Sie Jin Kwie, perempuan gagah berani Lee Hwa, menjadi Wharyanti. Demikianlah pada 1950-an, kisah Sie Jin Kwie yang dipopulerkan Siauw Tik Kwie di Star Weekly menjadi cerita ketoprak di Yogya. "Pelopornya adalah seniman ketoprak Cokrojadi," kata Bondan Nusantara, penggiat ketoprak.
Cokrojadi bersama kakaknya, Cokrojiyo, mulanya aktif menyiarkan ketoprak di radio Mavro (Mataramse Vereeniging Voor Radio Omroep), yang berdiri pada 1934 dan kemudian menjadi RRI Yogyakarta. Pada 1960-an, kalangan seniman Yogya terpecah karena beda afiliasi politik, termasuk mereka. Cokrojiyo aktif di Partai Nasional Indonesia (PNI), sedangkan Cokrojadi memilih terjun ke Partai Komunis Indonesia (PKI).
Cokrojadi keluar dari RRI dan membentuk grup bernama Kridomardi, yang berkeliling dengan tobong dari satu daerah ke daerah lain. "Ibu saya, Kadariyah (kini 87 tahun), waktu itu memutuskan bergabung dengan Cokrojadi," ujar Bondan. Kridomardi mempunyai kantor sendiri di Pajeksan, sebelah barat Malioboro. Di sana berdiri juga kantor Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).
"Kedekatan Kridomardi dengan Baperki itulah yang mengawali munculnya cerita Sie Jin Kwie dalam seni ketoprak," Bondan menerangkan. Menurut Bondan lagi, Cokrojadi mengetahui kisah Sie Jin Kwie berdasarkan tuturan orang-orang Baperki. Entah, apakah orang-orang Baperki suka membaca komik Sie Jin Kwie besutan Siauw Tik Kwie, kita tak tahu. Yang jelas, Baperki juga mengajari seniman ketoprak dengan seni bela diri menggunakan toya. Baperki mendatangkan pula kelompok seni pertunjukan dari Cina untuk menggelar semacam workshop tata lampu dan tata panggung. Penggunaan petromaks dengan kertas berwarna merah, hijau, dan kuning sebagai pengganti obor adalah hasil inovasi workshop.
Tak kalah dengan adiknya, Cokrojiyo, yang tetap bertahan di RRI, juga menyiarkan kisah Sudiro. Ketoprak RRI besutan Cokrojiyo ini malah lebih populer lantaran coverage area-nya seluruh Indonesia. Sementara Kridomardi hanya mementaskan lakon-lakon Sudiro yang menarik, misalnya Sudiro Papa, Manggul Yudo Sudiro, dan Wharyanti Senopati, ketoprak RRI menyiarkan kisah Sudiro hingga selesai—memakan waktu sekitar 300 hari.
Baik Cokrojiyo maupun Cokrojadi tak menelan mentah-mentah isi cerita Sie Jin Kwie. Kisah pertempuran banyak dipotong karena tak mendukung cita-cita nasionalisme Sukarno. Kerajaan Tong Tiaw, yang dalam kisah Sie Jin Kwie banyak berperang untuk menguasai daerah-daerah kecil, diganti dengan Kerajaan Tanjung Anom yang bertempur dengan tujuan mempersatukan kadipaten-kadipaten. Meski Cokrojiyo dan Cokrojadi berbeda dalam hal latar belakang politik, keduanya sepakat soal nasionalisme Bung Karno.
Mereka juga suka menonjolkan Wharyanti sebagai tokoh perempuan yang kuat. Sesuai dengan kisah aslinya, Wharyanti adalah panglima perang pemberani, yang berhasil mempersatukan wilayah-wilayah kerajaan. Sutrisno, suaminya, menaruh hormat kepadanya. Bahkan ada adegan, ketika Sutrisno berbuat salah, ia meminta maaf kepada istrinya sambil berjalan dan dicambuki. Adegan itu dikisahkan dalam lakon SuÂtrisno Sapu. Secara politik, kisah semacam itu sangat menguntungkan PKI, lantaran ada program partai yang disisipkan—seperti perjuangan emansipasi perempuan, yang merupakan program Gerwani.
Hingga akhirnya pecah G-30-S pada September 1965. Para seniman ketoprak Kridomardi dicari dan ditangkapi. Termasuk Kadariyah, yang dianggap juga aktivis Komunis. "Padahal ibu saya tidak terlibat, tapi tetap masuk penjara kategori C di Ambarawa selama tujuh tahun," kata Bondan. Bahkan Cokrojadi pun hilang tak tahu rimbanya. Ketoprak Kridomardi bubar. Adapun ketoprak Mataram RRI masih eksis berdiri. Tapi, lantaran beban psikologis memikirkan adiknya, Cokrojiyo meninggal pada 1967.
Pito Agustin Rudiana (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo