Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEMBAH Cikelet sedang jadi sorotan. Para ahli penakluk flu burung mengarahkan mata ke perkampungan, jauh di pelo-sok Kabupaten Garut, Jawa Barat ini. Pendekatan profilaksis (peng-obatan) massal sedang berlangsung di sini. Jurus menjinakkan flu burung yang baru pertama kali diterapkan di seluruh dunia.
Mari bertemu Nyonya Ellis, 26 t-ahun. Dia salah satu dari 2.903 warga lima kampung di Kecamatan Cikelet yang menjadi target profilaksis massal. Sore itu, Ellis larut dalam antrean di depan pos komando penanggulangan flu burung di kampungnya, Rancasalak. Bersama puluhan warga, Ellis hendak mengambil jatah pembagian gratis oseltamivir, obat flu yang kini jadi andalan untuk menangani flu burung.
Tak lama mengantre, tiga butir oseltamivir berpindah ke tangan Ellis. Sebutir pil langsung ditelan dengan digelontor segelas air putih yang disediakan petugas. Dua butir lain dia simpan di kantong. ”Untuk suami dan anak saya,” kata Ellis, ”biar nggak kena flu burung.”
Mengantre oseltamivir, itulah kegiat-an rutin harian di lima Kampung Cikelet, yakni Rancasalak, Rancamareme, Jojok-Sawahbeura, Tipar, dan Pasir- Gambir. Saban hari selama sepuluh hari, sejak 20 Agustus 2006, penduduk kelima kampung ini diharuskan meminum sebutir pil oseltamivir. Bagi me-reka yang diduga terkena (suspect) flu burung, dosis ditingkatkan menjadi dua butir saban hari. Menurut keterang-an Iman Firmanullah, koordinator lapangan penanggulangan flu burung di Cikelet, sampai Jumat pekan lalu, sudah 20 ribu pil oseltamivir yang dibagikan kepada penduduk.
Program profilaksis massal memang menjadikan Cikelet istimewa, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Maklum, selama ini pendekatan serupa hanya sampai pada tahap simu-lasi. ”Baru Cikelet yang memenuhi syarat,” kata Nyoman Kandun, Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (P2PML) Departemen Kesehatan.
I Nyoman Kandun memberikan dua alasan mengapa Cikelet cocok untuk pendekatan profilaksis massal. Pertama, secara geogra-fis wilayah ini cukup terpencil dan terisolasi. Perkampung-an itu dikepung bukit dengan jarak 10 kilometer dari kota kecamatan terdekat. Ja-lanan rusak. Kendaraan umum yang tersedia hanya ojek atau menumpang truk milik Perhutani.
Alasan kedua, flu burung telah ber-aksi cukup gahar di Lembah Cikelet. Se-jak Juni lalu, ratusan ternak dilaporkan mati mendadak. Uji laboratorium kemudian membuktikan bahwa sampel darah ayam, itik, entok, yang diambil dari ternak yang berkeliaran di wilayah ini positif terinfeksi virus H5N1—si biang flu burung. Virus mematikan menggantung pekat di udara Cikelet.
Taring flu burung pun bukan hanya terarah ke ternak. Dua pekan lalu, tiga warga Cikelet dipastikan positif terinfeksi flu burung, dua di antaranya meninggal. Sebelumnya juga dilaporkan adanya lima warga yang wafat mendadak, dengan gejala mirip flu burung, seperti panas tinggi dan sesak napas. Perkembangan terbaru, sampai 24 Agustus, sudah ada 20 warga Cikelet yang diduga flu burung dan kini sedang dalam pengobatan.
Berbekal kondisi di atas, Departemen Kesehatan memilih strategi profilaksis massal. Obat oseltamivir diberikan supaya insiden flu burung, penularan dari hewan ke manusia, tidak bertambah. ”Kita lindungi masyarakat di sana dengan pemberian oseltamivir massal,” kata Kandun. Bakal sukseskah program ini? ”Kita lihat saja nanti,” katanya.
Jurus profilaksis bukannya sepi kontroversi. Tjandra Yoga Aditama dari Ru-mah Sakit Persahabatan, Jakarta, ter-masuk kubu yang sepakat. ”Saya yakin cara ini akan efektif,” kata Tjandra. Waktu kejadian yang masih segar, ting-kat kejadian (incident rate) pada manusia yang belum kelewat tinggi, cukup memungkinkan efektivitas profilaksis.
Namun ada juga Dokter Yusuf Hadi, ketua tim penanggulangan penyakit flu burung Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, yang menyatakan keraguan. ”Saya khawatir, pemberian oseltamivir pada orang sehat justru akan mengakibatkan virus menjadi kebal,” katanya.
Tim Departemen Kesehatan bukannya tidak sadar akan risiko resistensi virus. Namun, menurut Erna Tresnaningsih dari Badan Penelitian dan Pengembangan Ke-sehatan, langkah profilaksis layak dilakukan mengingat situasi di Lembah Cikelet yang berisiko tinggi. Udara pekat virus dan situasi kesehatan lingkung-an yang tidak memadai telah menjadikan warga Cikelet terpapar flu burung.
Tanpa profilaksis, kemungkinan insi-den kasus di Cikelet terus bertambah. Warga yang terinfeksi flu burung bisa jadi meluas. Risiko penularan antarmanusia—yang saat ini belum terjadi—pun semakin tinggi. Akibatnya, jalan menuju pandemi, wabah global, flu burung kian terbuka. Tentu saja ini sebuah taruhan yang teramat mahal. ”Kita tidak mau ambil risiko itu,” kata Erna.
Memang, keberhasilan pendekatan profilaksis massal masih diuji. Namun, satu hal yang sudah pasti, kematian dua warga Cikelet, yakni Ai Sitiamanah (9 tahun) dan Euis Lina (35 tahun), punya arti penting. Kematian mereka menjadi bukti penanganan flu burung di nege-ri ini yang masih amburadul. Kasus Cikelet juga membuat posisi Indonesia langsung melesat menjadi negara dengan kor-ban meninggal terbanyak akibat H5N1. Secara kumulatif, sejak 2005, tercatat ada 47 kematian dari total 62 kasus positif flu burung. Angka ini mengalahkan Vietnam, yang memiliki 93 kasus de-ngan 42 korban meninggal.
Sejatinya Indonesia, Vietnam, dan Thai-land memiliki permasalahan se-rupa. Bedanya, pada dua negara tetang-ga itu, laju flu burung relatif bisa diredam. Vietnam, misalnya, tahun ini tidak mengalami insiden kasus flu burung pa-da manusia. Thailand pun hanya mencatat dua kasus sejak pertama kali in-feksi flu burung pada manusia ditemukan pada 2004. Sedangkan di Indonesia, grafik avian influenza terus me-lonjak dan melonjak.
Apa gerangan yang terjadi? ”Ini ber-arti cara penyelesaian kita ada yang salah dan harus diubah,” kata Chairul Anwar Nidom, dosen biokimia dan bio-logi molekuler Universitas Airlangga, Surabaya. Salah satu titik lemah adalah buruknya koordinasi lintas departemen, terutama antara Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan (lihat boks Mengapa Flu Burung Menang).
Pejabat dari kedua departemen ha-rus duduk bersama. Komitmen ber-sama, sumber dana, berbagai program antisi-pasi, risiko pemusnahan ayam secara massal, harus dibicarakan bersama. Dengan cara itu, niscaya muncul kebersamaan untuk mendudukkan flu burung sebagai musuh bersama. ”Sekarang ini pejabat Departemen Kesehatan dan -Departemen Pertanian seperti dua orang bukan muhrim, yang bersalaman pun enggan,” kata Nidom.
Harus diakui, ada soal pelik di luar koordinasi, yakni ketersediaan dana. Terbatasnya anggaran kompensasi, se-kadar contoh, membuat pemilik unggas menolak pemusnahan. Bahkan, pada sejumlah kasus, pemusnahan gagal karena petugas dihadang dan diacungi golok oleh warga. Syukurlah, dana kompensasi telah ber-angsur dinaikkan, dari Rp 2.000 (pada 2004) kini menjadi Rp 12.500 per ekor unggas.
Ihwal dana juga menjadi hambatan pengadaan vaksin flu burung untuk unggas. Duit yang cekak membuat pemerintah hanya sanggup mengadakan 60 juta dosis vaksin. Angka yang hanya 15 persen dari total kebutuhan yang 400 juta dosis vaksin unggas.
Repotnya, strategi vaksi-nasi tidak terarah lantar-an peta risiko penyebaran flu burung tidak tersedia. Fokus vaksinasi harusnya lebih jelas pada lokasi yang tertular dan terancam flu burung. ”Lebih-lebih jika lo-kasi tersebut padat unggas dan padat penduduk,” kata Musny Suatmodjo, Direktur Kesehatan Hewan Departemen Pertanian.
Keterbatasan dana, antara lain, bersumber dari tidak kunjung cairnya bantuan yang dijanjikan lembaga donor. Reputasi buruk Indonesia sebagai tukang korupsi rupanya jadi kendala. ”Mereka takut uangnya tak sampai,” kata Tri Satya Putri Naipospos dari Komisi Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza. Tentu saja, hal ini bukan alasan untuk berleha-leha. Pemerintah wajib bekerja lebih keras meyakinkan lembaga donor. ”Ini kan masalah global, bukan hanya Indonesia,” kata Tri Satya.
Lepas dari fulus yang belum mulus, masih ada segunung persoalan lain yang menunggu. Kasus Cikelet, juga berbagai kasus lain, membuktikan bahwa flu burung bukan sekadar soal medis. Kesadar-an publik untuk mencegah flu burung membutuhkan perhatian banyak p-ihak. Tidak berlebihan bila I Nyoman Ku-mara, konsultan WHO untuk wilayah Asia Tenggara, berkata, ”Flu burung bukan hanya pekerjaan Departemen Kesehatan.”
Kualitas permukiman rendah, gaya hidup abai terhadap kesehatan, sanitasi ala kadarnya, adalah sederet panjang persoalan yang harus kita bereskan. ”Pembenahan di hulu, yakni kualitas peternakan, juga wajib dilakukan,” kata Kumara. Jika masalah segunung ini tak dapat diatasi, taring flu burung—juga berbagai penyakit lain—akan terus menghantui.
Dwi Wiyana, Sunariah, Rambat Eko (Garut), Rinny Srihartini (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo