Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mantra Babi Teu Takbabalen

Babi memiliki posisi penting dalam masyarakat Siberut di Kepulauan Mentawai. Ada ritual dengan mantra khusus untuk menjaga babi-babi peliharaan mereka.

18 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Peternakan babi milik Teu Takbabalen./Tempo/Febrianti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM keremangan pagi di tengah hutan Sinindiu, Simatalu, Siberut Barat, Kepulauan Mentawai, Teu Takbabalen dan istrinya, Sikalabai, sudah sibuk bekerja memulai hari pada pertengahan Maret lalu. Teu Takbabalen mengangkat batang sagu yang direndam dalam sungai tak jauh dari rumah kandang babi mereka. Ia memanggulnya dari sungai dan membelah batang sagu itu menjadi belahan kecil. Batang sagu yang telah dia belah itu kemudian diberikan kepada babi-babi yang ada dalam pagar kayu di halaman. Sekitar seratus babi besar dan kecil berebutan memakan belahan batang sagu. Kawanan hewan ternak itu mengendus, menguik, dan saling seruduk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adapun Sikalabai sibuk memberi makan ayam yang masih berada di kandangnya yang cukup tinggi. Ayam-ayam itu juga diberi batang sagu yang telah dibelah-belah. Daging sagu yang berwarna putih itu langsung dipatuk semua ayam di kandang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kegiatan memberi makan babi dan ayam itu menjadi rutinitas pasangan suami-istri tersebut saban pagi di rumah kandang babi mereka. Rumah kandang babi Teu Takbabalen mirip uma, rumah tradisional Mentawai. Di berandanya ada beberapa tengkorak kepala babi, kepala monyet, dan burung yang digantung di kayu. Tengkorak hewan itu biasanya untuk ritual.

Dalam perjalanan ke Simatalu, saya melihat banyak rumah kandang babi milik penduduk. Rumah kandang babi itu semuanya berada di seberang sungai atau di tengah hutan, seperti milik Teu Takbabalen, karena kini di perkampungan tidak ada lagi yang beternak babi.

Bagian belakang rumah kandang babi Teu Takbabalen mengarah ke hutan lebat dengan pohon-pohon besar yang masuk kawasan hutan Taman Nasional Siberut. Halaman belakang rumah itu tak ada pagar pembatas sehingga, begitu selesai makan sagu, babi-babi tersebut bebas masuk hutan mencari makanan lain sampai sore hari. “Mereka akan kembali lagi ke sini dan makan sagu. Pasti kembali semua, tidak ada yang hilang,” kata Teu Takbabalen. “Itu karena babi-babi tersebut sudah dimantrai,” ujar pria yang juga seorang sikerei, dukun dan ahli tanaman obat, dari Simatalu ini.

Menurut Teu Takbabalen, sudah sekitar 14 tahun dia tinggal di rumah kandang babi itu. Dulu dia tinggal di Lubaga, sebuah dusun di Simatalu, sekitar empat jam berjalan kaki dari Sinindiu yang berada di hulu sungai Muara Sikabaluan itu. Teu Takbabalen tinggal hanya berdua dengan istrinya di rumah kandang babi mereka. Setelah anak-anaknya besar dan berkeluarga, ia memilih tinggal di Sinindiu untuk beternak babi di tanahnya di kawasan hutan Simatalu yang berstatus taman nasional.

Dua minggu sekali ia dan istrinya ke Lubaga untuk kembali ke keluarga besarnya sekalian berbelanja membeli persediaan gula, kopi, dan rokok. Adapun untuk makan sehari-hari, Teu Takbabalen mengandalkan bahan makanan yang tersedia di hutan Sinindiu: pohon sagu yang melimpah, keladi, pisang, dan ikan sungai. Plus ayam dan babi yang mereka pelihara.

Saat ini, tidak semua orang di Siberut beternak banyak babi seperti Teu Takbabalen. Maka, untuk keperluan kenduri, seperti pesta perkawinan, mereka harus membelinya dari peternak seperti Teu Takbabalen. Pesta perkawinan di Mentawai membutuhkan belasan hingga puluhan babi. Seekor babi untuk pesta tersebut harganya berkisar Rp 1-3 juta.

Di Mentawai, babi adalah hewan peliharaan terbesar dan terbanyak sebelum masuknya sapi dan kerbau. Babi memiliki posisi penting dalam masyarakat Mentawai. Misalnya sebagai salah satu alat bayar bagi masyarakat. Membayar denda adat pakai babi, bayar maskawin pakai babi, membuat pesta pakai babi. Babi juga bisa menjadi ukuran status sosial masyarakat di sana. Orang yang punya babi banyak akan dianggap sebagai orang kaya, rajin, sukses, dan sehat.

Teu Takbabalen dan istrinya di rumah ternak babi mereka di Sinindiu, Siberut Barat, Kepulauan Mentawai./Tempo/Febrianti

“Jika satu keluarga punya banyak babi, anggota keluarga mereka dipandang sebagai potensi istri atau suami oleh tetangga mereka. Jumlah babi dapat dipandang sebagai cermin kemakmuran dan cermin kehidupan sebuah keluarga,” ucap Juniator Tulius, doktor bidang antropologi tamatan Universiteit Leiden, Belanda. “Makanya ada orang yang disebut simasainak, orang yang punya babi banyak,” ujar Juniator, yang juga orang asli Mentawai dari Siberut dan kini bekerja di Research Fellow pada Nanyang Technological University, Singapura.

Menurut Juniator, orang Mentawai juga terkadang makan daging babi pada hari-hari biasa, misalnya jika tidak ada daging dari perburuan binatang liar. Namun mereka menyembelih babi mereka untuk berbagai ritual, dari ritual untuk bayi yang baru lahir, ritual pernikahan, ritual rumah baru, ritual penyembuhan, sampai ritual kecil.

Babi yang diternakkan itu, kata Juniator, sudah diikat secara ritual agar tahu tempatnya dan kembali ke tempat tersebut. Lalu pemilik babi tiap hari memberi makan babi itu. Atau paling tidak stok sagu tetap ada di kandang sehingga, tiap hari babi-babi itu kembali dari hutan, ada sagu tersedia di situ. “Dan tuannya bisa jadi datang dua hari sekali kalau tidak bisa datang setiap hari,” ujarnya.

Juniator menambahkan, kalau mereka berencana atau ada musibah kematian sehingga mereka tidak akan datang dalam seminggu, satu hari mereka harus menyiapkan makanan babi itu cukup untuk tiga-empat hari. Dan sekali seminggu ada yang datang memberi makan babi.

Babi sudah dijinakkan dari kecil dan mereka diberi tanda, misalnya dengan potongan di daun telinga. Itu juga melalui ritual. Boleh dibilang memelihara babi menyita waktu dan perhatian khusus mereka. “Saat membuat kandang babi baru, seorang kerei atau satu keluarga akan meminta seorang kerei ‘membenahi’ kandang babi dan lingkungan hidup babi dengan ritual,” kata Juniator.

Sebelum keluarga mulai memelihara babi, ayah dari keluarga itu biasanya melakukan ritual untuk mencegah babi dimakan ular atau dicuri orang lain dan mencegah dari penyakit yang dapat melenyapkan semua babi sekaligus.

Dalam ritual itu ada daun-daun tertentu dikumpulkan. Ada jenis batu sungai yang ukuran kecil diambil dan digabung bersama dedaunan itu, lalu tanah digali dan ritual dijalankan. Mantra kemudian diucapkan. Setelah selesai, semuanya dikubur dalam tanah di dekat kandang untuk penangkal babi dari ular dan wabah penyakit serta agar tidak dicuri atau dipanah orang ketika hewan itu berkeliaran di hutan. “Untuk mantra babi, intinya mantra itu berisi permohonan agar babi tumbuh dan berkembang, jauh dari penyakit, jauh dari hama pemangsa, jauh dari serangan anak panah atau tombak,” ujar Juniator.

Sebelum melakukan ritual, menurut Juniator, kepala keluarga harus menghindari sejumlah pantangan atau tabu, seperti tidak mengkonsumsi makanan yang tak dimasak dan tidak berhubungan seks untuk jangka waktu tertentu, biasanya tiga-empat minggu. “Selama ritual, sang ayah menandai babi baru (biasanya dibeli dari tetangga) dengan memotong sebagian kecil dari telinga babi agar keluarga dapat dengan mudah mengenali babi mana yang menjadi milik mereka,” katanya.

FEBRIANTI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus