Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Lapisan tarif pajak penghasilan orang pribadi anyar mulai berlaku tahun ini
Lapisan tarif pajak dalam UU HPP berbeda dengan lapisan tarif dalam UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh)
Skema pajak kekayaan untuk orang kaya untuk memperkuat penerimaan pajak dalam jangka pendek
JAKARTA - Lapisan tarif pajak penghasilan orang pribadi anyar mulai berlaku tahun ini. Ketentuan itu merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan aturan turunannya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan Pajak Penghasilan.
Lapisan tarif pajak dalam UU HPP berbeda dengan lapisan tarif dalam UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Dalam beleid lawas, hanya ada empat lapisan tarif PPh orang pribadi, yakni penghasilan kena pajak (PKP) hingga Rp 50 juta setahun dikenai tarif PPh 5 persen, Rp 50 juta-Rp 250 juta dikenai 15 persen, Rp 250 juta-Rp 500 juta dikenai 25 persen, dan di atas Rp 500 juta dikenai 30 persen.
Kini, pemerintah membuat lima lapisan tarif PPh. Rinciannya, PKP hingga Rp 60 juta setahun dikenai tarif 5 persen, Rp 60 juta-Rp 250 juta dikenai 15 persen, Rp 250 juta-Rp 500 juta dikenai 25 persen, Rp 500 juta-Rp 5 miliar dikenai 30 persen, dan di atas Rp 5 miliar dikenai 35 persen.
Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, dalam akun media sosialnya menjelaskan bahwa perubahan yang kentara dari aturan baru itu adalah perubahan batas penghasilan lapisan tarif pertama menjadi hingga Rp 60 juta. “Sementara, wajib pajak yang penghasilannya tinggi, yaitu di atas Rp 5 miliar, dikenai pajak 35 persen dari 30 persen sebelumnya,” ujar dia, Senin lalu.
Dengan lapisan tarif baru tersebut, pekerja yang paling terimbas positif adalah mereka yang memiliki gaji Rp 9,5 juta per bulan atau Rp 114 juta setahun. Apabila dikurangi nilai penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sebesar Rp 54 juta, maka PKP pekerja tersebut adalah sebesar Rp 60 juta.
Sebelum diterapkannya UU HPP, pekerja dengan PKP Rp 60 juta harus membayar PPh dengan penghitungan dua lapis, yakni tarif 5 persen dikalikan Rp 50 juta, dan ditambah 15 persen dikalikan Rp 10 juta. Dengan demikian, pajak terutang bagi pekerja tersebut adalah sebesar Rp 4 juta.
Dengan ketentuan baru, pekerja dengan penghasilan Rp 9,5 juta per bulan tidak perlu terkena penghitungan pajak berlapis. Mereka hanya membayar PPh sebesar Rp 60 juta dikalikan 5 persen menjadi Rp 3 juta. “UU baru tidak menambah pajak baru, tidak menaikkan tarif, tapi justru melindungi dan ada efisiensi penghematan pajak Rp 1 juta,” Prastowo mencuit.
Usaha Memperluas Basis Perpajakan
Suasana pelayanan pajak di KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu, Jakarta, 26 Oktober 2022. Tempo/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menilai perubahan lapisan tarif PPh orang pribadi adalah upaya pemerintah memperluas basis perpajakan. Pemerintah diperkirakan ingin menghimpun lebih banyak laporan pekerja, khususnya sektor formal, dengan gaji di bawah Rp 10 juta. Para pekerja dengan kelas gaji tersebut dianggap potensial menyokong penerimaan negara lantaran jumlahnya yang besar.
Menurut dia, kebijakan tersebut menjadi langkah yang baik lantaran pemerintah tidak memiliki banyak pilihan lain untuk menggenjot penerimaan pajak. Pengampunan pajak sudah dilakukan dan "durian runtuh" dari lonjakan komoditas sudah mulai mereda. Dengan lapisan tarif yang baru, ia memperkirakan akan ada kenaikan penerimaan pajak sebesar 5 persen dari kelas pekerja. "Karena pekerja kita kan paling banyak gajinya di bawah 10 juta," tutur Tauhid.
Di sisi lain, pemerintah menambah tarif bagi wajib pajak dengan PKP di atas Rp 5 miliar per tahun dari 30 persen menjadi 35 persen. Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengungkapkan lapisan tarif baru ini berpotensi menambah penerimaan negara sebesar Rp 6,63 triliun; di luar pengenaan pajak atas natura.
Fajry mengatakan, selama ini wajib pajak yang memiliki pendapatan di atas Rp 5 miliar berkontribusi 17,24 persen terhadap total penerimaan PPh orang pribadi dengan jumlah surat pemberitahuan pajak (SPT) sekitar 3.185 laporan. "Sedangkan lapisan terendah, PKP Rp 0-50 juta dengan jumlah SPT lebih dari 8 juta, kontribusinya ke penerimaan sebesar 3,14 persen," tutur dia.
Adapun kajian makroekonomi Bahana Sekuritas pada September 2021 menyebutkan penambahan lapisan tarif pajak untuk orang superkaya bisa menambah pendapatan pajak hingga Rp 8 triliun dari total penerimaan pajak individu sebesar Rp 150 triliun per tahun. Menurut Bahana, nilai kekayaan orang dengan nilai simpanan di atas Rp 5 miliar setara dengan setengah dari total nilai dana pihak ketiga di perbankan.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Shinta Wijaya Kamdani, memahami penambahan lapisan tarif PPh perorangan itu adalah upaya meningkatkan penerimaan negara dari sisi pajak. Ia meyakini kebijakan tersebut sudah melalui berbagai perhitungan dan pertimbangan. "Ini soal partisipasi. Kami mengerti ada hal yang mau tidak mau harus dilakukan (menaikkan tarif), karena juga ada hal yang kami minta seperti insentif. Harus berimbang,"
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyu, menilai skema pajak kekayaan untuk orang kaya adalah hal yang masuk akal dan adil untuk memperkuat penerimaan pajak dalam jangka pendek. Selain jumlahnya yang sangat besar, langkah itu dinilai berdampak signifikan pada upaya penurunan ketimpangan di Tanah Air.
KHORY ALFARIZI | CAESAR AKBAR | GHOIDA RAHMAH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo