Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hajatan ini digelar pada 23 April 2002. Hari itu, PT Humpuss Intermoda Transportasi milik Hutomo Mandala Putra genap berusia 18 tahun. Karyawan beserta sejumlah tamu memenuhi ruang rapat besar di lantai sembilan Gedung Granadhi, Jakarta Selatan—kantor pusat Grup Humpuss. Mereka berkumpul untuk bersyukur walau perusahaan dalam situasi prihatin: bos besar Tommy Soeharto tengah dikungkung penjara. Dia terbukti terlibat pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita dan dihukum 15 tahun.
Beberapa kado hari jadi siap dikirim ke penjara. Di antaranya, lukisan Tommy menunggang kuda sembrani ke gunung terjal sembari menggenggam bendera Humpuss. Tampaknya kado itu tidak asal pilih: kuda sembrani mencerminkan kekuatan. Dan Tommy dikenal berani mengambil risiko.
Humpuss, misalnya, ia dirikan sejak masih berusia 22 tahun. Ditopang kemudahan sebagai anak presiden, jejaring bisnisnya menggurita dengan cepat ke berbagai lini. Kukuh dan kuat, Tommy tumbuh bersama Humpuss. Senin pekan lalu itu, kekuatan tersebut masih jelas terlihat.
Pulang dari penjara, dia disambut dengan meriah oleh kawan dan handai-tolan. Jumat pekan lalu, Sirkuit Sentul bersolek menyambut Tommy, kini 44 tahun. Tenda-tenda didirikan lengkap dengan sebuah panggung mungil. Rupa-rupa makanan dihidangkan: sate kambing, tempe kering, ayam goreng, dan menu-menu sedap lainnya kesukaan Tommy.
Di tribun utama terbentang sehelai spanduk raksasa bertulisan ”Syukuran Kehadiran Presiden Komisaris PT Sarana Sirkuitindo Utama. Bersama Kami Kembali”. Sekitar dua ratus tamu dan wartawan menyesaki arena pesta. Mobil Ferrari, Mercy, BMW berdempet di parkiran.
Kebesaran Tommy juga tecermin dari banyaknya tamu. Beberapa pembalap nasional, antara lain Ananda Mikola, serta sederet tamu penting setia menunggu ”pengantin” tunggal, yang hingga petang tak tampak batang hidungnya.
Keriaan juga terlihat di lantai sembilan Gedung Granadhi. Jumat pekan lalu santer tersiar kabar Tommy bakal memimpin rapat konsolidasi. Sejumlah wartawan menunggu dengan sabar. Tapi Tommy tidak muncul.
Barisan tamu juga mengantre di kediamannya, Jalan Jusuf Adiwinata nomor 4, Menteng, Jakarta Pusat, sejak Senin pekan lalu. Karangan bunga dijejer bak hajatan perkawinan. ”Selamat Datang Bapak Hutomo Mandala Putra”, demikian bunyi ucapan selamat PT Granadhi. Anton Sihombing, Ketua Komisi Tinju Indonesia, mengirim kembang bertulisan ”Selamat Datang, Semoga Sehat Selalu”.
Jejaring bisnis Tommy bagai disuntik energi baru dengan hadirnya pemimpin mereka. Megaproyek Bali Pecatu Graha (BPG), milik Tommy di Jimbaran, Bali, tampaknya akan tancap gas. Perusahaan ini tengah menggarap sejumlah proyek besar di atas lahan seluas 410 hektare. Rumah mewah dan hotel bintang lima rencananya akan dibangun di atas lahan itu. Sebuah lapangan golf 18 hole sudah terbentang di atas tanah 130 hektare sejak Oktober lalu.
Dan para karyawan sudah menanti-nanti kunjungan Tommy. ”Beliau pasti ke Bali, tapi kita belum tahu waktunya,” kata Sukandia, Corporate Lawyer Bali Pecatu Graha.
Lahir di Jakarta 15 Juli 1962, anak lelaki bungsu mantan presiden Soeharto itu diberi nama Hutomo Mandala Putra. Pada masa itu, Presiden Soekarno menunjuk Soeharto untuk memimpin operasi Mandala guna merebut Irian Jaya. ”Dia saya beri nama Mandala untuk mengenang tugas yang saya jalankan,” tulis Soeharto dalam biografinya: Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. Belakangan dia lebih dikenal dengan sebutan Tommy Soeharto.
Tommy adalah satu-satunya anak Soeharto yang tersuruk ke sel penjara. Dia diburu polisi karena terlibat pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, salah seorang hakim kasasi yang menghukum dia 18 bulan penjara dalam kasus korupsi Goro Batara Sakti.
Menjadi buron beberapa waktu, Tommy kemudian dibekuk polisi di Jalan Maleo, Jakarta Selatan, pada 29 November 2001—setelah melewati perburuan berliku. Jaksa menuduhnya melakukan empat kejahatan sekaligus: terlibat pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, pemilikan senjata api dan bahan peledak di dua tempat, serta melarikan diri.
Majelis menghukum Tommy 15 tahun penjara pada Juli 2002 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi dia tidak mengajukan banding. Baru setahun kemudian, ketika Tommy terlempar ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Batu, Nusakambangan, kuasa hukumnya mengajukan peninjauan kembali (PK).
Proses tersebut berlangsung alot dan menegangkan, diwarnai aneka isu suap. Majelis hakim agung yang memutuskan kasus ini dibongkar-pasang tiga kali. ”Majelis hakim yang dibentuk dulu merasa tidak sanggup karena terlalu banyak isu. Mereka dituduh seolah-olah menerima suap,” kata Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan, yang memimpin langsung tim majelis terakhir.
Saat perkara ini diproses, pengamanan gedung MA di Jakarta Pusat diperketat. Pintu-pintu masuk gedung dikawal ketat petugas keamanan. Semua hakim agung, pegawai, dan tamu hanya boleh lewat melalui pintu samping setelah badan mereka digeledah. Majelis kemudian mengkorting hukuman Tommy dari 15 tahun menjadi 10 tahun.
Di kediaman barunya, LP Cipinang, santer terdengar kabar Tommy mendapat perlakuan istimewa. Selnya di Blok III H dilengkapi kamar mandi pribadi. Dia membawa serta telepon seluler ke dalam jeruji besi.
Blok III H ini terhitung blok istimewa. Terdiri dari tiga kamar, letaknya di ujung timur kawasan penjara. Dulu, cuma napi politik sekelas Soebandrio, perdana menteri di zaman Soekarno, yang mendiami blok tersebut. Dalam investigasi Tempo, Mei 2002, beberapa sumber di Cipinang menuturkan aneka kemewahan yang memalut kamar Tommy. Lantai keramik, pompa air berkekuatan 400 watt, serta pendingin yang ditanam di langit-langit ruangan.
Tersedia sebuah televisi layar datar 29 inci berikut satu komputer jinjing. Sejumlah napi berceritera, kehadiran Tommy di kamar ditandai deru mesin pendingin. Sekitar 40 napi sempat melakukan protes keras terhadap kemewahan itu. ”Kami dan Tommy sama-sama napi. Kenapa kami tidak berani protes saat dia diperlakukan istimewa?” ujar salah satu penghuni Cipinang kepada Tempo ketika itu. Seorang narapidana kasus narkotik malah sempat menyiapkan spanduk untuk aksi demonstrasi. Mereka nekat mendatangi Ngusman, Kepala Penjara Cipinang, untuk menyampaikan protes.
Buntutnya, napi yang memprotes dipindahkan ke Cirebon, Pekalongan, dan Ambarawa di Jawa Tengah. Walau kabar lain menyebutkan mereka dipindah lantaran mau memeras Tommy. Mengutip seorang sipir penjara, ada narapidana menggertak Tommy, ”Eh, bayar uang keamanan lu.”
Ngusman membantah soal alasan pemindahan sejumlah narapidana itu. Menurut dia, jumlah narapidana di Cipinang ada 2.491, padahal daya tampungnya cuma 1.700-an orang. ”Kelebihan 700 orang bisa berakibat buruk bagi kesehatan para napi.”
Sekali waktu, Tempo pernah bertanya kepada Tommy soal kemewahan fasilitas di Cipinang yang diributkan banyak kalangan. Dia menjawab: ”Fasilitas apa? Saya enggak mendapat fasilitas kok. Biasa saja,” katanya.
Kehidupan penjara tidak memutuskan Tommy dari dunia bisnis. Para petinggi perusahaannya rajin menyambangi dia ke Cipinang. ”Sambil makan, kami ngobrol soal kantor,” kata Abdul Wahab, Direktur Utama Humpuss, kepada Tempo pada Mei 2002. Soal kehadiran mereka, inilah jawaban Tommy: ”Mereka cuma memberikan laporan.”
Pindah ke LP Batu di Nusakambangan, Tommy kembali mendapat ”kamar pribadi”. Dia sendirian menempati ruang seluas 5 x 6 meter. Lantainya diberi karpet dilengkapi sofa berwarna cokelat. Sebuah televisi 21 inci lengkap dengan saluran televisi kabel Indovision turut melengkapi kediaman Tommy. Dipan lipat berkasur empuk dengan kamar mandi dan kakus sendiri. Sang terpidana menyediakan mobil operasional L-300 biru tua untuk keperluan di lingkungan penjara.
Soal mobil itu, Kepala LP Batu Kurbandi Waluyo mengatakan milik anak buah Tommy yang kerap diparkir di Dermaga Sodong, pelabuhan masuk Nusakambangan. ”Orang boleh naik kendaraan sendiri dari Sodong ke sini,” katanya. Lalu soal kamar berfasilitas khusus? Kurbandi beralasan bahwa perlakuan itu sesuai dengan perintah atasan dan tidak bertentangan dengan rasa keadilan.
Beberapa kalangan menyebutkan, sesungguhnya kemewahan terindah yang dicecap Tommy adalah hujan remisi. Dia mendapat total remisi 3 tahun 5 hari dan kini bebas bersyarat. ”Mereka semua yang atur itu supaya Tommy cepat bebas,” kata Soimah, istri mendiang Hakim Agung Syafiuddin. Pembebasan bersyarat Tommy ini, menurut dia, tidak wajar, apalagi banyak diberi remisi.
Denny Indrayana, ahli hukum dari Universitas Gadjah Mada, menuturkan dalam sejarah pemberian remisi 36 bulan tak pernah diberikan untuk masa hukuman lima tahun dari sepuluh tahun vonis. ”Ini rekor pemberian remisi. Patut masuk Museum Rekor Indonesia,” kata Denny.
Kejanggalan ini terjadi, katanya, karena kriteria pemberian remisi tidak bisa diukur. Dalam dunia peradilan yang kolutif, apa pun ada bayarannya. ”Ukurannya, seberapa banyak yang bisa disetor narapidana kepada aparat hukum,” Denny melanjutkan.
Keluarga almarhum Syafiuddin, kata Denny, bisa menggugat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, presiden, serta pihak kejaksaan untuk soal remisi Tommy.
Desakan terhadap pemerintah juga mulai terdengar agar segera menjelaskan dengan rinci alasan besarnya remisi yang diterima Tommy. Pengamat hukum dari Universitas Indonesia, Rudy Satrio, mendesak Menteri Hukum dan HAM agar secara terbuka membeberkan alasan Tommy Soeharto dilimpahi remisi sebanyak itu. ”Kelakuan baik seperti apa yang bisa menjadikan seseorang mendapat remisi itu? Ini yang harus dijelaskan,” katanya.
Adapun Hamid Awaludin membantah soal selentingan tak sedap tentang permainan uang di balik pemberian remisi Tommy Soeharto. Pemberian remisi dan bebas bersyarat, katanya, sesuai dengan hukum yang berlaku dan, ”Berlaku bagi siapa pun.” Lagi pula, kata Hamid, aturan detail soal remisi sudah tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999.
Elza Syarief, kuasa hukum Tommy, juga menepis tudingan soal fulus. Kliennya, kata Elza, sudah menjalankan dua pertiga dari masa hukumannya. ”Ada hitungan prestasi Tommy seperti memberikan santunan, menjadi pemuka, dan pelopor. Itu termasuk kelakuan baik,” ujarnya.
Tommy Soeharto sendiri pada hari-hari ini tengah bersantai mengecap pembebasannya. Orang-orang dekatnya silih berganti datang memberi selamat. Yang tidak terlihat justru sosok terdekat yang pernah memahat hidup bersama Tommy, Raden Ayu Pramesti Regita Cahyani. Sang istri, yang dulu mengemas hadiah lukisan kuda sembrani untuk dikirim ke penjara Cipinang, telah lepas dari genggaman Tommy.
Enam pekan sebelum Tommy meninggalkan penjara, dia berpisah dengan Tata. Perkawinan mereka yang membuahkan sepasang anak usai pada 18 September lalu. Tommy Soeharto mungkin kehilangan banyak hal. Tapi, ”Dia punya semangat kuda sembrani. Penjara membuat dia makin sulit dipatahkan,” ini ucapan seorang pengusaha yang mengenalnya.
Bisa jadi demikian. Di televisi, Tommy terlihat sehat walafiat. Di Sentul, di Jakarta, di Bali, orang-orang sibuk merayakan kepulangannya dengan meriah—tanpa dia harus repot-repot untuk hadir.
Pangeran Cendana sudah kembali.
Wenseslaus Manggut, Wahyu Dyatmika, Yopiandi dan Ramidi
Jejak Pangeran Cendana
12 April 1999 Sidang pertama Tommy Soeharto sehubungan dengan kasus korupsi tukar guling tanah Bulog sebesar Rp 95 miliar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
30 Agustus 1999 Jaksa menuntut Tommy hukuman dua tahun penjara.
14 Oktober 1999 Tommy divonis bebas oleh majelis hakim. Jaksa kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
22 September 2000 Majelis hakim kasasi yang diketuai Syafiuddin Kartasasmita menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara untuk Tommy.
3 Oktober 2000 Tommy mengajukan grasi kepada presiden.
2 November 2000 Presiden Abdurrahman Wahid menolak grasi Tommy.
2 November 2000 Tommy tidak memenuhi panggilan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan yang hendak mengeksekusi dia ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Semenjak itu, keberadaan Tommy tidak diketahui.
26 Juli 2001 Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita tewas ditembak di Kemayoran, Jakarta Pusat. Pembunuhan terbukti dilakukan oleh Maulawarman dan Noval Hadad, orang suruhan Tommy.
29 November 2001 Tommy ditangkap di kawasan Bintaro Jaya, Jakarta Selatan. Polisi resmi menetapkan Tommy sebagai tersangka kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita.
20 Februari 2002 Tommy dipindahkan tempat penahanannya dari Rumah Tahanan Polda Metro Jaya ke LP Cipinang, Jakarta Timur.
21 Maret 2002 Sidang pertama Tommy dengan dakwaan terlibat pembunuhan Hakim Agung Syaifuddin Kartasasmita digelar di Pengadilan Jakarta Pusat.
26 Juli 2002 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Tommy 15 tahun penjara. Tommy terbukti memiliki senjata api ilegal, ikut pembunuhan berencana terhadap Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, dan secara sengaja melarikan diri.
15 Agustus 2002 Tommy menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Batu, Nusakambangan.
17 Agustus 2002 Tommy mendapatkan remisi satu bulan.
6 Desember 2002 Saat Idul Fitri Tommy kembali mendapat remisi satu bulan.
3 Juli 2003 Tommy mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan dasar 13 novum (bukti baru).
25 Juli 2003 Mahkamah Agung menerima PK yang diajukan Tommy.
17 Agustus 2003 Tommy memperoleh remisi lima bulan 15 hari.
9 Oktober 2003 Soeharto menjenguk Tommy di LP Batu, Nusakambangan.
25 November 2003 Tommy mendapat remisi satu bulan pada Idul Fitri.
16 Maret 2004 Tommy memperoleh izin untuk dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta Pusat.
25 April 2004 Tommy menjalani operasi tumor tengkorak sebelah kiri di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat.
17 Agustus 2004 Tommy mendapat remisi 8 bulan dan 5 hari.
14 November 2004 Tommy kembali memperoleh remisi satu setengah bulan.
25 November 2004 >Tommy kembali diizinkan berobat ke RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat.
6 Juni 2005 Dalam sidang Peninjauan Kembali kasus Tommy, Mahkamah Agung meringankan hukuman Tommy dari 15 tahun menjadi 10 tahun penjara
17 Agustus 2005 Tommy mendapat remisi 13 bulan 5 hari.
2 Maret 2006 Tommy mendapat izin lima hari keluar dari penjara untuk dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat.
4 April 2006 Tommy dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Cipinang, Jakarta Timur, dengan alasan perawatan kesehatan.
Mei 2006 Pengacara Tommy, Elza Syarief, melayangkan surat pembebasan bersyarat ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk kliennya.
7 Mei 2006 Tommy diizinkan membesuk ayahnya, mantan presiden Soeharto, di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan.
17 Agustus 2006 Tommy memperoleh remisi 6 bulan 15 hari.
19 Agustus 2006 Masa pemidanaan Tommy resmi memasuki 2/3 dari total hukuman 10 tahun penjara. Ia berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
17 Oktober 2006 Direktur Jenderal Pemasyarakatan Pusat menyetujui pembebasan bersyarat untuk Tommy. Surat Keterangan Pembebasan Bersyarat langsung dikeluarkan.
24 Oktober 2006 Tommy mendapat remisi satu bulan 15 hari.
30 Oktober 2006 Tommy keluar dari penjara dan menikmati pembebasan bersyarat.
Poernomo Gontha Ridho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo