Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Obsesi Gagal di Timor Timur

Operasi intelijen di Timor Timur bertujuan menggalang kekuatan pendukung integrasi dengan Indonesia. Harapan Ali pupus dengan adanya Operasi Seroja.

14 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aloysius Sugiyanto, kini 85 tahun, ingat betul perintah Ali Moertopo. "Gi, kamu pergi ke Timor Timur. Cari tahu bantuan yang diperlukan." Sebelumnya, Ali sudah menemui Jose Fernando Osario Soares, Ketua Associacao Popular Democratica de Timor (Apodeti)—semula bernama Associacao Integraciacao de Timor Indonesia (AITI)—partai politik di Timor Timur yang menginginkan integrasi dengan Indonesia.

Berbekal tiket pesawat terbang, akomodasi hotel, dan uang kontan untuk kebutuhan dalam operasi intelijen tanpa nama, Sugiyanto terbang ke Bacau melalui Darwin, Australia. Dari Bacau, ia terbang ke Dili, ibu kota Timor Timur. Menyamar sebagai pedagang, Sugiyanto menjalankan tugas yang diperintahkan Ali: menggalang warga Timor Timur untuk bergabung dengan Indonesia. "Saya orang Indonesia pertama yang masuk Dili," kata Sugiyanto.

Berpakaian necis, berambut gondrong, dan berkacamata gelap, Sugiyanto tampil layaknya pengusaha. Sambil berdagang bahan kebutuhan sehari-hari, Sugiyanto aktif mengumpulkan informasi dan bertemu diam-diam dengan tokoh-tokoh di Timor Timur. Orang-orang yang ingin bergabung dengan Indonesia, seperti dari kelompok Apodeti, yang menjadi target utama Sugiyanto.

Selama di Dili, Sugiyanto menyaksikan minimnya perlengkapan orang-orang yang dia galang. Ia kemudian berbelanja mesin ketik dan dua sepeda motor di koperasi milik pegawai negeri di Timor Timur. Selanjutnya, Sugiyanto menggelar berbagai pelatihan dan pertemuan yang berkaitan dengan rencana menyatukan bekas jajahan Portugal itu dengan Indonesia.

Tapi diam-diam Sugiyanto juga bertemu dengan tokoh-tokoh politik yang tidak segaris dengan Apodeti. "Siang saya bertemu mereka, malam saya bertemu Apodeti. Mereka tidak ada yang tahu," ujarnya. Ia terus bergerak.

Menurut Jusuf Wanandi, salah satu pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang terlibat dalam Operasi Komodo di Timor Timur, dalam Shade of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia 1965-1998, Ali sebenarnya sudah memantau Timor Timur sejak awal 1970-an lewat Kolonel Muhammad, Louis Taolin, pengacara Thung Kim Liang.

Namun, setelah pecah revolusi di Portugal yang dikenal dengan Revolusi Bunga atau Revolusi Anyelir pada 25 April 1974, Ali, yang menjabat Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara, lebih memusatkan perhatian. "Ketakutan pada waktu itu adalah menjalarnya komunisme," kata Jusuf.

Ketika itu terjadi pergeseran signifikan di Lisabon. Kelompok perwira muda berhaluan kiri, Movimento das Forcas Armadas (MFA), dalam revolusi tak berdarah berhasil menjatuhkan diktator Marcelo Caetano. Semangat kiri itu menular hingga ke Timor Timur, wilayah jajahan Portugal. Salah satu partai baru yang besar di Timor Timur berhaluan Marxisme, yaitu Associacao Social Democratica de Timor (ASDT) yang kemudian menjadi Frente Revolucionaria de Timor Leste Independente (Fretilin).

Setelah Revolusi Bunga, partai memang bermunculan di Timor Timur. Selain Apodeti dan ASDT, juga ada Uniao Democratica Timorense (UDT), yang pro-integrasi dengan Portugal, dan beberapa partai kecil lain.

Ali kemudian menggelar Operasi Komodo. Dalam operasi yang di belakangnya ada CSIS, Bakin, dan Opsus tersebut, para agen tak lagi sekadar mengumpulkan informasi, tapi juga menyiapkan Timor Timur agar bisa bergabung dengan Indonesia melalui jajak pendapat damai. Menurut Jusuf, modelnya seperti persiapan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua yang dianggap sukses. "Kami ingin mengulanginya di Timor Timur," tulis Jusuf.

Sebenarnya, awalnya Presiden Soeharto belum begitu bersemangat dengan Timor Timur. Tapi dia berubah pikiran setelah ada peringatan dari Perdana Menteri Australia Gough Whitlam mengenai dampak Revolusi Bunga ke Timor Timur. Dia tak ingin pengaruh Vietnam atau Cina yang komunis turun ke Timor Timur, setelah wilayah itu lepas dari Portugal.

Soeharto kemudian mengutus Ali bicara dengan pemerintah Portugal. Ia terbang ke Lisabon pada Oktober 1974. Namun sebulan sebelumnya ia telah mengirim Kolonel Muhammad bergabung dengan Duta Besar Indonesia di Belgia, Frans Seda, untuk bertemu dengan Deputi Menteri Luar Negeri Jorge Campinos.

Setelah itu beberapa pertemuan masih digelar, yakni pada November di London, Inggris—Ali ikut serta. Kemudian pada Maret 1975, di Roma, Menteri Luar Negeri Adam Malik bertemu dengan Menteri Luar Negeri Portugal Melo Antunes.

Meski Portugal memberi angin positif, di lapangan fakta berbeda: tak ada tindakan untuk merealisasi kesepakatan Portugal mendukung keinginan Indonesia. Portugal memang menyatakan sepakat adanya periode transisi selama enam, tujuh, atau delapan tahun, yang juga disetujui Indonesia, tapi kenyataannya mereka bangkrut dan tidak mungkin mengurus Timor Timur selama itu. Pada dasarnya Portugal ingin menyingkirkan Timor Timur secepat mungkin dengan menggunakan referendum untuk Timor Timur merdeka.

Menurut Jusuf, Ali sampai kehilangan kesabaran terhadap Portugal. Apalagi situasi di Timor Timur semakin buruk dengan pecahnya perseteruan berdarah UDT-Fretilin mulai Mei 1975. Bahkan, pada 28 November, Fretilin yang kiri memproklamasikan kemerdekaan Timor Timur. Orang-orang UDT melarikan diri ke Indonesia. Di daerah perbatasan, puluhan ribu pengungsi menyelamatkan diri.

Sebenarnya pada saat yang sama, mulai awal 1975, L.B. Moerdani, yang menjabat Asisten I/Intelijen Kementerian Pertahanan, juga mulai terlibat lebih dalam ke Timor Timur.

Dalam buku Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan, Benny menyatakan Operasi Komodo kurang memuaskan dan dia menginginkan operasi militer segera diberlakukan. Ia awalnya menggelar Operasi Flamboyan, yang bertujuan mempersenjatai, melatih, dan memobilisasi orang Timor di perbatasan, tanpa perlu menerjunkan pasukan.

Namun rupanya para petinggi di Kementerian Pertahanan dan Markas ABRI di bawah Maraden Panggabean menginginkan operasi militer besar-besaran. Operasi militer gabungan dilaksanakan dengan nama: Operasi Seroja. Pada 7 Desember 1975, orang-orang UDT, Apodeti, Trabalista, dan KOTA, bersama para sukare­lawan Indonesia dan tentara Indonesia, menyerbu Dili, memberangus Fretilin.

Misi operasi Ali pun berakhir. Namun Indonesia sebenarnya juga tak siap untuk operasi militer besar tersebut. Sugiyanto mengenang, saat pasukan Operasi Seroja akan diterjunkan, mereka mengira warna hijau di bawah adalah hutan, padahal sebenarnya ilalang. "Mereka cedera kaki dan punggung karena mendarat di batu," ujarnya.

Benny juga tak menyembunyikan kekecewaannya. "Pasukan tidak disiplin, saling tembak. Wah, pokoknya memalukan," ujar Benny, seperti tertulis di buku Benny Moerdani. Namun, setelah melalui banyak pertumpahan darah, pada 17 Juli 1976 Timor Timur resmi menjadi provinsi termuda Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus