Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama mereka disinggung dalam buku mantan presiden Baharuddin Jusuf Habibie, Detik-detik yang Menentukan. Mereka adalah sebagian aktor penting di masa genting pergantian rezim, delapan tahun silam.
Jumat pekan lalu, empat jenderal tersebut menuturkan kejadian di awal pemerintahan Habibie itu. Kutipan dari sejumlah buku melengkapi penuturan mereka.
Berikut ini, petikannya.
Subagyo Hadisiswoyo, 60 tahun Mei 1998: Kepala Staf Angkatan Darat Oktober 2006: Jenderal Purnawirawan
Pergerakan Pasukan Diketahui Panglima
Setelah lengsernya Presiden Soeharto, kondisi di Kostrad dan Kopassus belum sepenuhnya kondusif. Ketegangan terasa di antara petinggi militer. Siapa berada di pihak mana, tidak mudah ditebak.
Saya tidak mengerti pergerakan pasukan di Patra Kuningan seperti yang disebutkan Pak Habibie (di dalam bukunya). Tapi penempatan semua pasukan sebenarnya sudah ditetapkan, yaitu berada di bawah kendali Panglima Komando Operasi. Pergerakan hanya bisa dilakukan atas perintah Panglima ABRI.
Panglima Kostrad dan Komandan Jenderal Kopassus saat itu hanya bertugas menyiapkan pasukan. Misalnya, Panglima Kodam menentukan kebutuhan pasukan berapa, mereka harus menyiapkannya. Saya, sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, hanya menjadi pembina.
Pada 22 Mei siang, setelah Presiden Habibie mengumumkan kabinetnya, saya mendapat perintah dari Panglima ABRI (saat itu Jenderal Wiranto, Red.), copot Panglima Kostrad dan Komandan Jenderal Kopassus hari itu juga. Lepas tengah hari, diputuskan Mayor Jenderal Johny Lumintang ditetapkan sebagai pengganti Prabowo.
Rencananya, serah-terima jabatan dilakukan pukul 15.00 WIB. Sampai menjelang upacara, Prabowo tidak tampak. Diperoleh informasi bahwa dia sedang berada di Istana Presiden. Saya tidak tahu apa yang ia lakukan di sana.
Agak sore, akhirnya Prabowo datang. Dia masuk dengan berpakaian dinas, lengkap dengan pistolnya, dikawal anak buahnya yang menumpang tiga mobil Range Rover. Ketika saya sampaikan adanya perintah penggantian dirinya, Prabowo keberatan.
Ia lalu meminta pergantian ditunda tiga bulan. Saya menelepon Panglima TNI (ketika itu ABRI, Red.) untuk menanyakan apakah bisa. Jawaban Panglima: ”Pergantian harus dilaksanakan hari itu juga!”
Hubungan saya dengan Prabowo amat dekat, baik secara pribadi maupun dalam pekerjaan. Karena itu saya katakan, ”Wo, kalau kamu nolak, berarti kamu ndak menghormati atasan dan seniormu.” Akhirnya ia mau menerima penggantian dirinya.
Tentang usulan Prabowo kepada Presiden Habibie agar saya dijadikan Panglima ABRI, hal itu tidak pernah dibicarakan dengan saya. Tapi, saat bertemu Pak Harto pada 16 Mei 1998 malam, Prabowo pernah mengusulkan hal yang sama. Saya lalu menegur dia karena menganggap cara itu kurang pas.
Muchdi Purwoprandjono, 61 tahun Mei 1998: Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Oktober 2006: Mayor Jenderal Purnawirawan
Kalau Mau Kudeta, Mudah
Saya dan Prabowo tak pernah sekalipun memikirkan untuk kudeta. Kenapa? Karena sekali kudeta dilakukan, pasti akan selalu berulang seperti yang terjadi di Thailand.
Jika mau, kami dengan mudah melakukannya saat itu. Sebagian besar pasukan yang ada di Jakarta saat itu kan berasal dari Kostrad dan Kopassus. Tapi Prabowo memang tidak pernah berpikir untuk melakukan kudeta.
Perlu saya sampaikan, semua pasukan di Jakarta saat itu berada di bawah kendali Panglima Komando Operasi Jaya, Sjafrie Sjamsoeddin. Markas Besar ABRI juga telah mengatur pembagian kewenangan pengamanan oleh masing-masing kesatuan.
Kopassus saat itu diberi tugas mengamankan Istana dan rumah Presiden. Kostrad ditugasi mengawal obyek-obyek vital. Lalu marinir mendapat tugas mengamankan kantor-kantor diplomatik negara asing di Jakarta. Semua itu diketahui oleh Panglima ABRI Jenderal Wiranto.
Sjafrie Sjamsoeddin, 54 tahun Mei 1998: Panglima Komando Daerah Militer, merangkap Panglima Komando Operasi Jaya. Oktober 2006: Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan, kini letnan jenderal.
Pasukan Liar dari Mana?
Isu yang disinformatif dan berbau politisasi seperti kudeta terkadang mengorbankan prajurit di lapangan. Isu kudeta hanya berkembang di kalangan elite, tidak masuk ke jajaran operasional.
Saya pastikan bahwa operasional seluruh jajaran TNI berada di bawah kendali Panglima Komando Operasi Jaya. Saya mendapat mandat dari Panglima ABRI pada 14 Mei 1998 untuk mengambil alih komando pasukan di Jakarta.
Sudah pasti saya tahu betul penempatan dan kedudukan semua pasukan. Jadi, tidak ada kekhawatiran sama sekali akan terjadi sesuatu. Kalaupun terjadi sesuatu, akan mudah saya lumpuhkan karena komando, kendali, dan logistik ada di tangan saya. Dalam hitungan jam pasti sudah bisa saya tumpas. Saya menguasai wilayah Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Ada 178 kompi (satu kompi sekitar 100 orang) dan 194 kendaraan tempur dari tiga angkatan. Lalu, sejak 13 Mei datang pasukan dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Makassar. Semuanya dikerahkan untuk membantu menangani kerusuhan di Jakarta.
Pasukan tambahan itu diangkut langsung oleh TNI. Jadi, kalau ada pasukan-pasukan yang tidak terkendali, dari mana datangnya? Dari Makassar? Mau pakai apa?
Pengendalian oleh Komando Operasi Jaya waktu itu solid betul. Tidak mungkin ada orang mau melakukan kudeta pada waktu itu. Dan tidak ada kemungkinan Prabowo mau mengendalikan pasukan sendiri. Yang bisa ia kendalikan hanya pasukan yang tersisa di barak-barak. Lha, yang di barak-barak itu apa mau kudeta?
Kivlan Zen, 60 tahun Mei 1998: Kepala Staf Kostrad Oktober 2006: Mayor Jenderal Purnawirawan
Prabowo Memang Selalu Dikawal
Waktu Habibie menyusun kabinet pada 21 Mei 1998 malam, kami mendengar Wiranto, yang sudah gagal mengatasi kerusuhan, akan dipertahankan menjadi Panglima ABRI. Makanya, Prabowo datang pada malam itu dan mengusulkan agar Subagyo H.S. diangkat menjadi panglima.
Habibie hanya menjawab, nanti dipertimbangkan. Pada 22 Mei dini hari, pukul 03.00, Prabowo memerintahkan saya menghadap Pak Nasution (almarhum Jenderal Besar Abdul Haris Nasution), yang amat dihormati oleh Habibie. Pak Nas diminta menyurati Habibie agar Subagyo dijadikan Panglima ABRI.
Malam itu kami tidur di kantor. Pukul 6.00, saya datang ke rumah Pak Nas. Beliau sedang sakit. Saya lalu menyampaikan permintaan Prabowo. Pak Nas menjawab dirinya tak bisa menulis, sekretaris pribadinya juga belum datang. Akhirnya Pak Nas meminta saya menulis surat, yang kemudian akan ia tanda tangani.
Maka, saya menulis tangan di selembar kertas—Anda bisa cek surat yang dimiliki Habibie pasti cocok dengan tulisan saya. Isinya:
Kepada ananda Habibie,
Melihat perkembangan situasi terakhir, perlu diambil langkah yang tepat. Kelihatannya yang bisa mengatasi keadaan adalah Jenderal Subagyo. Untuk pengganti Subagyo, ananda angkatlah Prabowo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Pak Nas lalu tanda tangan.
Usulan Prabowo menjadi KSAD itu sebenarnya saya yang menambahkan. Prabowo tak pernah meminta hal itu dicantumkan. Tapi, bila benar dia jadi KSAD, saya kan bisa naik menjadi Panglima Kostrad, hahaha.…
Dari Pak Nas, saya langsung ke rumah Habibie di Kuningan. Surat saya serahkan melalui ajudan, Kolonel Tubagus Hasanuddin, karena Pak Habibie sedang sarapan. Seperempat jam kemudian datang Muchdi (ketika itu Komandan Jenderal Kopassus). Tak lama kemudian, Sintong Panjaitan (saat itu ajudan Presiden) keluar dari ruang makan Habibie.
Tiba-tiba datang Pak Wiranto. Dia masuk melalui pintu lain. Karena enggak enak, bisa-bisa kami berantem di sana, ya sudah kami cepat-cepat keluar. Ngacir kita.
Setelah salat Jumat di kantor, saya dan Prabowo menemui adik kesayangan Habibie, Fanny, di kantor Otorita Batam. Kami meminta dia menghubungi kakaknya agar Subagyo dijadikan panglima. Tapi, belum selesai kami bicara, ada telepon dari kantor yang meminta kami segera kembali. Kami diminta segera menyerahkan pataka, bendera kesatuan Kostrad, ke Markas Besar Angkatan Darat. Segera saya berpikir: wah, kami dicopot.
Prabowo langsung ke Istana. Waktu itu dia dikawal oleh satu mobil dengan sekitar tujuh orang anggota pasukan. Dari Istana, Prabowo baru pergi ke Markas Besar Angkatan Darat. Di sana ia menyerahkan pataka Kostrad kepada KSAD Subagyo. Sebulan kemudian, saya dicopot dari jabatan Kepala Staf Kostrad.
Budi Setyarso, Eduardus Karel Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo