Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Para akademikus, guru besar, aktivis, mahasiswa, hingga masyarakat sipil memberikan bunga mawar merah dan putih kepada perwakilan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam aksi kawal putusan MK, Kamis, 22 Agustus 2024. Menurut mereka, aksi simbolik ini dilakukan agar dapat menyejukkan MK dalam menjaga marwah lembaga Yudikatif itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Massa aksi menyerahkan bunga mawar tersebut kepada juru bicara MK, Fajar Laksono, dan Majelis Kehormatan MK (MKMK), Yuliandri. Mereka berdiri di atas tangga MK sambil berteriak “Kawal MK, lawan dinasti!” berkali-kali. Di depan barisan, ada poster seruan bertuliskan “Awas pencoreng demokrasi,” “Indonesia darurat demokrasi,” dan masih banyak lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Omi Komariah Madjid, istri cendikiawan muslim Nurcholish Madjid alias Cak Nur, turut mengomentari aksi simbolik ini. “Terima kasih bapak-bapak, sudah diterima bunganya, mudah-mudahan bunga itu bisa menyejukkan kita semua,” kata Omi.
Selain mawar yang sudah dipetik, massa aksi di MK juga membawa karangan bunga mawar berwarna merah muda dan putih, lili, dan krisan. Tampak cantik, pada karangan bunga itu juga terselip pesan untuk MK, “MK terus jaga marwah konstitusi, MK tetap teguh pada konstitusi, MK jaga marwah dan kawal terus demokrasi”.
Sejumlah aktivis dan mahasiswa demonstrasi di kawasan Gedung MK. Demo ini dilatarbelakangi oleh putusan MK yang sebelumnya memutuskan untuk membatalkan sejumlah undang-undang kontroversial yang disahkan oleh DPR.
Namun, DPR dinilai mengabaikan putusan tersebut dan tetap melanjutkan agenda legislatifnya tanpa memperhatikan keputusan MK. Hal ini memicu kemarahan publik dan menjadi salah satu alasan utama dilakukannya unjuk rasa besar-besaran hari ini.
Badan Legislasi (Baleg DPR) mendorong agar draf rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota disahkan dalam rapat paripurna hari ini, Kamis, 22 Agustus 2024. RUU Pilkada itu bakal disahkan yang akan menganulir putusan MK soal syarat pemilihan kepada daerah.
Padahal sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa, 20 Agustus 2024 telah memutuskan ambang batas Pilkada akan ditentukan perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik yang dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing-masing daerah. Ada empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK, yaitu; 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen, sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait. Putusan itu termuat dalam putusan MK 60/PUU-XXII/2024.
Dalam putusan lain yakni 70/PUU-XXII/2024, MK juga telah menetapkan batas usia calon kepala daerah minimal 30 tahun saat penetapan calon oleh KPU.
Namun, sehari pasca putusan tersebut, yakni pada Rabu, 21 Agustus 2024, Baleg DPR menggelar rapat untuk membahas RUU Pilkada. Dalam rapat itu, Baleg menyatakan tetap menggunakan ambang batas 20 persen kursi di parlemen bagi partai politik yang hendak mengusung calonnya di pemilihan kepala daerah.
Selain itu, Baleg DPR juga menolak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang syarat usia calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon. Keputusan Baleg DPR batas usia calon berusia paling rendah 30 tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.